Jawa Pos
[ Senin, 15 Juni 2009 ] 

Salah Paham Neoliberalisme 
Oleh: Fahrul Muzaqqi


Isu neoliberalisme belakangan santer diperdebatkan. Dalam perdebatan itu, 
Bambang Nuroso, dosen Program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika UI Jakarta, 
mencoba membela neoliberalisme dari perspektif keadilan distribusi ekonomi 
(Jawa Pos, 13 Juni).

Bambang membela visi neoliberal dengan catatan bahwa peran pemerintah 
diperbesar dalam wilayah ekonomi melalui berbagai prakarsa kebijakan. Secara 
sederhana, dia menceritakan sejarah neoliberalisme sebagai perbaikan dari 
liberalisme klasik yang telah mengidap banyak kelemahan, terutama dalam 
praktiknya.

Bambang tentu memiliki sederet alasan yang kuat dan masuk akal. Namun, terdapat 
kesalahpahaman atas neoliberalisme sebagai diskursus ekonomi-politik. 
Neoliberal sebagai sebuah mainstream ekonomi-politik perlu kiranya ditilik 
kembali dari kemunculan pada awalnya.

Bukan Konsep Keynesian 

Kesalahpahaman Bambang terletak ketika dia menyamakan konsep neoliberal dengan 
mainstream pasca-neoklasik yang dimotori John Maynard Keynes (1883-1946), 
pemimpin aliran Cambridge pada 1920-1930-an atau populer disebut mazhab 
Keynesian.

Memang benar, Keynes-lah yang menyelamatkan bangunan teoretis liberalisme 
klasik yang didirikan Adam Smith (1723-1790). Bangunan itu hampir runtuh 
menghadapi depresi besar pada 1930-an yang diderita negara-negara Eropa Barat 
dan Amerika Serikat.

Nilai-nilai klasik penghematan, anggaran berimbang, pajak rendah, standar emas, 
dan Hukum Say (formula ekonomi yang dipopulerkan Jean Baptiste Say) sedang 
mengalami serangan yang dahsyat (Skousen, 2006: 395). Akibatnya, para ekonom 
Anglo-Amerika mempertanyakan kembali ekonomi laissez faire.

Keynes dalam bukunya pada 1936 yang berjudul The General Theory of Employment 
mendiagnosis bahwa kapitalisme pada dasarnya tidak stabil dan tidak 
berkecenderungan ke arah full employment. Tanpa harus mengadopsi model 
komunisme, ia menawarkan formula negara kesejahteraan (welfare state) yang 
diterima banyak negara maju Eropa saat itu. 

Formula tersebut menghendaki adanya intervensi pemerintah terhadap pasar ketika 
regulasi pasar sudah tidak mampu mengatur diri sendiri.

Akhir 1940-an, pemerintah Inggris yang dikendalikan Partai Buruh memeluk 
ekonomi Keynesian. AS baru secara eksplisit menerima program Keynesian pada era 
Kennedy dan Johnson pada 1960-an. Negara-negara maju yang lain mengikuti 
setelah itu. Namun, doktrin Keynesian hanya mampu bertahan selama lebih dari 
tiga puluh tahun sebelum kemudian digantikan doktrin neoliberal.

Resesi ekonomi, pengangguran, dan inflasi yang kembali terjadi pada paro akhir 
1970-an membuat Keynesian kehilangan legitimasi teoretisnya dan akhirnya masuk 
dalam catatan kaki sejarah (Heertz, dalam Wibowo & Wahono, 2003: 20). Runtuhnya 
Keynesian memaksa para ekonom berpikir keras mencari rumusan ekonomi baru. 

Nah, gelombang neoliberal mengemuka menggantikan dominasi welfare state melalui 
ekonom asal Chicago, Milton Friedman (1912-...) dan ekonom asal Inggris 
kelahiran Austria, Friedrich A. Hayek (1899-1992). Keduanya merupakan tokoh 
peraih Nobel Ekonomi 1976 dan 1974.

Kembalinya Invisible Hand 

Salah paham neoliberalisme terjawab. Yakni, ekonomi neoliberal bukannya model 
welfare state ala Keynesian yang menghendaki intervensi pemerintah dalam pasar, 
melainkan kritik atas model itu dengan membangkitkan kembali the invisible hand 
ala Smith. Formula Friedman dan Hayek diadopsi pertama oleh Inggris pada masa 
Margaret Thatcher dan AS pada masa Ronald Reagan 1980-an. Keduanya sering 
disebut aliran kanan baru, yakni Thatcherism dan Reaganomics.

Negara tidak lagi memiliki tanggung jawab atas pasar karena keyakinan bahwa 
pasar dapat mengatur diri sendiri dengan ''tangan-tangannya'' yang tak terlihat 
(the invisible hand). Konsekuensinya, negara tidak lagi memberikan kompensasi 
kepada orang miskin, apa pun alasannya. Sebab, mentalitas welfare state hanya 
akan melahirkan kelambanan serta ketergantungan (Heertz: 22).

Neoliberal meyakini teori trickle down yang menghendaki pajak rendah, 
privatisasi, efisiensi, minimalisasi (bahkan penghapusan) subsidi, dan 
deregulasi ekonomi. Pendeknya, liberalisme klasik menemukan mantelnya yang baru 
yang lebih radikal (Wibowo: 2).

Ignatius Wibowo (Wibowo: 3-5) merangkum sedikitnya empat faktor yang 
memengaruhi dan mengiringi kemunculan neoliberalisme. Pertama, munculnya 
perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations-MNC) dengan 
aset lebih besar daripada kekayaan negara-negara kecil di dunia.

Perusahaan-perusahaan itu mampu menembus batas teritori negara-negara sekaligus 
memanfaatkan infrastruktur negara tersebut. Kedua, munculnya rezim-rezim 
internasional sebagai surveillance system untuk menjamin negara-negara patuh 
dan tunduk pada hukum pasar bebas. Rezim-rezim tersebut adalah World Trade 
Organization (WTO), World Bank, dan International Monetary Fund (IMF). 

Ketiga, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi yang dahsyat. Keempat, 
perspektif realis bahwa negara-negara kuat (maju) memakai kekuatannya untuk 
menaklukkan negara-negara lemah (umumnya negara berkembang). 

Imbas (praktiknya) di Indonesia sangat terasa pascakrisis ekonomi 1997-1998. 
Penandatanganan LoI antara Indonesia dengan IMF pada akhir 1997 memaksa 
diberlakukannya kebijakan liberalisasi, deregulasi, serta privatisasi. LoI 
sebenarnya merupakan pemampatan Konsensus Washington yang meliputi sepuluh 
elemen bagi negara yang sedang krisis.

Yakni, disiplin fiskal, perbaikan distribusi anggaran, reformasi pajak, 
liberalisasi finansial, iklim kompetisi, liberalisasi perdagangan, kebijakan 
nilai tukar yang kredibel, privatisasi, deregulasi, dan hak intelektual.

Alhasil, neoliberal yang menuai banyak kontroversi memang harus dipandang 
secara hati-hati. Jangan sampai kita salah paham (apalagi tersesat) dan gegabah 
untuk menjustifikasi neoliberalisme. (*) 

*). Fahrul Muzaqqi, asisten dosen mata kuliah ekonomi politik FISIP Unair 

Kirim email ke