http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=26556
Refleksi : Papua sebuah koloni? 06 April 2009 10:04:51 Kemakmuran di Tanah Papua, Dikemanakan? JAYAPURA-Kampung adalah kunci kemakmuran suatu bangsa. Bila seluruh kampung di Indonesia makmur, maka makmurlah bangsa ini. Namun kemakmuran di Tanah Papua selama ini dikemanakan, sehingga Papua yang 70 persen lebih penduduknya hidup di kampung-kampung dan di daerah terpencil masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh anggota DPR RI, Inya Bay,SE,MM yang juga Caleg DPR RI No. 3 Dapil Papua kepada Cenderawasih, kemarin. Menurutnya, Papua ini memiliki potensi sumber daya alam yang cukup luas, dimana luas wilayah Papua mencapai 31,706.208 km2 dan jumlah penduduk yang relatif sedikit dibanding provinsi lainnya, yaitu 2.000.738 jiwa, yang tersebar di 26 kabupaten dan 1 kota. Tetapi mengapa rakyat Papua belum memperoleh kesejahteraan seperti yang diharapkan. "Jika matahari terbit dari barat, maka datanglah kiamat, tapi matahari selalu terbit dari timur, maka jarang di Indonesia Timur mendapat laknat dari Tuhan. Inilah Negara ini yang salah membangun Indonesia karena dimulai dari titik yang salah, artinya dari selisih perbedaan waktu satu atau dua jam saja sudah barang tentu Indonesia Timur seharusnya pembangunannya lebih maju dua jam dari Indonesia lainnya," ujarnya. Dengan pertimbangan kondisi obyektif yang ada dan berkembang di Tanah Papua dewasa ini, diperlukan langkah-langkah khusus yang berguna bagi percepatan pembangunan di daerah, sehingga diharapkan upaya tersebut dapat memecahkan permasalahan mendasar yang terjadi umumnya di Papua. "Strategi pembangunan di Papua tidak mungkin mengabaikan sosial kultur yang sangat majemuk, realitas budaya bahkan harus menjadi variabel pokok yang wajib diakses dalam setiap perumusan program pembangunan. Pendekatan pembangunan perlu di arahkan sebagai pendekatan yang mengadopsi kembali nilai, orientasi hidup, struktur sosial dan institusi lokal," papar Bay. Dikatakan, masyarakat Papua dari berbagai kecendurungan zona ekologi yang ada di Papua, baik masyarakat berekologi pantai, pesisir, kepulauan, masyarakat berekologi lembah kecil, kaki gunung dan dataran rendah, serta masyarakat yang berada di ekologi pegunungan dan pedalaman. "Oleh karenanya pembangunan yang spesifik lokal ini berada dalam kerangka strategi terpadu yang berusaha untuk menyertakan pembangunan manusia Papua maupun pengembangan wilayah-wilayah potensial secara berkelanjutan dan berkeadilan dalam satu tarik langkah," tandasnya. Dalam kerangka menghadapi tantangan di atas, maka perlu ditempuh prioritas kebijaksanaan yang diharapkan kepada beberapa hal: pertama, pemberdayaan sumberdaya orang Papua Asli sesuai perintah Otsus. Kedua, pemberdayaan Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Ketiga, pemberdayaan ekonomi rakyat Papua di kampung-kampung. Keempat, membuka aksesbilitas transportasi dan penyediaan infrastruktur sosial ekonomi sesuai dengan kebutuhan lokal yang berguna bagi wilayah pedalaman, pesisir, kepulauan dan wilayah perbatasan RI-PNG dan wilayah-wilayah potensial. Kelima, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah Papua, dan mengatur eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan tanpa memperhatikan lingkungan hidup sosial (social environment), lingkungan hidup binaan (enable environment) dan lingkungan hidup alam (natural). Pihaknya menjelaskan, ketidakadilan negara terhadap daerah penghasil, seperti Provinsi Papua yang telah memiliki UU Nomor 21 Tahun 2001 yang mempunyai arti kekhususan yaitu untuk semangat di daerahnya, namun disisi lain negara (Pemerintah Pusat) belum sepenuhnya memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah dengan alasan strategis seperti di bidang pertambangan migas dan minyak bumi memiliki arti strategis bagi kepentingan nasional, sehingga pengelolaannya masih dilakukan oleh Pusat, dengan perubahan porsi pembagian keuangan yaitu 85 % pusat 15 % daerah untuk pertambangan gas. "Kemudian 70 % pusat dan 30 % daerah untuk minyak bumi. Sedangkan untuk mineral dan batu bara porsinya adalah 20 % pusat dan 80% daerah. Pengaturan yang tidak berimbang dan tidak sesuai dengan makna UU No 22/1999, tentang kewenangan daerah otonom, dan UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provisi Papua dan khusus lagi untuk orang Papua asli," tuturnya. Seperti hasil eksploitasi tambang bijih tembaga di Freeport Timika dengan kontrak Karya yang di perpanjang selama 20 tahun, tidak pernah melibatkan Majelis Rakyat Papua sebagai representasi wali amanat Rakyat Papua. "Padahal kita tahu bahwa, kontrak karya tersebut diperpanjang selama 20 tahun kembali," jelasnya. Mungkin orang bisa saja bertanya apakah MRP yang tidak mengerti atau pura-pura tidak dimengertikan para-pihak. Padahal kalau dihitung dengan benar, hasil kosentrat dari eksploitasi bijih tambang di Tembagapura tersebut menghasilkan bijih tembaga asli, berjuta-juta kubik ton yang penyulingannya di lakukan Jepang, sebelum dikirim ke negara-negara tujuan atau pembeli," paparnya panjang lebar. "Jika kontrak karya tersebut benar-benar dilakukan secara terbuka, maka hasil kekayaan Tambang di Timika Provinsi Papua tersebut dapat memakmurkan Tanah Papua, memakmurkan Kepulauan Maluku sampai Pulau Sulawesi," . Dari data Pembayaran Pajak PTFI kepada Negara tahun 2006 sebesar Rp 14,Triiun pertahun, tidak termasuk dengan hasil emas dan mungkin uranium didalam kosentrat yang diproses di Jepang tersebut. Kemudian Proyek Mercusuar Tangguh, British Petroleum di Teluk Bentuni Provinsi Papua Barat akan di bangun 8 Train kilang gas (righ) yang terbesar di kawasan Teluk Bintuni, masing-masing kilang (righ) umur eksploitasinya 20 tahun. Data dari analisa perhitungan kotor fluktuasi pasar, Tangguh menghasilkan ( 20 juta dollar Amerika. Jika dengan perbandingan kurs 1 US$ Rp.8000,- berarti sehari keuntungan kotor Rp 160.000,- milyar/hari, karena cadangan gas alam cair paling terbesar di dunia," pungkasnya. (