JAKARTA SURABAYA YANG KAMPUNGAN? MANGHASISWA MENGOCEH KATA KATA 9 july 2007,senin sumpek
Urbanisasi justru berimplikasi pada wujud kota yang tidak terencana dan tidak terantisipasi sehingga melahirkan wajah kota kita dalam dua wajah, formal dan informal, legal dan illegal, tradisional alias agak kampung(an) dan modern agak kekotaan, tetapi susah berbagi atau cuek dengan yang miskin alias metro (pelitan). >>>>>>>>>>>>>>>> Komentaranku, Betullah inih wajah kota kota yang disengbut Kampung megapolitan. >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Manghasiswa mengoceh kata kata, Hehehe,banggus sakkalih oceh Jang Supri di penggelan inih. Satu pengamatan tentang masarakat kampungan Yang AKAN MENDOMINASIH PERKOTAAN. Dimana bukannnyah jadi beres, melaenken jadi amburadulan. Kotoran ama sengrobotan bakalan lebih menongjol, Daripada kedisiplinan, ketauk dirian dan mental antrian. Yang ada cuman budaya SEROBOTAN, macem di Cimahi, Sakhingga banyak warga yang cilakak ,waktu bubaran sepak bola. SATU GAMBARAN ORANG KAMPUNG BERLAGAK KOTA. Belom lagih si UJANG MENGGELEH NARKOBA, BANGGAEKEN TUKANG BECAK MINUM BIR BINTANG. Atawa si Pariyem, jadi SI SUSIH MELAYANIN PERSETUBUHAN PARA SIPIT DARI JEPANG KOREAH. Mangka Si Susih Pariyempun pulang Pangke Mercyh, TATAPI BERAKNYAH TETEP HAJAH NUNGGING DI TANAH, PINGGIRAN SAWAH PANTURAH. JAKARTAPUN KINI JADI PERKAMPUNGAN, BUKANNYAH PERKOTAAN. Kerna SIPAT KAMPUNGNYAH MENJAJAH PARA MENTERI JUGAK. Maok cepet kayah,tampa maok menabung, Mangkanyah Nyabut utan sembarangan, persis bapaknyah yang Endesoh. Maok berkendaran lancar, tampa melaluin antrian, mangka jebol jebolan. Maok buang sampah cepetan, mangka Sungae di belakang rumah Di penuhin kondom kondomnyah para Menteri kesehatan, menteri pertanian. Maok mangkan udang galah, tinggal meres singkek Kelapah gading hajah. POKOKNYAH METROPOLITAN JADI KAMPUNG PANJANG DI PENUHIN WARGA YANG BENER BENER KAMPUNGAN. Yang tetep hajah, KENCING BERDIRIH DI GERBANG BIS TRANS JAKARTA PULO GADUNG. Sakperti di ocehken oleh sak-urang Manghasiswa yang SAKTI. >>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>> Watak Kampung(an) dan Watak Metro(pelitan) Yayat Supriatna Dalam suatu diskusi perihal busway di Jakarta yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Jakarta, sempat tercetus rasa khawatir jika suatu saat nanti layanan bus transjakarta akan rontok seperti bus PPD. Berbagai argumen terhadap kecenderungan tersebut terungkap melalui hasil kajian dari Yayasan Pelangi Indonesia. Hasil kajian mengungkapkan, terjadinya penurunan kinerja pelayanan bus transjakarta, seperti waktu tunggu yang semakin lama, antara 5- 50 menit, load factor yang kadang mencapai 150 persen, tidak ada lagi budaya antre (serobotan) antarpenumpang, dan suhu udara (AC) di dalam bus yang tidak sejuk lagi. Selain itu, bus di koridor IV-VII yang memutar balik, fasilitas halte yang semakin jorok oleh sampah, atap jembatan yang hilang dicuri, dan mulai banyaknya pengemis di sepanjang koridor jembatan menuju halte bus. Kondisi yang lebih parah dari itu semua adalah penyerobotan jalur bus transjakarta oleh pengendara lain dengan semena- mena. Ini merupakan suatu hal yang ironis jika dibandingkan saat awal pengoperasian yang penuh eforia dan optimistis. Apakah kecenderungan ini disebabkan Gubernur Sutiyoso sebagai penggagas akan segera berhenti atau karena dana subsidi yang semakin terbatas dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta? Akan tetapi, hal lain yang lebih penting di antara itu semua adalah, adakah budaya urban di kehidupan kita bersama, khususnya dalam menyikapi pemanfaatan fasilitas perkotaan yang modern dan penuh dengan standar operasional tersebut? Jika penciri kota modern ditandai dengan sikap masyarakatnya yang obyektif dan rasional, apakah penciri ini sudah terpenuhi di dalam sikap warga Jakarta yang katanya sudah semakin kosmopolitan? Atau kita tetap merasa sebagai orang dari kampung yang terjebak di metropolis Jakarta sehingga gagap dalam menyikapi hal-hal baru? Hasil kajian sejarah menunjukkan, telah terjadi kegagalan transformasi kota-kota kita untuk menjadi kota yang modern. Proses urbanisasi di kota-kota Indonesia tidak selalu berimplikasi terhadap perubahan lingkungan sosial menuju modernisasi, kemajuan dan formalisasi lingkungan dalam kehidupan perkotaan. Urbanisasi justru berimplikasi pada wujud kota yang tidak terencana dan tidak terantisipasi sehingga melahirkan wajah kota kita dalam dua wajah, formal dan informal, legal dan illegal, tradisional alias agak kampung(an) dan modern agak kekotaan, tetapi susah berbagi atau cuek dengan yang miskin alias metro(pelitan). Bagaimana cara kita menyiapkan pola penyiapan layanan umum jika kondisi masyarakatnya terdiri atas dua kelompok sosial, formal dan informal, atau watak kampung dengan watak kekota-kotaan? Layanan modern dan canggih mungkin kurang disukai oleh yang punya "mental map deso" karena kurang dianggap praktis. Sementara yang modern mungkin kurang merasa "sesuai" jika harus bergabung dalam kondisi kesemrawutan, ketidaknyamanan, ketidakamanan, dan ketidakpastian sistem layanan karena persoalan rendahnya mutu profesionalisme layanan publik. Akibatnya adalah Jakarta gagal memecahkan persoalan-persoalan bersama, seperti banjir, sampah, kesemrawutan lalu lintas, dan masalah lingkungan lain karena terjadinya gap sosial yang cukup besar antarindividu dan kelompok sosialnya. Hal yang menjadi tantangan ke depan adalah jangan berikan suatu tata nilai baru yang serba formalistis kepada masyarakat yang belum mau melakukan perubahan jika tidak diiringi niat untuk melakukan pendampingan dengan disiplin ketat dan peraturan sanksi kuat untuk ditegakkan. Selain itu, dorong mereka yang sudah merasa maju dan modern untuk mampu berbagi dan memberikan contoh yang terbaik. Yayat Supriatna Jurusan Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta