http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/10/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Refleksi

Pembesar Saudagar
oleh andar ismail 
Indonesia nomor satu! Sungguh, negara kita tampil sebagai nomor satu dalam 
daftar terbitan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Nomor satu dalam hal apa? 
Nomor satu dalam hal kepala negara yang paling korup. 

Pada 17 September 2007, PBB bersama Bank Dunia menerbitkan laporan Stolen Asset 
Recovery Initiative atau Prakarsa Pengembalian Kekayaan Negara yang Dicuri. PBB 
ingin menolong negara untuk memperoleh kembali kekayaan yang telah diambil oleh 
mantan presidennya. Upaya ini sangat rumit sebab harta haram itu disimpan di 
luar negeri dalam berbagai bentuk. 

Daftar terbitan PBB itu memuat sepuluh nama mantan presiden di dunia yang 
paling korup. Tampil sebagai yang pertama, paling atas, adalah mantan Presiden 
Soeharto. Investigasi PBB memperkirakan kekayaan negara kita yang telah dicuri 
oleh keluarga Soeharto berkisar 15 sampai 35 miliar dolar Amerika. 

Mengapa negara kita dirugikan begitu banyak? Penyebab utamanya adalah karena di 
negara kita telah terjadi kepemimpinan pembesar-saudagar, yaitu pembesar 
menjadi saudagar dan saudagar menjadi pembesar, alias penguasa jadi pengusaha 
dan pengusaha jadi penguasa. Mereka memegang kekuasaan politik, namun mereka 
dan keluarganya juga memegang kekuasaan ekonomi karena memiliki banyak 
perusahaan. Akibatnya, terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. 
Kekuasaan politiknya dipakai untuk menguntungkan perusahaannya. Terjadi 
campur-aduk antara kepentingan politik dan bisnis yang menimbulkan peluang 
korupsi yang tidak bisa diketahui oleh penegak hukum. 

Sebetulnya, fungsi pembesar dan fungsi saudagar merupakan karunia Allah. Kedua 
karunia ini berbeda hakekatnya. Kedua-duanya baik, namun jika digabung menjadi 
satu bisa berpeluang kurang baik, sebab pola pikir kedua fungsi itu sangat 
berbeda. Pola pikir saudagar adalah laba, yaitu bagaimana memperoleh laba 
sebanyak-banyaknya. 

Padahal, pola pikir pembesar sepatutnya adalah nilai-nilai kemasyarakatan, 
yaitu bagaimana menyejahterakan masyarakat sebaik-baiknya dan nilai-nilai ini 
tidak bisa diukur dengan materi laba. 

Konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang itu dinilai oleh Yohanes 
(mungkin Yohanes Zebedeus, mungkin Yohanes Presbiter Asia Kecil) dalam kitab 
Wahyu sebagai penyebab utama kejatuhan kerajaan Babel. Ada beberapa hal yang 
perlu diluruskan lebih dulu. Yang dimaksud di sini bukan kerajaan Babel atau 
Babilonia yang terletak di Mesopotamia ribuan tahun sebelum Masehi, melainkan 
sebuah nama samaran untuk Kekaisaran Romawi yang berpusat di Kota Roma. 
Gambaran dalam kitab Wahyu ini berbentuk realistik, seolah-olah sudah terjadi. 
Padahal, sebetulnya itu belum terjadi, sebab ketika kitab Wahyu ditulis sekitar 
tahun 90-an, Kekaisaran Romawi justru sedang jaya. 

Prediksi kejatuhan itu terdapat dalam perikop Wahyu 18:1 sampai 19:5. 
Sinyalemen campur-aduknya kekuasaan politik dan ekonomi berbunyi: "Karena 
pedagang-pedagangmu adalah pembesar-pembesar di bumi...." (18:25). 
Istilah-istilah "najis", "hawa nafsu cabul" dan "pelacur" dalam perikop ini 
bukanlah dalam arti seksual, melainkan dalam arti pelanggaran, penyimpangan, 
serta keserakahan politik dan ekonomi. 


Mencintai Negara 

Mengapa Yohanes meratapi kejatuhan Kekaisaran Romawi? Karena orang Kristen pun 
warga negara Romawi dan mereka mencintai negara mereka. 

Namun, mereka tidak mau menaati kaisar secara membuta. Mereka menolak perintah 
untuk menganggap kaisar sebagai Tuhan. Yohanes menulis kitab ini pada masa 
Kaisar Domitianus (memerintah tahun 81 s/d 98) yang serakah kekuasaan dan 
kekayaan, sehingga terjadi banyak penyalahgunaan wewenang. 

Lalu Yohanes meramalkan bahwa Kekaisaran Romawi akan terpuruk akibat korupsi. 
Dengan sedih ia meratapi hari depan negaranya. "Dan cahaya lampu tidak akan 
bersinar lagi..., karena pedagang-pedagangmu adalah pembesar-pembesar di bumi" 
(18:23). Saudagar menjadi pembesar dan pembesar menjadi saudagar. Negara 
dipimpin oleh pembesar saudagar. Terjadilah konflik kepentingan. 

Sekarang kita gigit jari. Sekian banyak harta negara yang kita perlukan untuk 
menyejahterakan rakyat telah dibawa oleh keluarga mantan presiden kita itu 
keluar negeri. 

Tetapi, apakah ini sepenuhnya kesalahan keluarga tersebut? Agaknya kita semua 
telah ikut bersalah. Bukankah kita juga telah memilih beliau sampai sekian masa 
jabatan? Bukankah kita bungkam ketika keluarga beliau menguasai seluruh ekonomi 
dari hilir ke hulu, dalam segala sektor mulai dari batu kerikil sampai batu 
intan, dari minyak goreng sampai minyak diesel, dari biji kopi sampai biji 
besi? Kita tidak memprotes. Sebaliknya, kita malah berlomba cari muka dan 
membungkuk-bungkuk di depan keluarga beliau. 


Penulis adalah pengarang buku-buku renungan Seri Selamat BPK Gunung Mulia

Reply via email to