Refleksi: Penonton bisu, berotak kosong nan lumpuh?

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=45292&jenis=Opini

Selasa, 05-06-2007 
Opini Tribun


Rakyat Akan Tetap Menjadi Penonton
 
Oleh: Hurriah AH, Pemerhati Ekonomi Sosial Masyarakat 


Fenomena pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sulsel, saat ini, sedang 
membahana di mana-mana. Hampir di setiap sudut kota, di Makassar, misalnya, 
kita akan menjumpai atribut yang mewakili para kandidat dengan nuansa yang 
sangat promosif.
 
Di media cetak, sampai minggu ini, disebutkan ada tiga pasang kandidat yang 
akan bertarung memperebutkan kursi "emas" di kantor Gubernur Sulsel. Ketiganya 
memiliki keunggulan masing-masing di atas kertas akan menjadikan mereka sebagai 
pemenang. Dengan enam juta jiwa penduduk Sulsel dan empat juta di antaranya 
adalah pemilih potensial, maka tidak salah kalau ketiga pasang kandidat itu 
berjuang keras untuk bisa mendapatkan dukungan mayoritas. 

Apalagi, pilkada ini merupakan kali pertama yang menerapkan sistem pemilihan 
secara langsung di daerah ini. Kalau sebelumnya rakyat Sulsel hanya berdiri di 
tepi panggung politik daerah karena pada pemilihan gubernur 2002 lalu, 
kekuasaan memilih ada di tangan wakil rakyatr di DPR, maka ini adalah kali 
pertama rakyat Sulsel boleh ikut naik ke panggung politik, meski hanya dalam 
hitungan menit dan sebatas pada mencoblos gambar salah satu kandidat yang 
dipilih. 

Pakai Iklan 
Tidak heran kalau "uap panas" pilkada begitu hangat menyelimuti permukaan 
wilayah Sulsel dan semakin "panas" dengan semakin dekatnya waktu pemilihan yang 
tinggal sekitar enam bulan lagi. 
Tengok saja warung kopi yang tiba-tiba padat setiap saat, diisi oleh orang yang 
berdiskusi tentang pilkada sambil meneguk secangkir kopi. Boleh jadi mereka 
adalah tim sukses salah satu kandidat yang sedang membahas strategi pemenangan, 
atau sekadar urung komentar tentang keterbukaan kans bagi calon yang dijagokan. 
Dengan semakin dekatnya pesta demokrasi yang akan berlangsung November 2007 
tersebut, gerakan-gerakan politik semakin dinamis menggeliat di tengah 
masyarakat. Tidak ada lagi gerakan bawah tanah yang berusaha menghimpun 
kekuatan di "akar rumput", karena semua kandidat pun sudah dengan 
terang-terangan menyatakan berjuang untuk menang terhadap calon yang lain. 

Bahkan iklan ala kecap pun sebagai "yang terbaik", atau yang nomor satu, dengan 
sangat terbuka di pasang di setiap sudut kota. Bahkan beberapa orang yang 
berpengaruh pun, semisal wakil presiden, "dipaksa" menjadi bagian dalam iklan 
para kandidat tersebut, untuk mempertegas bahwa iklan itu bukan sekadar ngecap. 
Terlepas dari yang terbaik atau nomor satu di Sulsel, jualan calon pada 
berbagai spanduk dan baliho itu memang cukup berhasil dalam mempengaruhi 
sebagian besar masyarakat Sulsel, terutama pendukung fanatik. 



Pemetaan Suara 
Bahkan daerah Sulsel yang kini memiliki 23 kabupaten, sudah dipetakan dengan 
garis tebal sebagai wilayah kantong suara masing-masing kandidat. Pemerhati 
Pilkada Sulsel akan dengan segera tahu kantong suara milik siapa wilayah 
selatan-selatan, atau Bosowa, misalnya. Termasuk juga simpati masyarakat di 
bagian timur Sulsel terus dikejar dalam upaya memenangkan perebutan kursi nomor 
satu di Sulsel. 

Pemetaan kantung suara itu dipertegas dengan terbaginya zona lingkungan 
masyarakat sebagai wilayah sang kandidat. Ini dapat dilihat dari berbagai 
spanduk yang terpasang di atas jalan-jalan umum yang mengindikasikan bahwa 
kawasan tersebut adalah bagaikan milik seorang kandidat. 
Geliat pilkada memang semakin dinamis. Masyarakat pun ikut ramai dalam berbagai 
kegiatan lima tahunan ini. Baliho dan spanduk yang terpampang di berbagai 
tempat di sejumlah titik di sebagian jalan yang membelah wilayah Sulsel, 
menjanjikan figur-figur yang pantas dipilih karena mereka adalah mengganggap 
dirinya yang terbaik di Sulsel. 

