http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=288225

Senin, 04 Juni 2007,

Negara Elite yang Tegang
Oleh Laode Ida 


Drama perseteruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mantan Ketua MPR 
Amien Rais berakhir dengan "damai", setelah keduanya bertemu selama 12 menit di 
Bandara Halim Perdanakusuma. Sudah pasti ada pihak yang kecewa dan ada pula 
yang senang. Mereka kecewa karena semula berharap Amien akan konsisten dengan 
pernyataannya untuk buka-bukaan soal kebobrokan para penyelenggara negara ini, 
yakni kasus dana kampanye yang ditengarai ilegal menjadi pintu masuknya. 

Amien Rais juga sudah mengakui menerima dana dari Departemen Perikanan dan 
Kelautan (DKP) itu, suatu kejujuran yang seharusnya mesti dipertanggungjawabkan 
melalui proses-proses hukum yang berlaku. Diharapkan pula, pengakuan Amien itu 
bisa "diteladani" para capres/cawapres lain, termasuk Yudhoyono-Kalla yang saat 
ini memimpin negara ini.

Sementara itu, bagi yang senang, justru peristiwa islah itu menjadi happy 
ending, berakhir dengan sesuatu yang menyenangkan. Mengapa? Pertama, mereka tak 
ingin melihat budaya perseteruan elite terus merecoki pengelolaan bangsa ini. 
Mereka khawatir karena biasanya "saat dua gajah beradu, yang jadi korban 
serangga-serangga kecil tak berdaya akibat terinjak-injak". 

Tepatnya, perseteruan elite bangsa akan menjadikan ketegangan sosial politik 
meningkat. Para elite akan semakin sibuk mengurus diri dan atau kelompoknya, 
sementara rakyat tak terurus. Apalagi, yang terlibat secara langsung adalah 
presiden pilihan rakyat yang diharapkan waktunya diabdikan untuk mengurus dan 
menyejahterakan rakyat.

Kedua, baik bagi pihak Amien maupun Yudhoyono, pertemuan damai itu akan bisa 
menjadikan keduanya tenang dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Keduanya tak 
perlu resah dengan kemungkinan adanya upaya hukum untuk menelusuri kebenaran 
aliran dana DKP (dan juga barangkali dana asing) yang masuk ke pihak 
masing-masing. Sebab, Yudhoyono sebagai presiden bisa menggunakan otoritasnya 
untuk menghentikan penyusutan kasus dana ilegal itu. 

Ketiga, bagi pihak Yudhoyono sendiri, mengakhiri perseteruan dengan Amien 
berarti memperkecil ruang konflik di tengah berbagai problem yang menjadikannya 
tersorot dan menurunkan derajat popularitasnya akhir-akhir ini. Sebab, kalau 
saja Amien masih ngotot untuk buka-bukaan sebagaimana dijanjikannya, tak 
mustahil Yudhoyono akan kewalahan menghadapinya. 

Apalagi, saat ini Yudhoyono-Kalla sedang dipersoalkan di lingkungan parlemen 
(DPR) (ancaman interpelasi) khususnya sebagai buntut kebijakannya terhadap 
Iran. Maka sudah pasti, berdamai dengan Amien merupakan jalan terbaik untuk 
mengeliminasi persoalan yang tengah dihadapinya.

Penyelesaian masalah kebobrokan dengan cara-cara negosiasi dan berdamai memang 
merupakan bagian dari salah satu karakter menonjol para elite politik dan 
penyelenggara negara. Biasanya, sekali lagi, dengan cara itu pula proses hukum 
bisa berakhir atau tak dilakukan sama sekali. Tak ada yang bisa menggugat 
mereka karena memang hukum dianggap berada di bawah kendali kekuasaan.

Tetapi, dengan cara-cara seperti itu pula, masalah bangsa ini tak pernah 
selesai. Sebab, tak ada satu aturan pun yang melarang kasus seperti itu dibuka 
kembali, yang sudah pasti akan melahirkan guncangan di publik seperti yang baru 
saja terjadi antara Amien dan Yudhoyono. 

Setiap seorang elite yang merasa tersakiti hatinya oleh elite lain, pastilah 
mereka akan berusaha mencarikan atau membuka kebobrokannya. Figur atau pihak 
yang menjadi sasaran pun bereaksi dengan menggunakan cara-cara defensif atau 
bahkan ofensif. Lagi-lagi muncul ketegangan sosial politik. Sementara itu, 
masyarakat umum menonton perseteruan di antara para elite itu. Ya, hanya 
menonton. Mereka tak bisa berbuat lebih dari itu, hingga berakhirnya lagi kasus 
tersebut melalui negosiasi damai seperti yang baru saja terjadi pada Amien 
versus Yudhoyono.

Tampaknya, disadari atau tidak, kekacauan di dalam negeri ini sebenarnya 
diciptakan para elite sendiri. Apakah penyebab "kekacauan" itu benar-benar 
berangkat dari fakta yang bisa dipertanggungjawabkan atau hanya dibuat-buat 
untuk memperoleh popularitas, semuanya dimulai para elite. Celakanya, dalam 
masyarakat yang teknologi informasinya (melalui media massa) semakin maju, 
rakyat terkadang terpengaruh, terbawah arus dan sentimen emosional dari 
elitenya. 

Rakyat hanya jadi penonton dan bahkan jadi korban. Kalau terjadi dampak 
politik, sosial, dan ekonomi terhadap instabilitas yang ditimbulkan konflik 
elite, yang jadi korban adalah rakyat kecil. 

Para elite tetap berjaya, menikmati keuntungan dalam penyelenggaraan negara, 
termasuk buah dari tawar-menawar politik dalam penyelesaian masalah secara 
damai itu. 

Pertanyaannya, apakah watak bangsa seperti itu tak bisa diubah? Saya kira 
memang sulit karena para elite merasakan manfaatnya. 

Pada tingkat tertentu, hal tersebut juga merupakan bagian dari "jualan" media 
massa dengan mengeksploitasi konflik atau perseteruan elite yang kontroversial. 
Asumsinya, barangkali, semakin banyak konflik atau perseteruan elite yang 
terjadi, semakin hangat dan laris media massa itu. Semua itu, seperti yang 
terjadi di Indonesia belakangan ini, memang boleh dikatakan tiada hari tanpa 
berita yang menegangkan, kendati semua berakhir dengan sangat mengecewakan.

Lama-kelamaan, masyarakat juga akan terbiasa dengan masalah yang berisi 
kepura-puraan bahkan kebohongan. Lagi-lagi, para elitelah yang berada di 
dalamnya atau menjadi aktor-aktor yang berperan penting. Hanya, muncul 
pertanyaan, apakah rakyat akan terus membiarkan negaranya atau diri mereka 
dikelola orang-orang yang merupakan pencipta masalah, pencipta ketegangan, 
bahkan sebagian terlibat dalam kasus-kasus yang setiap hari ramai 
diperbincangkan? 

Jawaban atas pertanyaan itu tentu berpulang pada rakyat sendiri. Yang pasti, 
sekarang atau baru saja berlalu sebuah sandiwara elite yang saling mengamankan 
kepentingan demi tetap bertahannya popularitas atau langgengnya kekuasaan. 
Lebih dari itu, potret bangsa ini sama saja dengan negara yang selalu tegang 
tanpa ujung penyelesaian masalah melalui proses-proses hukum yang berkeadilan.


Laode Ida, wakil ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah)

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke