Refleksi: Uruslah dengan baik agar terjamin keselematan penumpang, awak pesawat dan muatan! Kalau jual jamu koyok menutup mismanagement akan lebih merusak image di pasaran internasional.
http://www.gatra.com/artikel.php?id=110431 Jusman Syafi'i Djamal: Data Mereka Tidak Akurat Menteri Perhubungan, Jusman Syafi'i Djamal, kecewa berat. Dia menilai, larangan terbang yang dikeluarkan Uni Eropa bagi seluruh maskapai penerbangan Indonesia berlebihan. Selain melanggar Konvensi Chicago, larangan itu juga tanpa landasan data akurat. Bayangkan, ada 47 maskapai penerbangan di Tanah Air, tapi yang dilarang mencapai 51 maskapai. "Yang sudah almarhum saja dilarang," ujar Jusman. Jusman curiga, larangan itu dikeluarkan agar maskapai penerbangan Indonesia tidak punya daya kompetisi ketika terjadi over-supply pada tahun 2010 dan 2012. Berikut petikan wawancara Hatim Ilwan dari Gatra dengan mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia itu. Anda kecewa atas sikap Uni Eropa? Jelas. Tata cara ini tidak sesuai dengan Konvensi Chicago tahun 1944, yang merupakan dasar semua proses hubungan antar-badan otoritas penerbangan sipil dunia yang dipayungi lembaga PBB yang namanya ICAO (International Civil Aviation Organization). Tak seperti negara lain yang mengirimkan surat larangan oleh duta besarnya, mereka hanya mengumumkannya di internet lebih dulu, kemudian konferensi pers, baru ngirim surat. Jadi, sama sekali tidak mengikuti tatak rama pergaulan internasional. Kita tidak dihormati. Seberapa besar hak mereka untuk melarang? Uni Eropa bukan anggota ICAO, bukan anggota PBB, juga bukan negara berdaulat. Makanya, kita heran atas larangan ini. Lucunya, mereka melakukannya seolah-olah atas nama audit yang dilakukan ICAO. Bahkan mereka membawa-bawa temuan FAA (Federal Aviation Administration) Amerika. Padahal, FAA sendiri tidak mengeluarkan larangan terbang. Seberapa valid data mereka? Mereka lebih percaya pada kajian internet mereka tentang Indonesia, yang mereka sebut sebagai opini publik. Mengapa larangan ini berlaku bagi seluruh maskapai Indonesia? Ini memang kejadian langka. Bayangkan, Uni Eropa menghukum 51 maskapai penerbangan Indonesia, termasuk empat maskapai yang sudah tidak ada. Ini bisa masuk Guiness Book of Records. Jadi, ini semakin menunjukkan betapa tidak akuratnya data mereka. Kita respek pada upaya orang untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Apa dampak larangan ini? Dalam pidato di depan member of ICAO, saya nyatakan, kalau ini terus dilaksanakan, akan terjadi perang larangan terbang. Akibatnya, nanti wilayah di seluruh dunia akan terkotak-kotak. Konsekuensinya, open sky policy menjadi mandul, dan konsep yang disebut the world is plate itu hilang. Uni Eropa menginginkan dokumen action plan. Kenapa pemerintah datang dengan dokumen road map to safety? Sudah kita buatkan, dan sudah di berikan. Mereka bilang, itu bukan dokumen karena itu bahan presentasi. Jadi, gimana, coba? Mereka bilang bahwa itu harus tanda tangan dari menteri. Padahal, yang datang itu dirjen atas nama saya dan kemudian memegang mandat negara. Yang kurang apa? Bukankah itu teknis dan administratif? Betul. Selama lebih dari 21 tahun bekerja di industri penerbangan, belum pernah saya ketemu sama ahli keselamatan penerbangan yang model begini, karena alur keselamatan itu bukan administratif. Anda melihat mereka pilih-pilih dalam hal larangan ini? Gini aja-lah. Anda datang ke Eropa, terutama Eropa Timur, dan lihat pesawat terbangnya. Hidroliknya saja pakai drum, teknologinya teknologi tua. Seberapa serius Indonesia akan melakukan balasan? Kita menyatakan protes. Namun kita juga ingin belajar dari mereka kalau kita dianggap lebih jelek. Karena larangan terbang ini bertentangan dengan prinsip open sky, maka kita akan menghentikan pembicaraan dan dialog tentang agreement horizontal dengan Uni Eropa yang akan memayungi kerja sama open sky. Kita hentikan karena tidak ada gunanya dan tidak ada asas kemaslahatan bersama. Selanjutnya, Bapak Presiden pun mengatakan, beliau tidak akan ke Eropa sebelum larangan terbang pada Garuda dicabut. Sebagai pemimpin negara, beliau bangga pada maskapai penerbangannya. Jadi, sebenarnya tidak ada pengertian balas dendam. Yang dilakukan Indonesia itu sebetulnya menghormati larangan terbang yang dijatuhkan oleh mereka. [Ekonomi, Gatra Nomor 5 Beredar Kamis, 13 Desember 2007
<<65.jpg>>