Refleksi: Kalau pemerintahan terdiri dari orang bisnes, tentu saja apa banyak 
komoditi dijual. Masalahnya ialah apa masih ada untuk dijual?

http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/09/Editor/edit01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY 

Jangan Menjual Indonesiaku

 

Sri-Edi Swasono 


Makin banyak diberitakan keprihatinan tentang makin melunturnya nasionalisme. 
Makin banyak pula gerakan patriotik yang mencemaskan telah berubahnya 
"pembangunan Indonesia" menjadi sekadar "pembangunan di Indonesia". 
Gegap-gempitanya pembangunan di Tanah Air, menggelegarnya tiang-tiang pancang 
menembus bumi sebagai derap pembangunan di Indonesia belum menempatkan 
Indonesia sebagai Tuan di Negeri Sendiri. Semula berbisik- bisik, lama-lama 
menjadi pembicaraan terbuka sehari-hari, bahwa banyak pemuda berdasi kita sudah 
menjadi "jongos" globalisasi. 

Keprihatinan di media massa ini haruslah kita syukuri sebagai suatu arus-balik 
kembalinya kesadaran nasional dan rasa kebangsaan yang akan bisa memperkukuh 
jati diri Bangsa Indonesia. 

Lahirnya Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) yang dideklarasikan Kwik 
Kian Gie dan kawan-kawan pada 9 Juni 2006, tidak terlepas dari alasan makin 
intensifnya pelaksanaan kebijakan sistematis ala Konsensus Washington 
(deregulasi, liberalisasi dan privatisasi). 

Demikian pula dideklarasikannya Komite Bangkit Indonesia oleh Rizal Ramli dan 
kawan-kawan pada 31 Oktober 2007, yang mendapat sambutan banyak kalangan, 
ruhnya adalah semangat kebangkitan menolak penjajahan (baru), menolak 
privatisasi kebablasan, menolak kapitalisme, dan imperialisme predatorik yang 
makin nyata menelikung Indonesia, yang telah memberikan kesempatan berlebih 
kepada investor-investor luar negeri untuk mendominasi (overheersen-istilahnya 
kaum Republiken doeloe) lapangan-lapangan usaha strategis di negeri kita. 

Di Surabaya, dalam memperingati Hari Pahlawan 10 November (the Glorious 
November 10th, 1945) akan dikumandangkan nasionalisme dan patriotisme 
Indonesia. Akan ditegaskan di situ bahwa Indonesia untuk Bangsa Indonesia, 
"Indonesia is not for sale". 


Posisi Rakyat 

Keterpurukan Indonesia adalah keterperosokan Indonesia menerima pasar-bebas. 
Pasar-bebas ibarat menjadi "berhala baru" dalam praktek penyelenggaraan 
ekonomi. Di harian ini pernah saya kemukakan tentang keprihatinan tentang 
Daulat Pasar yang menggusur Daulat Rakyat. Bila kita meneropongnya dengan jeli, 
tidaklah sulit untuk melihat telah terjadinya proses pembangunan 
berkesinambungan yang menggusur orang-orang miskin, tetapi bukan menggusur 
kemiskinan. 

Berdasar paham Daulat Rakyat maka posisi rakyat dalam pembangunan nasional 
adalah substansial, namun posisi sentral ini telah direduksi dan rakyat 
terpojok ke posisi residual. Ibaratnya kepentingan rakyat ditempatkan pada 
urutan preferensi tambal-sulam, di pinggiran variabel-variabel makro ekonomi 
konvensional-tradisional, tidak pada preferensi substansial (karena terbatasnya 
kolom, data dan contoh-contohnya tidak dikemukakan di sini). 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan penolakannya terhadap 
liberalisme, kapitalisme, dan ideologi fundamentalisme pasar, yang tentulah 
sangat kita hargai. Tentu berkaitan pula dengan penolakan ideologi itu, Wapres 
Jusuf Kalla pun berpendapat seiring. 

Wapres tidak menghendaki bank-bank nasional kita berperan sebagai tengkulak - 
maksudnya bank-bank kita harus tetap berperan sebagai agent of development, 
tidak sebagai rent-seekers melulu. Namun, kenyataan di lapangan belum sesuai 
dengan penegasan Presiden dan Wapres di atas. 

Barangkali para penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2007, Leonid Hurwicz, Eric 
Maskin, dan Roger Myerson yang tidak memutlakkan mekanisme pasar-bebas dengan 
"tangan gaib" (invisible hand) senyawanya dapatlah menambah keyakinan para 
pembaca, bahwa yang dikemukakan oleh Presiden dan Wakil Presiden itu adalah 
pemikiran yang benar. 

Teori para Nobel laureates, yang berujung pada upaya mencapai Pareto efficiency 
melalui rancangan design mechanism itu, moga-moga menyadarkan para ekonom kita 
akan error (erroneous)-nya fundamentalisme pasar. Dengan makanisme pasar-bebas 
(berdasar doktrin perfect individual liberty dan doktrin self-interest-nya Adam 
Smith), yang kuat (kaya) akan selalu lebih mampu meraih manfaat di pasar. 
Prinsip Pareto optimal, dalam pengertian dapat tercapainya kondisi efisien, di 
mana "tidak lagi seseorang bisa beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain 
merugi (worse-off)", maka dalam pasar-bebas yang better-off pastilah yang kaya. 
Pasar-bebas yang tabiatnya tidak self-correcting dan tidak self-regulating 
memerlukan campur-tangan pemerintah untuk mengoreksi keserbamenangan pasar 
(sesuai adagium the winner-take-all). 


