Korban Perang Padri Minta Pelurusan Sejarah
http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/10/16/20213541/korban.perang.padri.minta.pelurusan.sejarah


/
Kamis, 16 Oktober 2008 | 20:21 WIB
 
MEDAN, KAMIS - Polemik
soal Perang Padri mendapat tanggapan sejarawan sekaligus mereka yang
menjadi korban. Mereka meminta pelurusan sejarah sehingga bisa dipahami
secara arif generasi berikutnya. Ada hal-hal dalam Perang Padri yang
menyimpan luka mendalam bagi korban perang .
Hal ini disampaikan sejarawan melalui surat elektroniknya yang diterima Kompas,
Kamis (16/10) di Medan. Gerakan radikal Padri tidak bisa dipandang
sebagai suatu yang positif. Apalagi gerakan radikal Padri dipandang
mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial saat itu, kata
pemerhati sejarah Basyral Hamidi Harahap.
Basyral membantah
kesimpulan tersebut. Penilaian terhadap Perang Padri seperti itu dia
anggap gegabah. Tragedi kemanusiaan yang luar biasa tidak bisa
dinafikan. Bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di
Tapanuli, kata penulis buku Greget Tuanku Rao ini.
Menurut
dia Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam
dalam sejarah Indonesia abad ke-19. Mereka bukan saja berupaya
menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga
menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan
kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan
terhormat.
Dalam Perang Padri banyak sekali naskah sejarah yang
hilang. Beberapa di antaranya berhasil diselamatkan oleh Asisten
Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon. Dia
memperlihatkan naskah kuno Mandailing kepada Herman Neubronner van der
Tuuk ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852. Buku berisi
berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, dan pengobatan.
Motivasi 
Sampai
sekarang, kata mantan peneliti KITLV (pusat kebudayaan Belanda) ini,
motivasi pemusnahan naskah kuno itu belum jelas. Basyral sendiri
merupakan korban Perang Padri karena nenek moyangnya tewas dalam
pertempuran di Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.
Dia sepakat bahwa Perang Padri merupakan perang dagang semata.
Penyerbuan Padri ke Sumatera Utara juga terjadi lantaran habisnya
logistik di Sumatera Barat.
Respons Basyral ini muncul setelah ada bedah buku berjudul Gejolak Ekonomi, 
Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya
Christine Dobbin. Bedah buku ini digelar oleh Pusat Studi Sejarah dan
Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan (Unimed), Selasa (14/10) lalu.
Dalam diskusi itu hadir antropolog Unimed Usman Pelly dan Guru Besar
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut Nur Ahmad Fadhil Lubis.
Kepala
Pussis Unimed, Ichwan Azhari mengatakan perdebatan tentang Perang Padri
penting dikembangkan secara akademis. Diskusi ini , katanya, justru
semakin bagus untuk meletakkan wacana bahwa sejarah tidak bisa
dipandang dari satu sisi saja. Selama ini Perang Padri banyak dilihat
dari satu pihak. Belum banyak pendapat ilmiah dari sudut pandang korban
perang, katanya.
Dalam persoalan ini, perlu muncul pandangan
orang luar seperti pandangan Dobbin tentang Perang Padri. Dikursus
tentang ini tidak harus dibatasi oleh masing-masing klaim kebenaran.
 
 
Andy Riza Hidayat 


      

Kirim email ke