POTRET BANGSA oleh Saurip Kadi <http://www.facebook.com/profile.php?id=1629620672> (catatan <http://www.facebook.com/notes.php?id=1629620672> ) SISTEM KENEGARAAN SEMRAWUT
KERUSAKAN BUKAN DI RAKYAT TAPI DI ELIT. Sesungguhnya kerusakan bangsa dan negara negara yang berlarut ini bukan karena rakyatnya. Kerusakan yang terjadi hanyalah di elitnya saja. Petani pukul 05.00 lepas subuh sudah kesawah Begitu pula nelayan. Meraka bermental baja, yang bukan haknya niscaya tidak diambilnya. Seorang petani untuk ia memulainya dari menanam dan merawat sertamemeliharaanya. Pelaut kita untuk memperoleh hasil tangkapan terkadang harus bertarung dengan ombak, taufan dan badai. Pedagang kaki lima hanya sekedar untuk memenuhi nafkah keluarga terus kucing-kucingan dengan Tibum. Namun anehnya rakyat yang baik itu, bahkan LSM yang suaranya nyaring mengkritik pemerintah ketika mendapat kesempatan menjadi elit ternyata berubah menjadi rusak. Hal yang demikian tidaklah jujur kalau kita hanya menempatkan faktor manusia semata sebagai sebagai penyebab utama kerusakan negeri ini. Yang pasti sistem kenegaraan kita telah mengantar bangsa ini berulang kali mengalami krisis dan sejak jatuhnya Suharto tahun Mei 1998, kita terus terpuruk seolah terlalu sulit untuk mengakhirinya. OLIGARKI KEKUASAAN Saat ini perpolitikan kita begitu semrawut yang ujung-ujungnya "duwit" (uang). Untuk menjadi Gubernur, seseorang harus mengeluarkan dana ratusan milyard rupiah. Terkadang mereka terpaksa menggunakan pemodal atau investor. Lantas bagaimana mungkin setelah berkuasa tidak korupsi untuk mengembalikan dana tersebut lengkap dengan bunga atau keuntungan yang memadai. Hal yang tidak bisa dihindari adalah terbentuknya oligarki kekuasaan, yang membuat pejabat kita dikendalikan pemodal/pemilik kapital. KARTEL POLITIK Partai dan elit yang berkuasa secara tidak disadari telah berkompromi bagi-bagi lahan sumber pendanaan, baik melalui departemen maupun korporat BUMN. Mereka menempatkan orang-orangnya yang bertindak sebagai kepanjangan tangan. Menjadi lebih parah lagi karena masing-masing elit memegang kartu truf (kelemahan) elit lainnya. Kelemahan ini kemudian dimainkan untuk saling "menyerang" dan "menjatuhkan", baik melalui opini maupun proses hukum dan juga intelejen. Akhirnya secara tidak disadari pula mereka (dan kroni masing-masing) bersatu dalam menutup kemungkinan munculnya calon pemimpin baru (diluar mereka), tak peduli dirinya nyata-nyata bermasalah dan juga telah terbukti gagal saat duduk dalam pemerintahan. Keadaan yang demikian biasa dikenal dengan istilah kartel. Kartel ini pula yang membuat kedaulatan saat ini tidak lagi ditangan rakyat, tetapi telah beralih ketangan partai dan elite yang berkuasa. CAMPURAN OTORITER DAN DEMOKRASI OTORITER, ciri utamanya adalah: Negara bertanggung jawab atas rakyat, Negara adalah penguasa, Hak Warga Negara adalah pemberian Negara, Pemerintah terlibat dalam pembuatan UU, Negara dan Pemerintah menjadi satu (Resikonya, ketika Pemerintah gagal sama dengan Negara gagal, contoh Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Uni Soviet, dan sejumlah Negara komunis di Eropa Timur lainnya menjadi punah ketika pemerintahannya gagal akibat pemimpinnya lemah). DEMOKRASI, ciri utamanya adalah: Rakyat bertanggung jawab atas Negara, Kedaulatan (kekuasaan tertinggi dalam mengatur Negara) milik rakyat, Hak Warga Negara adalah pembawaan/pemberian Tuhan YME bersama kelahirannya, Agar