Nasionalisme Ekonomi 

Jauh sebelum Kemerdekaan Indonesia, para founding fathers kita telah dengan 
jeli mewaspadai individualisme dan liberalisme Adam Smith. Pada 1934, Mohammad 
Hatta telah mengemukakan: "...teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo 
economicus.... Akan tetapi orang ekonomi seperti lukisannya hanya ada dalam 
dunia pikiran...sebab itu dalam praktik laisser-faire - persaingan merdeka 
(pasar-bebas) - tidak bersua maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam 
Smith.... Ia memperbesar mana yang kuat, menghancurkan mana yang lemah...." 
Tangan gaib Adam Smith adalah ilusi dan mitos belaka. 

Sedang Radjiman Wediodiningrat (1944) menyatakan: "...Adam Smith adalah 
golongan cerdik pandai yang tidak menganggap pamrih-pribadi (self-interest) 
sebagai penyakit masyarakat...." 

Dalam kaitan dengan Hurwicz, Maskin, dan Myerson, adalah tepat reaksi para 
ekonom strukturalis yang menegaskan pentingnya kembali melaksanakan Pasal 33 
UUD 1945 untuk menghindarkan gugurnya Daulat Rakyat oleh Daulat Pasar. UU Migas 
(No. 22/2001) dan UU Penanaman Modal (2007) harus secara fundamental ditinjau 
ulang. Pasal 33 UUD 1945 adalah benteng nasionalisme ekonomi Indonesia. 
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang 
banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di 
dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran 
rakyat. 

Bagi pemikir strukturalis Indonesia, Soekarno, Hatta, Radjiman, Margono, dan 
Sumitro Djojohadikusumo, Wilopo, dan seterusnya, kemudian Mubyarto, Sritua 
Arief, Hartojo Wignjowijoto, Dawam Rahardjo, Bambang Ismawan, Kwik Kian Gie, 
Rizal Ramli, Kurtubi, I Noorsy, Revrison Baswir, Marwan Batubara, dan 
seterusnya, maka peran Negara tidak saja untuk mengatasi kegagalan pasar, 
tetapi untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, menolak penjajahan baru. 

Nasionalisme Soekarno-Hatta tidak tertundukkan. Dalam rangka memperingati Hari 
Pahlawan 10 November mari kita mengenang kepahlawanan mereka. 

Dalam pledoinya di depan Sidang Pengadilan Den Haag (1928) berjudul "Indonesi? 
Vrij" (Indonesia Merdeka), Bung Hatta menegaskan: "...lebih baik Indonesia 
tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain...". 

Dua tahun kemudian (1930), Bung Karno pun menggugat di depan Sidang Pengadilan 
Bandung. Dengan pledoinya berjudul "Indonesi? Klaagt-Aan" (Indonesia 
Menggugat), menegaskan: "...imperialisme berbuahkan 'negeri-negeri mandat', 
'daerah pengaruh'...yang di dalam sifatnya 'menaklukkan' negeri orang lain, 
membuahkan negeri jajahan...syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali 
semua susunan pergaulan hidup Indonesia itu ialah Kemerdekaan Nasional...". 

Namun, beberapa ekonom muda mengibarkan bendera ketertekuk-lututannya dengan 
membacakan tuah: "nasionalisme itu kuno, masukkan saja dalam saku". Sambil 
menepuk dada mengagumi buku-buku fiksi baru membacakan proklamasinya: "...this 
is the end of nation sates, the world is borderless and there is no more free 
lunch...". Absurditas bertemu dengan mediokritas. Memang sejak awal Kemerdekaan 
pun ada kelompok Republiken dan kelompok Co (NICA), ada kelompok yang mangusir 
penjajah dan ada yang mengundang kembali penjajah. Kelompok Co, yang serba 
hanging-loose dan bermasa-bodoh, tidak merasa perlu untuk tahu ground-zero 
keberadaannya dalam berperikehidupan nasional. 

Posisi rakyat adalah sentral dan substansial, bukan tersubordinasi. Oleh karena 
itu, doktrin residual Presiden Hoover yang berujung pada teori trickle-down 
effect (teori rembesan ke bawah), yang menempatkan rakyat hanya berhak akan 
rembesan, harus kita tolak. 

Mari kita kembali ke Pasal 33 UUD 1945 (tanpa menunggu MDGs), mengutamakan 
kepentingan rakyat seluruhnya sesuai Pasal 27 (ayat 2) UUD 1945, bahwa tiap 
warga negara berhak akan pekerjaan (antipengangguran) dan penghidupan yang 
layak bagi kemanusiaan (antikemiskinan), sesuai pula dengan Pancasila kita: 
Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merdeka dan rukun bersatu. 


Penulis adalah Guru besar fakultas ekonomi Universitas Indonesia 


Last modified: 9/11/07 

<<09sriedi.gif>>

Kirim email ke