Media Indonesia
Rabu, 30 April 2008 07:32 WIB

Penyakit Ekonomi dalam Liberalisasi
Ditulis oleh : Ichsanuddin Noorsy, Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

DUA puluh satu tahun lalu, tepatnya 12 September 1986 setelah Indonesia 
mendevaluasi rupiah dari Rp1.354 menjadi Rp1.644 atau melemah 21,4%, Kabinet 
Pembangunan IV kembali melanjutkan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.

Berbagai hambatan masuk (entry barier), barang impor dihapuskan, bahkan peranan 
Bea dan Cukai diswastakan ke pihak asing. Itu sebenarnya kebijakan liberalisasi 
perdagangan. Istilah deregulasi dan debirokratisasi itu sendiri merupakan 
tuntutan agar pemerintah mengurangi campur tangan dalam perekonomian.

Biarkan pasar bekerja menyediakan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. 
Di sisi lain, pasar dipasok oleh swasta asing atau domestik. Media massa 
mengunyah isu itu dengan memberitakan panjangnya birokrasi layanan publik dalam 
perizinan, banyak dan panjangnya meja dalam pengambilan keputusan, serta 
kuatnya peranan pemerintah sendiri dalam penyediaan barang dan jasa yang 
dibutuhkan masyarakat telah membuat harga-harga menjadi mahal dan pasar 
terdistorsi.

Karena situasi politik otoriter, DPR, dan parpol adalah perpanjangan tangan 
penguasa, kebijakan ekonomi yang sesungguhnya menyimpang dari amanat konstitusi 
itu berjalan tanpa hambatan. Lancarnya kebijakan liberal itu, walau disebut 
setengah hati, juga tampak pada terbitnya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang 
mengizinkan para pedagang kelontong mendirikan bank. Padahal kebijakan 
meliberalkan investasi asing dan leluasanya asing menghisap sumber daya 
pertambangan telah membuahkan devaluasi sejak 1971, 1978, 1983, dan 1986.

Pada 1991, setelah perbankan tumbuh bagaikan jamur di musim hujan dari 111 bank 
menjadi 239 bank, perekonomian kembali memanas, ditandai dengan tekanan 
inflasi. Walaupun tidak mendevaluasi, pemerintah menginstruksikan agar BUMN 
yang saat itu mendominasi kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) 
memarkirkan dananya di perbankan. Tujuannya agar tidak terlalu banyak uang 
beredar.

Selain inflasi, tekanan defisit transaksi berjalan pun terus meningkat mencapai 
US$4,354 miliar dan nilai tukar per US$1 menjadi Rp1.890. Angka itu menunjukkan 
liberalisasi investasi, perdagangan, dan industri telah gagal mengatasi 
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Sebaliknya Presiden Soeharto dengan 
dukungan Tim Ekonomi Mafia Berkeley berkeyakinan dengan menjadikan konglomerasi 
sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, tiga penyakit ekonomi klasik itu 
teratasi.

Kritik atas pembangunan ekonomi berbasis utang luar negeri dan liberalisasi 
perdagangan telah muncul sejak awal 1970-an. Devaluasi sebagai penyakit 
kambuhan ekonomi adalah bukti kegagalan kebijakan sekaligus menunjukkan 
tingginya tekanan neraca pembayaran. Marion Fourcade dan Sarah L Babb yang 
menulis dengan pendekatan sosiologi pada ekonomi neoliberal berhasil 
membuktikan tekanan neraca pembayaran karena kebijakan ekonomi neoliberal di 
Cile, Meksiko, Prancis, dan Inggris menghasilkan konflik sosial (American 
Journal Sociology vol 108 No 3, November 2002). Menurut mereka, tinggi 
rendahnya konflik sosial karena kebijakan ekonomi neoliberal itu bergantung 
pada seberapa jauh negara mengalokasikan anggaran untuk mengatasi tiga penyakit 
ekonomi klasik.