tidak terjadi benturan kepentingan antar warga Negara dalam menggunakan hak-haknya, maka Negara adalah regulator, fasilitator, dan pelindung bagi yang lemah , sama sekali bukan penguasa seperti dalam paham otoriter, Pemerintahan tidak terlibat dalam pembikinan UU, Negara dan Pemerintah dipisah atau dipilah (Maka instabilitas atau bahkan kegagalan Pemerintah sama sekali tidak berarti sama dengan instabilitas/ kegagalan Negara). BAGAIMANA DENGAN INDONESIA .? Pemerintah dan Negara jadi satu, Pemerintah terlibat dalam pembikinan UU, Negara adalah penguasa, Hak Warga Negara belum sepenuhnya sebagai pemberian Tuhan YME, sebagian masih sebagai pemberian Negara, Sistem kenegaraan yang dianut baik dalam UUD-45 yang asli maupun hasil amandemen masih mencampurkan paham otoriter yang azasnya "Top-Down" dengan paham demokrasi yang azasnya "Bottom-Up", Bahkan posisi Kepala Negara tidak sebagai lembaga yang tertinggi dalam Negara, padahal diseluruh dunia Kepala Negara adalah Lembatga Negara Tertinggi dalam sebuah negara. UUD-45 yang asli Lembaga Negara Tertinggi adalah MPR, sedang Hasil amandemen UUD-45 justru meniadakan posisi Kepala Negara, karena Presiden bukanlah sebagai Kepala Negara, tapi Kepala Pemerintahan Negara). Hal ini menjadi sangat prinsip karena posisi Kepala Negara haruslah mempunyai hak "Can Do No Wrong", untuk berbuat apa saja demi kemanusiaan dan atau tegaknya kedaulatan negara. Lantas bagaimana kalau negara kita diserang mendadak oleh negara lain, siapa yang akan memainkan hak "Can Do No Wrong". Lepas dari persoalan kadar keberanian presiden SBY, sumber kegamangan pemerintah dalam menangani musibah kemanusiaan lumpur Lapindo juga disebabkan sistem kenegaraan yang tidak secara tegas mengatur hak "Can Do No Wrong" yang mestinya harus ditangan seorang Kepala Negara. SISTEM DEMOKRASI CAMPURAN PARLEMENTER DGN PRESIDENSIAL Sistem PARLEMENTER, ciri utamanya adalah: Perdana Menteri diangkat oleh Parlemen, artinya legitimasi pemerintahan datangnya dari parlemen, Program yang ditawarkan (dijual) dalam pemilu adalah program partai, Program Pemerintah adalah program partai pemenang pemilu, Dalam Pemilu rakyat memilih partai (Beberapa negara yang dipilih gambar Calon Anggota DPR, tapi yang dijual oleh calon anggota DPR tetap yaitu program partai), Maka Ketua Partai otomatis calon Perdana Menteri, Karena yang dipercaya rakyat adalah partai, maka partai lah yang membentuk kabinet (pemerintahan), Sehingga disana dikenal istilah partai pemerintah, dan partai yang tidak duduk dalam pemerintah disebut partai oposisi, Perdana Menteri setiap saat bisa jatuh karena alasan politik, yaitu ketika dukungan di parlemen tidak lagi mayoritas. Untuk terwujudnya "Chek and Balance" maka anggota DPR pun setiap saat juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik. Kewenang partai dalam mencopot anggota karena dalam pemilu yang dipercaya (yang dicoblos) oleh rakyat adalah partai, DPR adalah wakil partai maka dalam DPR ada lembaga Fraksi, Posisi Partai kuat, karena ia membuat program, menyusun kabinet dan memilih pejabat pejabat politis lainnya, Pemerintah dibentuk setelah pemilu DPR. Bila di parlemen tidak mayoritas tunggal (50% + 1), maka partai pemenang terbesar berkoalisi dengan partai lain, maka kabinet yang dibentuk disebut kabinet koalisi. Sistem PRESIDENSIAL, ciri utamanya: Rakyat langsung memilih presiden artinya legitimasi presiden (Pemerintah) langsung dari Rakyat, Program