Tokoh Terbaik 
Sejauh itu, ketiga kandidat, secara politis, telah melalui ujian dalam 
melaksanakan tugas sebagai orang terbaik bagi masyarakat Sulsel, baik di 
tingkat provinsi maupun dalam mewakili masyarakat Sulsel di ajang nasional. 
Tetapi berbagai ujian yang dilalui para kandidat masih sulit dijadikan 
indikator bahwa mereka adalah yang terbaik. Dari sisi pandangan awam, yang 
hanya melihat dari luar sistem, terhadap proses pembangunan di daerah, 
penilaian standar yang dapat disampaikan dalam tulisan ini adalah perubahan 
pembangunan selama lima tahun terakhir. 

Meski sulit menilai perubahan berdasarkan kondisi riil yang ada, tetapi patut 
diingat bahwa konsumen utama dari hasil akhir sebuah perubahan adalah 
masyarakat. Merekalah yang merasakan adanya perubahan pembangunan dan hanya 
mereka yang bisa menilai tentang ada dan tidaknya pembangunan daerah ini. 
Walaupun telah dilibatkan dalam proses demokrasi melalui pemilihan langsung 
dalam pilkada, rakyat tetaplah jadi penonton. Menonton kesibukan wakilnya di 
dewan yang membahas berbagai peraturan daerah yang (bisa jadi) justru 
mempersulit rakyat kecil. Sebagian rakyat menonton elite pejabat melakukan 
perang urat syaraf untuk berebut kekuasaan yang lebih besar. Bahkan konon 
kabarnya, berkaitan dengan pilkada ini, para pegawai di sebuah kantor 
pemerintah sudah terbagi menjadi orangnya calon tertentu. 

Ibaratnya ajang pemilihan idol, di mana penonton yang menentukan sang pemenang. 
Rakyat harus rela mengeluarkan kocek dalam bentuk SMS untuk mendukung idol yang 
mereka kagumi. Tetapi penonton sebenarnya tidak akan mendapatkan apa-apa ketika 
si idol yang dipilihnya menjadi juara. Sebaliknya, penonton punya kewajiban 
untuk mengeluarkan lagi isi kocek untuk membeli segala hal yang berbau sang 
idol termasuk tiket kalau dia melakukan konser. 

Kalau dalam pemilihan idol, kewajiban memilih hanya ketika kita memang ingin 
idola kita menang. Ketika tidak punya sesuatu hal yang berkaitan dengan ajang 
idol, maka tidak ada paksaan untuk memilih, mendengarkan atau membeli produk 
yang berkaitan dengan sang idol. 
Tapi hal demikian tidak berlaku pada ajang pilkada. Ajang idol politik ini 
tidak punya dua pilihan bagi masyarakat, tetap harus memilih. Pilihannya bagi 
masyarakat hanyalah, siapa yang akan mereka pilih. 

Adu Kekuasaan 
Siapapun yang akan terpilih dalam pilkada ini, sang idol politik lah yang 
menikmati hasilnya. Masyarakat tetap duduk di tribun terbuka, "sinetron 
politik" yang memperlihatkan adegan yang konyol, perebutan kekuasaan dan 
simpati, perseteruan dan perang dingin, sampai adu hebat-hebatan, seperti yang 
saat ini sedang kita saksikan di panggung kekuasaan tingkat gubernur. 

Seandainya Pilkada Gubernur seperti ajang Indonesian idol yang tidak ada 
keharusan untuk memilih bagi yang tidak mau, maka ada kemungkinan ajang ini 
akan sepi pemilih. Tetapi ini adalah ajang pemilihan idol sebuah daerah, yang 
menentukan masa depan bagian kecil dari sebuah negara yang bernama Republik 
Indonesia. 

Keterlibatan masyarakat agar memilih adalah mutlak adanya. Karena itu, sudah 
sepantasnya dalam pesta pilkada kali ini, dapat memperkecil, paling tidak, 
mengurani kekecewaan masyarakat. 
Meski tetap sebagai penonton, masyarakat seharusnya diberi kepuasan atas 
tontotan yang mereka dapatkan, sebagai bayaran dari suara yang telah mereka 
berikan. Siapapun yang mereka pilih, masyarakat pantas mendapatkan tontonan 
yang paling memuaskan. (***)

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to