http://www.sinarharapan.co.id/tajuk/index.html

Menyorot Pergantian di Lingkungan ESDM



Kinerja Departemen Energi, Sumber Daya Mineral (ESDM)m kurang menggembirakan. 
Hal itu diperlihatkan antara lain, dalam ketidakmampuan meningkatkan produksi 
minyak mentah dan pengembangan energi alternatif. Gara-gara dua kelemahan itu 
Indonesia rentan terhadap dampak negatif fluktuasi harga minyak mentah 
dunia.Dalam apa yang tampaknya merupakan upaya perbaikan, Menteri ESDM FX 
Purnomo Yusgiantoro mengganti Dirjen Minyak dan Gas Luluk Sumiarso dengan Evita 
Herawati Legowo, serta menyerahkan jabatan Dirjen Sumber Daya, Panas Bumi, dan 
Batubara dari Simon Felix Simbolon kepada Bambang Setiawan.


Secara psikologis, pergantian tersebut memberi harapan segar dalam sektor 
energi. Kedua pejabat baru memiliki latar belakang dan keahlian yang diperlukan 
pada pelaksanaan tugas-tugasnya. Salah satu tugas pokok adalah menaikkan 
tingkat produksi minyak mentah dari 899.000 barel per hari ke tahap yang lebih 
besar. Sebagaimana diketahui, produksi minyak mentah Indonesia turun dari 1,082 
barel per hari pada 2001 menjadi 899.000 barel sehari pada tahun lalu.


Kemerosotan produksi itu menyebabkan Indonesia mengalami defisit hingga harus 
mengimpor. Jumlah minyak mentah dan produk minyak mentah yang diimpor sudah 
diketahui, namun apakah angkanya ajeg atau berubah-ubah hanya sedikit pihak 
yang memahami. Begitu juga dengan jumlah minyak mentah yang diproduksi 
Indonesia.Yang pasti, negara harus mengeluarkan devisa yang amat besar agar 
dapat menutup kekurangan suplai minyak mentah dan produknya di pasar domestik. 
Kondisi ini menyulitkan sebab pada saat yang bersamaan bunga dan pokok utang 
harus dibayar. Dengan demikian, anggaran belanja negara terkuras oleh kedua hal 
itu.


Sekalipun sudah diupayakan, negara-negara kreditor tidak menghendaki Indonesia 
menunda pembayaran utang. Mereka malah lebih suka memberi pinjaman baru sebab 
hal tersebut juga akan mendorong perekonomiannya. Semua faktor-faktor yang 
menguntungkan kreditor biasanya tercantum, secara tersurat maupun tersirat, 
dalam syarat-syarat pemberian pinjaman.
Atas dasar itu dapat dimengerti mengapa pemerintah kemudian mengeluarkan surat 
utang dan membiarkan harga minyak bergerak sesuai harga keekonomiannya. Adapun 
subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dialihkan menjadi subsidi langsung 
kepada rakyat yang berhak menerima.


Penggeseran subsidi tidak menyelesaikan masalah pokok sebab Indonesia bakal 
terus menerus rentan terhadap dampak negatif fluktuasi harga minyak mentah 
dunia. Jurus lain yang perlu ditempuh adalah dengan meningkatkan produksi serta 
membeli langsung, tanpa perantara, dari produsen agar diperoleh harga yang 
lebih murah.
Sejauh ini, impor minyak mentah dan produk minyak mentah selalu melewati 
perantara. Kebiasaan ini bisa bertahan lama, lebih dari satu generasi, kendati 
membuat pemerintah harus mengeluarkan dana yang lebih besar.


Berbagai ikhtiar telah dicoba untuk mengubah sistem yang sudah membudaya itu, 
tetapi tak pernah berhasil. Barangkali keajegan ini disebabkan banyak pihak 
yang memperoleh manfaat. 
Dalam kaitan peningkatan produksi dalam negeri serta pembelian minyak mentah 
dan produksinya, Dewan Pewakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan Agustus 
berencana mengajukan hak angket. Kesungguhan para anggota DPR ini masih 
dipertanyakan menyangkut kedekatan dengan pemerintah dan kompetensi memahami 
laporan keuangan.


Kita berharap semua pihak, terutama para elite politik dan birokrat, serius 
membenahi sektor energi sebab menyangkut masa sekarang serta masa depan bangsa. 
Kelak tidak ada satu pun penduduk yang kebal terhadap kesulitan energi, 
sekalipun sudah diliputi kekayaan tak terperi sebab ia bisa saja terkena dampak 
tidak langsung. Kita sependapat dengan berbagai pihak yang menyatakan, sektor 
energi melulu dipandang dari sisi politis dan komersial belaka hingga Indonesia 
tidak pernah memiliki daya tahan energi yang memadai. Bayangkan, bagaimana kita 
gemar mengekspor sumber daya mineral dan energi tanpa memberi nilai tambah.  
Memang kita memperoleh pajak, beberapa orang tertentu mendapat manfaat langsung 
dan banyak tenaga kerja yang ditampung, tetapi jumlah itu tidak memadai bila 
produk yang bersangkutan diberi nilai tambah . Salah satu contoh klasik adalah 
dampak ekspor gas alam. Kita memang memperoleh apa yang digambarkan di atas, 
tetapi tak memiliki teknologi dan terpaksa mengimpor produk-produk turunan gas 
itu dengan harga lebih mahal. Pengangkatan dua pejabat baru di lingkungan ESDM 
akan berarti jika perubahan hanya sebatas pelaksana..

Kirim email ke