http://www.sinarharapan.co.id/berita/0709/04/taj01.html


Pemerintah Menabung Citra Buruk



Pemerintah memiliki logika dan dasar hukum sebagai alasan menaikkan tarif 13 
jalan tol mulai 4 September 2007. Logikanya adalah para pemilik mobil pribadi 
tentu mampu membayar tarif yang tidak seberapa dibandingkan harga mobil. 


Sementara itu, dasar hukumnya adalah Undang-Undang No.38 tahun 2004 tentang 
Jalan Raya dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang tarif jalan tol. 
Kenaikan tarif tol bisa dilakukan dua tahun sekali dengan berbagai tujuan a.l. 
mengimbangi laju inflasi dan memperbaiki pelayanan.


Sekalipun dalihnya lengkap namun tujuan kenaikan tarif patut dipertanyakan 
karena operator tidak menepati janji. Oleh sebab itu, masuk akal bila Komisi V 
Dewan Perwakilan Rakyat akan mengajukan Hak Angket Tarif Tol dan sejumlah 
pengguna jalan tol akan mengajukan class action.


Kedua langkah itu sudah tepat karena menunjukkan kematangan bersikap dengan 
menggunakan jalur hukum. Sekalipun kita sudah bisa memperkirakan hasil akhir 
penggunaan jalur hukum.bakalan kandas. Tarif tol yang lebih mahal akan tetap 
diberlakukan. 


Posisi konsumen jalan tol dari dahulu selalu lebih lemah ketimbang para 
operator jalan tol. Mereka tak memiliki pilihan yang memadai ketika berhasrat 
tidak menggunakan jalan tol. Hal ini disebabkan tak tersedianya transportasi 
massal dengan jaringan yang perinci, seperti jalur kereta api 
Tangerang-Cikampek, Bogor-Tanjung Priok dan seterusnya. Jadi sebetulnya jalan 
tol dibangun bukan hanya untuk kelancaran angkutan barang dan jasa, namun juga 
instrumen mencari untung.


Filsafat untuk mencari untung ini terus melekat selama lebih dari 20 tahun dan 
memang cari untung dengan membangun tol sangat tepat. Pengelola setiap detik 
selama 24 jam akan memperoleh masukan dalam bentuk uang tunai. Dana tersebut 
bila disimpan di bank atau dibelikan surat berharga akan memperoleh tambahan 
jasa yang cukup besar.
Menurut data, sedikinya 240.000 unit kendaraan melintasi jalur tol 
Cikampek-Jakarta, Bogor-Jakarta dan Tangerang-Jakarta setiap hari. Dengan 
demikian, bisa diduga besarnya dana yang diperoleh operator setiap tahun.


Berkaitan dengan konteks di atas, kita mengusulkan supaya para pihak terkait 
mengaudit secara seksama penerimaan dan pengeluaran para operator, terutama di 
mana pemerintah mempunyai saham. Audit ini akan menyebabkan terpenuhinya rasa 
keingintahuan masyarakat tentang pengelolaan dana, kendati di antara operator 
ada yang sudah berstatus terbuka.


Aspek transparansi atas realisasi penerimaan dan pengeluaran operator tol perlu 
dikembangkan, sebab konsumen dapat merasakan sendiri realisasi peningkatan 
pelayanan yang dilontarkan para operator. Sejauh ini, pelayanan yang dijanjikan 
itu belum dilaksanakan mestinya.
Konsumen menilai para petugas jalan tol kurang tanggap dalam menanggapi 
kemacetan. Seringkali sejumlah loket tidak diaktifkan walaupun tengah terjadi 
antrean panjang. 


Kualitas jalan juga dipertanyakan karena bergelombang atau terkelupas di 
sana-sini. Sejauh ini tidak pernah disebut kecelakaan disebabkan akibat 
kualitas jalan yang buruk, melainkan gara-gara kelalaian pengemudi.
Seiring dengan masalah kualitas ini, kita berharap pengawasan ketat harus 
diberlakukan dalam pembuatan jalan tol baru guna mencegah penyimpangan seperti 
penggunaan bahan baku yang kualitas tak memadai, mengabaikan kondisi tanah atau 
ketebalan jalan yang tidak semestinya.
Banyak pihak menilai hak-hak konsumen sangat diabaikan. Masakan di jalan tol, 
bisa muncul penderek liar? 


Pengabaian hak-hak konsumen berarti juga keuntungan untuk konsumen, sekaligus 
merupakan laba tambahan selain perolehan tunai setiap hari. Meskipun demikian 
kecenderungan yang terus menguntungkan itu rupanya kurang meyakinkan para calon 
investor di berbagai jalur tol baru. Oleh sebab itu, berdasarkan logika dan 
hukum, mereka kini mendapat insentif lagi.


Reaksi negatif atas kenaikan tarif tol tidak akan berlangsung lama, mengingat 
konsumen tidak mempunyai pilihan. Sekalipun begitu bukan berarti persoalannya 
selesai sampai di sini. Masalahnya, pemerintah seperti menabung citra kurang 
elok dimata masyarakat.


Keberanian mengambil keputusan merupakan ciri kepemimpinan yang baik. Namun ia 
bisa bermakna lain, sebab rakyat mempertanyakan mengapa operator rajin 
menaikkan tarif sesuai ketentuan tetapi mengabaikan kepentingan konsumen? 


Mungkin benar kenaikan tarif tol tidak akan menaikkan harga barang, tetapi para 
penjual tidak berani menaikkan harga karena daya beli konsumen yang melemah. 
Pelemahan ini sudah jauh terjadi sebelum kenaikan tarif tol.


Dewasa ini, rakyat sudah jenuh dengan kenaikan yang bertubi-tubi di berbagai 
bidang, mulai dari biaya pendidikan, transportasi sampai bahan pokok. Kenaikan 
itu menyebabkan daya beli anjlok. 
Pemerintah memang akan menaikkan gaji PNS/TNI dan Polri tetapi kenaikan itu tak 
banyak berarti sebab dikejar inflasi. Sejarah terus berulang. Perulangan ini 
disebabkan pemerintah selalu menerapkan kebijaksanaan yang sama, plus sejumlah 
elite sama sekali tak peka dengan nasib rakyat.

Kirim email ke