http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=173079


Kemajuan Ekonomi Masih Sebatas Kosmetik
Oleh Moh Yamin 


Selasa, 15 Mei 2007
Menguatnya nilai tukar rupiah menembus angka di bawah level psikologis Rp 
9.000-an per dolar Amerika Serikat (AS) cukup membawa angin segar bagi sektor 
finansial. Terbukti posisi rupiah ditutup dengan menguat 75 poin di level Rp 
8.975 per dolar Amerika dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp 9.050 
(Jawa Pos, 5 Mei 2007). 

Secara makro gradasi perekonomian dalam negeri pun melejit naik dibandingkan 
sebelumnya yang pernah membawa krisis moneter berkepanjangan di awal tahun 1997 
hingga 1998 dengan angka lebih dari Rp 10.000 per dolar. Kemajuan ekonomi makro 
yang sudah dicapai setinggi itu akan mampu mendongkrak laju sektor-sektor 
ekonomi makro lainnya. 

Banyak investor asing siap sedia untuk mengucurkan dananya untuk kepentingan 
dalam negeri Indonesia. Dana investasi tersebut dapat dipergunakan demi 
penguatan roda pembangunan negara. Investasi tersebut bisa menyuburkan 
perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk tetap pro-aktif dalam menggerakkan 
dunia usahanya. 

Kondisi itu semakin melancarkan roda ekonomi dalam negeri. Perusahaan akan 
semakin berkembang dan maju pesat. Dampak jangka panjangnya adalah perekonomian 
dalam negeri makin sehat. Tidak ada perusahaan yang gulung tikar. Justru 
perusahaan baru semakin bermunculan dalam pentas usaha dalam negeri. 

Namun konteksnya menjadi berbeda ketika kehebatan ekonomi makro itu tidak 
memberikan efek positif dan konstruktif bagi kemajuan ekonomi mikro di sektor 
riil. Usaha kecil menengah (UKM) tetap terpuruk. Pengusaha-pengusaha kecil 
dililit krisis modal dan seterusnya. Pengangguran kian merajalela. 

Kemiskinan semakin menggurita. Yang pasti, kondisi kronis seperti itu merupakan 
deretan murni bahwa kebijakan ekonomi makro ternyata tidak mampu memperbaiki 
nasib rakyat kecil. Rakyat kecil justru bertambah sengsara dan nestapa. Mereka 
tetap menjadi orang-orang terpinggirkan dan melarat. Tidak bisa lepas, dan 
bangun dari jeratan persoalannya. 

Diakui ataupun tidak, tatkala pengaruh kebijakan ekomoni makro tidak signifikan 
bagi pembangunan ekonomi rakyat kecil, hal itu sama saja dengan kemajuan 
ekonomi dalam negeri, hanya berhasil dengan capaian-capaian formalitas an sich. 

Secara kasat mata ekonomi Indonesia kelihatan sukses. Namun, sebetulnya sekian 
macam persoalan ekonomi mengakar kuat di tingkat grassroot. Alih-alih akan 
memperjuangkan rakyat kelas bawah, justru kebijakan ekomoni makro itu membunuh 
hajat hidup orang banyak. 

Kebijakan ekonomi yang sudah diraih secara praksis tersebut masih menyulitkan 
ruang gerak kelas bawah untuk menata ekonominya agar lebih baik. Pemerintah dan 
tim ekonominya tidak membuahkan hasil apa-apa bagi keberlangsungan ekonomi 
kelas menengah ke bawah. 

Yang muncul adalah keresahan sosial akibat kemiskinan ekonomi, kekalutan hidup 
akibat sulitnya mendapat pekerjaan yang layak dengan pendapatan yang pantas. 
Terjadinya kekisruhan hidup di dalam keluarga akibat sang suami (kepala 
keluarga) tidak mampu membiayai hidup anak-anak dan istrinya secara 
berkecukupan. 

Mencermati keadaan tersebut, sebetulnya masih ada ruang untuk sesegera mungkin 
memperbaiki nasib ekonomi dalam negeri secara mikro. Menguatkan soliditas tim 
ekonomi adalah sebuah keniscayaan. Tim ekonomi di Kabinet Indonesia Bersatu 
(KIB) harus peka terhadap kebutuhan dan keluh kesah di sektor ekonomi riil. 

Dengan kepekaan itu akan membuka ruang kesadaran tim ekonomi untuk berbuat 
sesuatu yang terbaik bagi rakyat kecil. Tim ekonomi juga harus pintar 
memanfaatkan penanaman modal asing yang masuk ke dalam negeri. Mewujudkan dana 
investasi dalam bentuk simpan pinjam. Dengan modal tersebutlah, rakyat kecil 
akan mampu bangkit dari keterpurukan ekonomi keluarganya. 

Rakyat kecil bisa mengubah nasib-dirinya dari melarat menjadi tidak melarat, 
dari sengsara menjadi tidak sengsara, dan lain seterusnya. Dalam konteks itu, 
modal yang dipinjamkan kepada rakyat kecil akan mendorong laju perekonomian 
kelas bawah untuk naik ke atas. 

Bahkan dengan kondisi itulah mereka bisa melakukan banyak hal, terkait apa yang 
terbaik dan paling pantas guna mengukir sejarah hidupnya di masa mendatang. 
Diakui atau tidak hal itu senantiasa menahan dan menekan angka kemiskinan serta 
pengangguran lebih banyak di Tanah Air. Akan tetapi pertanyaannya, mampukah 
pemerintah dan tim ekonominya mampu melakukan itu semua? 

Secara eksplisit banyak investor tidak sudi bila dana investasinya 
direalisasikan dalam bentuk simpan pinjam, kredit lunak, dan lainnya. Sebab 
para investor asing tidak mau ambil pusing. Dalam pandangan mereka adalah 
bagaimana modal tersebut dalam waktu tidak begitu lama berada di negeri orang, 
tetapi mengais keuntungan sangat besar. 

Bisa dibayangkan bila dana investasi itu berbentuk kredit lunak untuk rakyat 
kecil, maka uang tersebut menunggu sekian lama untuk kembali ke kantong 
investor. Itu belum menjamin bahwa dana akan aman. 

Bisa saja terjadi deflasi maupun inflasi, sehingga nilai mata uangnya 
naik-turun yang bisa berakibat buruk bagi keamanan dana investasi. Bila dana 
investasi tersebut dibentuk menjadi Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank 
Indonesia (SBI), obligasi, dan saham, maka dapat ditarik sewaktu-waktu dan 
keuntungannya bisa diprediksi. 

Akhirnya, kapan saja investor mancanegara itu ingin meninggalkan Indonesia, 
dananya tinggal ditarik. Itulah jawabannya mengapa sektor finansial mengalami 
peningkatan luar biasa, akan tetapi tidak berimbas pada sektor riil. 

Karena itu tim ekonomi pemerintah harus sesegera mugkin mengambil langkah 
tegas, dan antisipatif. Sentimen positif yang terjadi di pasar modal dan pasar 
uang hendaknya dimanfaatkan untuk perbaikan sektor dunia usaha dan sektor riil 
lainnya. 

Kesempatan tersebut sudah ada di depan mata. Kini tinggal menunggu keseriusan 
dan komitmen pemerintah secara sungguh-sungguh untuk melahirkan kebijakan yang 
tepat sasaran.*** 

Penulis adalah pengamat perbankan dan tinggal di Malang 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke