Bangka Pos Perlindungan Hukum Warisan Budaya
edisi: Sabtu, 26 Juli 2008 WIB Penulis: Dwi Haryadi, SH, MH (Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung) "Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional". INILAH salah satu isi diktum pertimbang-an UU No 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pentingnya perlindungan dan pelestarian warisan budaya dan sejarah ini juga menjadi kebutuhan dan tuntutan masyarakat internasional. Hal ini dapat dilihat dalam Laporan Kogres PBB ke-VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Narapidana di Navana, Cuba, tanggal 27 Agustus s/d 7 September 1990, yang antara lain menyangkut: (1) Pencurian/penyelundupan barang-barang kebudayaan berharga; (2) Kelengkapan peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan perlindungan dengan barang-barang peninggalan budaya; dan (3) Perlawanan terhadap lalu lintas internasional atas barang-barang. Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya. Menurut Arsin Nalam, tujuan pelestarian benda-benda kuno adalah agar masyarakat dapat memahami sejarah, sekaligus juga menghargai karya cipta yang melekat pada benda kuno, sedangkan kecintaan nasional terhadap benda-benda kuno akan menumbuhkan harga diri bangsa. Pemahaman sejarah tanpa bentuk nyata akan sulit menumbuhkan kebanggaan nasional. Pangkalpinang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki beberapa benda cagar budaya (BCB), seperti Pemakaman Belanda (Kerkhof) di Jalan Hormen Madati, Klenteng Kwan Tie Miaw (Amal Bhakti) di Jalan Mayor Muhidin, Katedral Santo Yosep di Jalan Gereja, Masjid Jamik di Jalan Masjid Jamik, Makam China Tua (Boen Piet Liem) di Jalan Semabung, Makam China Tua (Boen Men Cheiw) di Jalan Singayudha, Pemakaman Belanda di Jalan Komplek Solihin GP, Museum Timah di Jalan A.Yani, Rumah Sari (tugu Pergerakan Kemerdekaan) di Jalan Merdeka (Bangka Pos, Sabtu 19 Juli 2008). Adanya anjuran DPRD Kota Pangkalpinang agar Pemkot mengajukan draf raperda mengenai perlindungan benda cagar budaya atau situs merupakan hal yang sangat positif bagi pelestarian dan perlindungan peninggalan sejarah dan kekayaan budaya yang ada di kota ini. Di beberapa daerah lain, perda seperti ini sudah lama ada, diantaranya di Pemkot Semarang ada Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang No:646/50/1992 tentang Konservasi Bangunan-bangunan Kuno/Bersejarah di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang dan Perda No.8/2003 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Kota Lama Semarang. Kemudian di Pemprov Jawa Barat telah memiliki Perda No.7/2003 tentang Pengeloaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum. Namun yang terpenting dari pembuatan perda tersebut nanti adalah hendaknya perda tidak hanya sekedar legalitas saja untuk menetapkan beberapa peninggalan sejarah sebagai benda cagar budaya, sementara upaya pelestariaan dan perlindungannya sejarah tidak ada sama sekali. Sedikit berbagi pengalaman, saya pernah melakukan penelitian tentang upaya pelestariaan benda cagar budaya Lawang Sewu di Kota Semarang. Mungkin sebagian Anda ada yang tahu tentang Lawang Sewu, karena bangunan kuno 2 lantai yang memiliki ruang bawah tanah peninggalan Belanda 100 tahun yang lalu itu pernah difilmkan. Lawang Sewu ditetapkan sebagai benda cagur budaya kategori A dalam Perda Kota Semarang di atas, yang artinya utama untuk dilindungi dan dilestarikan, serta dijaga kualitas keaslian dan nilai sejarahnya. Namun dari hasil penelitian, yang terjadi adalah kebalikannya, bangunan tersebut jauh dari sebagai benda cagar budaya yang dilindungi dan dilestarikan. Hal seperti ini hendaknya tidak terjadi terhadap benda cagar budaya di Pangkalpinang. Perlindungan Hukum Selama ini dapat dikatakan perhatian pemerintah, bahkan masyarakat, masih kurang terhadap upaya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya. Sehingga tidak heran apabila banyak bangunan/benda bersejarah yang rusak, tidak terawat, dicuri, dilelang dan dimiliki oleh kolektor asing, bahkan ada arca palsu di Museum Solo. Jadi yang selama ini kita lihat, pelajari dan amati adalah benda-benda sejarah bajakan. Kebijakan hukum pidana dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana terhadap benda cagar budaya sebenarnya sudah sejak lama ada. Diawali sejak masa penjajahan Belanda telah ada peraturan perundang-undangan tentang perlindungan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, yaitu Monumenten Ordannantie 1931 (Stbl. No.238 tahun 1931), yang lazim disingkat MO. Namun MO ini kemudian diganti dengan UU No5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Peraturan pelaksana dari undang-undang tersedut adalah PP No 10/1993. Adapun ketentuan pidananya adalah Pasal 26: sengaja merusak benda cagar budaya dan situs lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar atau memisahkan tanpa izin dari pemerintah dipidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000, Pasal 27: sengaja melakukan pencarian BCB atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, pengelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari pemerintah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000, Pasal 28: tidak mendaftarkan pemilikan, pengalihan hak, dan pemindahan tempat, tidak melapor atas hilang dan/atau rusaknya benda cagar budaya, tidak melapor atas penemuan atau mengetahui ditemukannya benda cagar budaya atau benda yang diduga sedagai BCB atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, memanfaatkan kembali benda cagar budaya yang tidak sesuai dengan fungsinya semula dan menggandakan tanpa seizin pemerintah; masing-masing dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000. Namun, selama ini pelanggaran/kejahatan terhadap ketentuan-ketentuan pidana tersebut masih lemah dalam penegakan hukumnya. Disamping itu, UU No.5/1992 juga mengandung beberapa kelemahan, seperti masalah kriminalisasi, korporasi bukan sebagai subyek tindak pidana dan belum digunakan sistem minimum khusus dalam sistem perumusan lamanya pidana. Oleh karena itu, perlu reformulasi terhadap undang-undang tersebut dan adanya upaya sinkronisasi dan harmonisasi oleh raperda tentang benda cagar budaya yang akan dibuat nantinya agar dalam aplikasinya dapat berjalan dengan efektif. (*)