Jawa Pos
[ Senin, 15 Juni 2009 ] 

Kalah sebelum Berperang 


PEMERINTAH RI saat ini dipusingkan dengan masalah Ambalat yang dapat mengganggu 
kedaulatan NKRI. Banyak lontaran dari masyarakat agar kita mempertahankan harga 
diri bangsa. Tujuannya, kita tidak diremehkan oleh bangsa lain. Kelompok itu 
menginginkan, kalau masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, 
berperang adalah jalan terakhir untuk memperingatkan Malaysia.

Hanya, yang jadi pertanyaan, bagaimana itu bisa kita lakukan? Pesawat tempur 
kita sudah tua dan banyak yang jatuh. Berapa lagi korban yang akan jatuh jika 
perang dilakukan? Pada 2009 saja sudah lima pesawat TNI yang jatuh sendiri, 
padahal perang belum dimulai! Harapan saya, semoga tragedi jatuhnya pesawat TNI 
pada 12 Juni lalu menjadi kecelakaan terakhir dan perang pun tidak terjadi.

ALFIAN, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sains Universitas Wijaya Kusuma Surabaya 

++++

Jawa Pos
[ Senin, 15 Juni 2009 ] 


Drama Kecelakaan Pesawat TNI 
Oleh: M. Sanusi 


Berselang empat hari dari jatuhnya helikopter Bolkow 105 di Cianjur, Jumat 
siang 12 Juni 2009 helikopter jenis Puma SA-330 milik TNI Angkatan Udara (AU) 
kembali jatuh dan menewaskan sedikitnya lima di antara tujuh orang 
penumpangnya. Peristiwa itu merupakan kecelakaan pesawat militer ketujuh dalam 
empat bulan terakhir, yang menewaskan 84 personel TNI dalam rentang Maret 
hingga Juni 2009. 

Menyikapi drama kecelakaan pesawat TNI tersebut, segudang pertanyaan dan 
setumpuk keprihatinan seketika memenuhi pikiran dan perasaan masyarakat 
Indonesia. Ada apa pesawat TNI? Siapa yang bertanggung jawab terhadap sekian 
peristiwa nahas itu?

Pertanyaan pertama mengacu kepada situasi buruk yang menimpa tiga matra 
angkatan, yaitu Angkatan Darat (AD) Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara 
(AU), secara khusus dan TNI secara umum. Pertanyaan kedua mengacu kepada 
pemerintah dan lembaga yang selama ini diserahi tugas mengelola urusan 
pertahanan dan keamanan. Jika pertanyaan pertama terjawab, tidak bisa 
dihindarkan pertanyaan yang kedua juga bisa disingkap.

Peristiwa kecelakaan di landasan helikopter Markas Besar Komando Lanud Atang 
Sendjaja, Kabupaten Bogor, itu bisa jadi hanya fenomena gunung es dari kondisi 
sebenarnya yang terjadi di TNI. Jika benar, alangkah buruknya sistem pertahanan 
dan keamanan di Indonesia. Jangankan bisa membela negara Indonesia dari 
serangan luar, mengatasi serangan dari dalam berupa kerusakan dan kecelakaan 
saja sudah tidak sanggup. Untuk itulah, kita harus mencari penyebab paling 
signifikan dari serentetan persitiwa nahas yang terjadi tersebut.

Berbagai Persoalan 

Pertama, yang penting disorot adalah alokasi anggaran. Pemerintah melalui 
Departemen Pertahanan terbilang minim dalam masalah alokasi anggaran. Menurut 
Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Study sekaligus penulis 
buku Defending Indonesia Connie Rahakundini Bakrie, anggaran pertahanan 
Indonesia adalah yang terkecil di ASEAN. Anggaran pertahanan dalam Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 hanya 0,6 persen dari produk domestik 
bruto (PDB) atau setara dengan USD 3,3 miliar. 