yang dijual dalam pemilu bukan program partai, tapi program sang Capres, Program pemerintah adalah program Capres pemenang pemilu yang ditawarkan saat kampanye, Kabinet yang dibentuk adalah "Zaken" kabinet (Kabinet Ahli), Dalam menjalankan pemerintahan, presiden tidak tergantung dari besar kecilnya dukungan DPR, karena legitimasi presiden bukan dari DPR, tapi langsung dari rakyat. Bila Presiden tergangu oleh DPR maka Presiden punya Hak veto terhadap keputusan DPR (Disanalah maka dalam sistem presidensial Pemerintah tidak terlibat dalam membuat UU) dan Presiden juga punya hak bertanya langsung kepada rakyat (referendum), Presiden dipilih oleh rakyat untuk untuk jangka waktu tertentu (di Indonesia 5 tahun) maka Presiden tidak bisa dicopot ditengah jalan karena alasan politik. Artinya dalam sistem presidensial tidak ada "impeach" politik. Begitu pula untuk anggota DPR, karena dipilih langsung oleh rakyat untuk jangka waktu tertentu (di Indonesia 5 tahun) maka anggota DPR tidak boleh dicopot oleh partai, maka disana lahir kondisi "Chek and Balance" yang statis. Dengan kata lain, karena rakyat dalam pemilu nyoblosnya gambar orang bukan gambar partai, maka partai tidak punya hak untuk mencopot anggota DPR ditengah jalan karena alasan politik, DPR adalah wakil rakyat, maka di DPR tidak dikenal lembaga Fraksi, Pemilu presiden dilaksanakan lebih dahulu dari pemilu DPR, Tugas partai adalah mengembangkan ideologi dan mencari figure yang laku jual dalam pemilu, Tidak ada dalam sistem Presidensial ketua partai jadi calon Presiden, Diseluruh dunia tidak ada dalam sistem Presidensial Presiden dan Wakil Presiden lain Partai, Karena legitimasi datangnya langsung dari rakyat, maka dalam system presidensial mengakomodasikan calon independen. BAGAIMANA DENGAN INDONESIA ? Selama Orde Baru kita menggunakan sistem presidensial tapi pemilu nya memilih partai. Tahun 2004 Pemilu sudah langsung artinya rakyat langsung mencoblos tanda gambar Calon Presiden, tapi presiden bisa dicopot ditengah jalan karena alasan politik. Padahal rakyat memilih presiden untuk jangka waktu 5 tahun. Sistem yang kita pakai adalah presidensial tapi mengenal lembaga impeach politik. Anggota DPR bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik oleh partai, padahal rakyat dalam pemilu tidak pernah berhubungan dengan partai, karena yang diilih rakyat adalah orang dengan cara mencoblos gambar calon anggota DPR, sama sekali bukan partai, Pemilu 2004 dilaksanakan secara langsung, artinya legitimasi presiden datangnya langsung dari rakyat, tapi kabinet yang dibentuk koalisi, DPR bukan wakil rakyat tetapi wakil partai dan di DPR ada lembaga Fraksi (sehingga presiden terpaksa menghitung jumlah dukungan di DPR), Ada lembaga "Fit and Proper Test" oleh DPR, padahal rakyat tidak pernah memberi kuasa kepada partai untuk tugas-tugas tersebut. (Hal ini terjadi karena amandemen UUD-45 tidak mengubah paradigma sistem kenegaraan, artinya sistem kenegaraan hasil amandemen UUD-45 adalah turunan dari sistem Orde Baru) Catatan: Untuk perubahan UUD-45, sesungguhnya oleh Bung Karno tanggal 18 Agustus 1845 sudah diingatkan bahwa UUD -45 adalah UUD kilat, UUD darurat. Bahkan Bung Karno berpesan agar kelak kalau negara sudah dalam keadaan tenteram anggota MPR akan dipanggil untuk merumuskan UUD yang baru. Hal ini tidak bisa lepas dari proses penyusunan batang tubuh UUD-45 yang hanya disusun 1 hari dan didominasi oleh Moh Yamin dan