Di Indonesia, konflik sosial mulai tampak ketika isu kesenjangan sosial ekonomi 
menjadi bahan berita paling menarik sejak 1983. Sebelumnya, muncul peristiwa 
Malari 1974 sebagai wujud protes atas ketergantungan Indonesia pada Jepang. 
Sejak Juni 1983 yang ditandai dengan bebasnya suku bunga tabungan Tabanas dan 
Taska, Emil Salim dan kawan-kawan sibuk menjawab kritik utang luar negeri itu. 
Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, BJ Sumarlin, dan Emil Salim sebagai 
arsitektur perekonomian Indonesia mengatakan utang luar negeri tidak 
menciptakan ketergantungan, tapi saling ketergantungan. Almarhum Soemitro 
Djojohadikusumo, begawan ekonomi Indonesia, bahkan menyebutkan tidak ada negara 
yang bangkrut karena utang luar negeri. Dalam bahasa yang lain, pemberlakuan 
ekonomi pasar, liberalisasi perekonomian, dan utang luar negeri merupakan satu 
mata rantai. Itulah konsensus Washington, suatu kebijakan yang lahir pada 1980 
dengan muatan menihilkan peranan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa 
yang menguasai hajat hidup orang banyak, liberalisasi investasi, perdagangan 
dan keuangan, serta privatisasi.

Penihilan peranan itu merupakan wujud sikap penolakan etatisme (negara mengatur 
dan menjalankan roda perekonomian) yang dituangkan dalam kebijakan membatasi 
defisit anggaran dalam jumlah di bawah 2% terhadap PDB. Hasil penerapan 
kebijakan itu adalah runtuhnya perekonomian Indonesia pada krisis moneter 
1997/1998.

Sejalan dengan krisis Asia, sejumlah ekonom AS dan Eropa mengatakan runtuhnya 
perekonomian Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia pada 1997/1998 karena 
struktur ekonomi yang rapuh sekaligus dampak berantai gejolak pasar uang 
regional dan moral hazard.

Jika hal itu penyebab krisis ekonomi moneter 10 tahun lalu, apa penyebab krisis 
2007/2008? Secara resmi pemerintah menjawab, penyebabnya adalah krisis kredit 
perumahan AS (subprime mortgage), gejolak harga minyak, dan gejolak harga 
komoditas strategis karena permintaan yang meningkat.

Pertanyaan mendasarnya, kenapa pada krisis 1997/1998 Malaysia tidak terkena dan 
Thailand serta Korea Selatan yang juga didera krisis lebih cepat pulih jika 
dibandingkan dengan Indonesia? Dunia internasional mengakui, Malaysia tidak 
terkena krisis 1997/1998 karena menolak resep IMF, sedangkan Indonesia 
menyerahkan kedaulatan ekonominya kepada IMF melalui letter of intent sebagai 
tindak lanjut extended fund facility. Dalam krisis pangan sekarang pun, negara 
Asia yang terkena antara lain adalah Indonesia dan Filipina.

Situasi itulah yang mengingatkan saya saat Presiden Yudhoyono merekrut calon 
menteri pada Oktober 2004. Melihat siapa-siapa yang datang ke Cikeas, mahasiswa 
dan banyak kalangan menolak kaki tangan asing dan yang diindikasikan koruptor 
menjadi menteri. SBY merespons kritik itu dengan pendekatan prosedural. "Kita 
tidak boleh menuduh," katanya bijaksana meneduhkan suasana. Ternyata yang 
dipilihnya justru mereka yang hangat bersahabat dengan Barat.

Demikian juga saat reshuffle. Para fundamentalis mekanisme pasar dan penyanjung 
liberalisasi ekonomi, meminjam istilah Joseph Stiglitz, makin berjaya. Maka 
kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan melanggengkan penyakit ekonomi klasik 
mewujud kembali dalam wajah demokrasi liberal. Hasilnya, seperti yang kita 
alami sekarang, krisis energi, krisis pangan, krisis keuangan, krisis 
infrastruktur dan aparatur, serta krisis fiskal.

Rasanya kita belajar sejarah, tapi tidak mencerna manfaatnya. Yang pasti, 
kebijakan ekonomi kita menjadi ahistoris dan terlepas dari perintah konstitusi. 
Di tengah Pemilu 2009 yang tinggal setahun lagi, muncul pertanyaan, adakah SBY 
berpeluang memperbaiki kebijakan para fundamentalis pasar yang berdampak tidak 
terpenuhinya janji kampanye 2004? Selama hayat dikandung badan, peluang selalu 
ada. Soalnya, adakah kemauan untuk itu?

Reply via email to