Fakta itu menjadikan Indonesia sebagai negara berwilayah besar dengan anggaran 
pertahanan terendah di ASEAN setelah Laos (0,4 persen dari PDB), Kamboja (1,4 
persen dari PDB), apalagi jika dibandingkan dengan Vietnam (6,3 persen dari 
PDB), atau Singapura (7,6 persen dari PDB). (Majalah Tempo/Mei 2009)

Minimnya anggaran tersebut berdampak pada poin kesalahan yang kedua, yakni 
kebiasaan untuk mendaur ulang alat-alat yang sudah tidak lagi memiliki 
kemampuan operasional yang layak. Poin itu merupakan penyebab signifikan dari 
terjadinya kecelakaan pesawat, sekaligus akibat langsung dari keterbatasan 
anggaran. 

Diketahui, pesawat Puma SA-330 yang jatuh kemarin (12 Juni 2009, Red) 
sebenarnya telah dinyatakan rusak permanen (total loss) oleh TNI-AU. Artinya, 
pesawat itu sudah tidak bisa digunakan lagi. Pertanyataan itu dikeluarkan oleh 
Panglima Komando Operasi TNI Satu Marsekal Muda Imam Safaat di Bandung (12/6). 
Meski hasil penyelidikan dan investigasi masih berlanjut, minimal jelaslah 
persoalan bahwa kecelakaan terjadi bukan karena semata-mata ''takdir'' seperti 
yang pernah dinyatakan menteri pertahanan RI, tapi lebih dari itu, yakni unsur 
perawatan yang memang sangat penting untuk menjaga daya operasional alutsista 
(alat utama sistem pertahanan) dikerjakan dengan amat sewenang-wenang dengan 
tanpa memperhatikan standar keamanan dan keselamatan.

Faktor ketiga -dan, inilah sebenarnya akar dari sekian persoalan yang mendera 
TNI- adalah persoalan regulasi yang cenderung irasional dan minim pertimbangan. 
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Indonesia tidak menyertakan potensi ancaman 
25 tahun mendatang dalam tiap pembahasan anggaran pertahanan. Hal itu 
disebabkan penekanan yang besar terhadap bidang perokonomian dan sosial. 
Padalah, dalam praktiknya, pembangunan ekonomi dan militer merupakan dua garis 
sejajar yang sama penting. 

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan 
bahwa TNI bertugas menangani masalah eksternal yang memerlukan kekuatan 
angkatan bersenjata yang berorientasi outward looking. Itu artinya, kekuatan 
TNI-AL dan TNI-AU yang profesional, kuat, siap, dan menang perang harus 
diupayakan. 

Tapi, kontradiksi terjadi ketika melihat pasal 25 UU tersebut yang menyatakan 
bahwa TNI harus menerima anggaran yang ditetapkan dalam APBN, berapa pun 
jumlahnya. Bagaimana mungkin meremajakan dan membangun kemampuan TNI yang kuat 
kalau regulasinya kontradiktif. Satu sisi dituntut untuk melakukan militarizing 
our military, di sisi lain anggaran dibatasi dan harus tunduk kepada ketetapan 
APBN, yang ketetapannya bergantung kepada kebutuhan serta situasi dan kondisi 
yang berjalan. 

Berbeda, misalnya, dengan KPU yang melaksanakan proses demokrasi tanpa batasan 
anggaran sehingga memberikan keleluasaan kepada aparatnya untuk bekerja. Dalam 
kondisi seperti itu, hasil optimal KPU merupakan kewajiban, sementara hasil 
optimal dalam urusan hankam adalah mukjizat yang sulit dicapai.

Itulah sedikit gambaran tentang betapa buruknya keadaan yang dialami TNI selama 
ini, yang semakin menjelaskan betapa potensi ancaman terhadap keselamtan dan 
keamanan TNI sendiri amat riskan untuk masa-masa mendatang. Bagaimana mungkin 
TNI melakukan tugas pengamanan jika keadaaan internal sudah tidak aman?

Karena itu, ke depan agenda yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah 
solusi konkret, bukan sekadar imbauan, larangan, atau peringatan. Tapi lebih 
dari itu, instruksi langsung yang mengarah kepada problem solver, seperti 
penyediaan dana darurat untuk memutus mata rantai kecelakaan pesawat dan 
peralatan lainnya. (*)

*Peneliti pada CSDS (Central for Social dan Democracy Studies) UIN Sunan 
Kalijaga, Jogjakarta 

Reply via email to