Supomo, sebagai tokoh yang paham hukum ketatanegaraan. Masing-masing sistem demokrasi mempunyai kelebihan dan kekurangan, dan ketika dicampur adukkan begitu saja maka keduanya justru saling mereduksi kelebihan masing-masing dan bahkan saling menegasikannya. Kelebihan sistem Presidensial pada kuatnya stabilitas politik, hal ini terwujud karena Presiden dan anggota DPR sama-sama tidak bisa dicopot ditengah jalan. Ketika sistem yang dirancang membenarkan Presiden bisa di "impeach" (politik) dan juga bisa dicopot ditengah jalan dengan alasan politik, begitu pula untuk anggota DPR bisa di PAW (Pergantian Antar Waktu) ditengah jalan dengan alasan politik (yang hanya lazim terjadi dalam sistem parlementer), maka sistem kenegaraan kita menjadi begitu rentan, karena posisi Presiden yang notabene Kepala Negara negara setiap saat bisa digoyang. Berbeda dengan sistem parlementer yang menempatkan posisi Kepala Negara terpisah dengan Kepala Pemerintahan, maka biarpun terjadi instabilitas ditingkat pemerintahan, tidak berarti membahayakan stabilitas apalagi eksistensi negara, karena masih ada Kepala Negara yang biasanya dijabat oleh Raja. Belum lagi intervensi legislatif (DPR) terhadap eksekutif yang mestinya hanya terjadi pada sistem parlementer, sehingga membuat peran eksekutif menjadi mandul karna banyak direcoki oleh DPR. KELEMBAGAAN DEMOKRASI BELUM SESUAI TUNTUTAN KEDAULATAN RAKYAT Partai baru sekedar nama, partai harus diatur secara baku sebagai wadah perjuangan orang-orang yang punya kesamaan ideologi dan cita-cita, bukan kumpulan orang-orang bermacam-macam ideologi dan beraneka ragam cita-cita yang menggunakan jaket partai, begitu gagal meraih jabatan, pindah ke partai lain yang beda ideologi. Pemilu belum sebagai sarana transfer kekuasaan dari rakyat (sebagai pemilik asli) kepada pihak yang dipercaya, karena janji-janji waktu kampanye (kontrak sosial) tidak diimplemetasikan sebagai Program Pemerintah yang dibentuk oleh Presiden pemenang pemilu. Maka kedepan aturan main harus menggariskan bahwa antara Program Calon Presiden yang ditawarkan waktu kampanye (kontrak sosial), Nyoblos, dan program pemerintah (yang dibentuk oleh Capres pemenang pemilu) adalah satu kesatuan utuh yang tidak boleh dipisah-pisah. Konsep Otonomi Daerah yang setengah matang membuat kuatnya tarik menarik antar pusat dan daerah, belum lagi tidak sinkronnya antara aliran kekuasaan dan aliran dana. Otoritas yang dimiliki lembaga-lembaga demokrasi tidak boleh mereduksi makna kedaulatan rakyat, contoh: hak anggota DPR ikut melaksanakan "Fit and Proper Test" sejumlah pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi hak presiden selaku kepala pemerintahan. SISTEM KENEGARAAN BELUM SISTEMATIK. Susunan kelembagaan demokrasi belum diatur dalam hubungan yang saling berinteraksi secara harmonis. Hubungan antar kelembagaan belum disusun dalam rangkaian yang sistemik. Akhirnya pertanggungjawaban masing-masing lembaga tidak jelas. Akibatnya timbul proses saling menjegal, tumpang tindih, inefisisensi yang secara keseluruhan mustahil akan melahirkan sebuah sinergi. Lihat saja, yang berjanji untuk berantas KKN adalah presiden, tetapi lembaga yang melaksanakan (KPK) secara struktural tidak dibawah presiden. Hakim Agung dipilih oleh anggota DPR melalui lembaga "Fit and Proper Test", lantas bagaimana mungkin Hakim Agung bisa independen utamanya terhadap intervensi anggota DPR yang telah memilihnya menjadi Hakim Agung.