Seluk-beluk dan hiruk-pikuk
pemilu 2009 ( 18)
Berikut di bawah ini bisa disimak kumpulan terbaru berita atau tulisan
tentang seluk-beluk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2009, yang
diambil dari berbagai sumber, Di samping disajikan di berbagai milis,
kumpulan berita ini juga bisa dibaca selanjutnya dalam website
http://umarsaid.free.fr/

===

Jawa Pos, 19 Juni 2009

Debat Antar Capres Kurang Menarik
JAKARTA - Untuk sebuah tontonan, debat para capres yang tadi malam
ditayangkan langsung tiga televisi swasta nasional kurang menarik alias
membosankan. Selain penjelasan setiap capres terasa normatif, acara tersebut
kurang mencerminkan debat. Acara itu lebih tepat disebut tanya jawab antara
moderator yang dipercayakan kepada Rektor Universitas Paramadina Dr Anies
Baswedan dan para kandidat.

Ketiga capres tadi malam datang di studio Trans7, Jl Tendean, Jakarta
Selatan. Sesuai nomor urut, mereka adalah Megawati Soekarnoputri, Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), dan Jusuf Kalla (JK). Mereka datang bersama anggota
tim kampanye. Satu topik yang diangkat untuk menjadi bahan debat yang
berlangsung 90 menit tersebut adalah: Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan
yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum dan HAM.

Di bidang hukum, khususnya pemberantasan korupsi, debat itu tidak
memunculkan optimisme. "Tidak terlihat harapan yang cerah dalam
pemberantasan korupsi," kata Febri Diansyah, peneliti hukum Indonesian
Corruption Watch (ICW). Hal itu tecermin dari tidak adanya terobosan jika
pembahasan RUU Pengadilan Tipikor menemui jalan buntu. "Malah, ada calon
yang mencampuradukkan UU Tipikor dengan UU Pengadilan Tipikor," sambungnya.

Dalam penilaian Febri, tidak ada satu capres pun yang menjelaskan adanya
ancaman terhadap kinerja KPK jika pembahasan RUU Tipikor tidak kelar hingga
Desember 2009. Begitu juga terkait masalah tindakan pencegahan, seperti
pungli. "Mereka malah bicara masalah moral. Itu sangat mengambang," katanya.

Pendapat senada disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zainal Arifin
Muchtar. "Semuanya tidak menawarkan hal baru sehingga menunjukkan mereka
pantas dipilih," ujarnya. Kata dia, jawaban yang meluncur dari ketiga capres
relatif sama dan normatif.

Pengamat politik Burhanudin Muhtadi menilai kualitas debat perdana yang
dipertontonkan ketiga capres itu masih di bawah standar. Ketiganya, ungkap
dia, lebih banyak bicara visi, tapi miskin agenda. ''Ketiga capres lebih
banyak mengajukan list daftar keinginan. Tapi, kurang mengelaborasi aspek
teknis dan langkah konkret untuk mencapai good governance,'' kata peneliti
senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu.

Burhan juga menyesalkan, pertanyaan mengenai anggaran TNI dan alutsista,
serta lumpur Lapindo yang tidak optimal dijelaskan oleh Megawati. Padahal,
kedua pertanyaan itu bisa menjadi pintu masuk bagi Megawati untuk menembak
kelemahan pemerintahan SBY dalam menangani kasus-kasus tersebut.

''Sayang, Megawati gagal memanfaatkan kesempatan emas itu untuk menunjukkan
dirinya punya solusi jitu,'' kata Burhan. JK juga hampir sama. Seharusnya,
tambah Burhan, JK bisa lebih agresif menjelaskan posisinya untuk membedakan
dengan SBY. ''Padahal, untuk pertanyaan soal alutsista dan Lapindo jelas
posisi SBY sangat defensif dan normatif,'' kata lulusan The Australian
National University (ANU) itu.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga Hariyadi punya penilaian
berbeda. Menurut dia, di antara ketiga capres yang tampil, SBY memiliki
konsep yang lebih baik. Misalnya, bagaimana dia menyampaikan perlunya
reformasi birokrasi untuk menciptakan good governance. ''Ini poin tersendiri
bagi SBY. Konsepnya lebih jelas, lebih komprehensif,'' katanya.

Meski materinya lebih baik, Hariyadi mencatat, ada beberapa kekurangan dalam
penampilan SBY. Di antaranya, bicaranya terlalu normatif sehingga pemaparan
visi tidak begitu detail.

Berbeda halnya dengan Megawati, yang lebih menyentuh masalah-masalah di
permukaan. Karena itu, konsep yang dia paparkan belum bisa diketahui secara
jelas. ''Banyak yang artifisial atau semu. Misalnya, pengurusan KTP,''
ucapnya.

Begitu juga, Jusuf Kalla (JK). Dalam debat capres tersebut, posisi ketua
umum Partai Golkar itu bisa dibilang paling sulit. Paparan vi­sinya kurang
jelas. ''Visinya tidak jelas. Bahkan, terkesan mbulet. Ha­nya, Pak JK lebih
bagus pada pe­negakan HAM. Bagaimana dia berjanji akan menuntaskan
permasalahan HAM,'' terang Hariyadi.

Menurut dia, dalam debat capres tadi malam seharusnya Mega dan JK tampil
maksimal. Artinya, kedua­nya harus menyampaikan visi yang lebih baik
daripada pemerintahan sekarang yang dikomando SBY.

Namun, yang terjadi malah se­baliknya. Kedua capres itu justru lebih banyak
bilang setuju de­ngan konsep yang dipaparkan SBY dalam debat tersebut.

Hariyadi menambahkan, jika harus memberikan nilai, dari pa­paran visi, SBY
mendapatkan ni­lai terbaik dengan grade tiga. Sedangkan Megawati dan JK
sama-sama mendapat nilai dua. ''Penilaian ini jika passing grade-nya 1
sampai 3,'' ujar Hariyadi. (fal/pri/aga/fid/kum)

  a.. * *
      Media Indonesia, 19 Juni 2009

      Debat Capres Terus Tuai Kekecewaan
      Penulis : Maya Puspita Sari

      JAKARTA--MI: Pelaksanaan debat calon presiden (capres) yang digelar
Kamis terus menuai kekecewaan dari. Dalam debat tersebut ketiga capres tidak
memiliki basis cita-cita dan ideologi yang kuat untuk perbaikan bangsa lima
tahun mendatang.

      "Wacana kosong. Tiap kandidat hanya mengatakan akan lebih baik dari
yang lain," cetus Usman Hamid, Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta, Jumat (19/6).

      Dari telaah Hak Asasi Manusia (HAM), kata Usman, menunjukkan ketiga
kandidat tidak berkeinginan dan berupaya serius dalam menyelesaikan masalah
HAM dimasa lalu. "Ketiganya lebih memilih pendekatan rekonsilisasi atas nama
persatuan. Khusus pernyataan SBY menyebut bahwa dimasa pemerintahannya tidak
terjadi pelanggaran HAM ini bertolakbelakang dengan fakta yang ada seperti
kasus Lapindo," paparnya.

      Sementara itu, Danang Widoyoko dari Indonesia Corruption Watch (ICW)
menilai ketiga kandidat memiliki pemahaman dan argumentasi yang sempit dalam
upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. SBY dan JK di dalam debat masih
terlihat ragu-ragu menanggapi penuntasan RUU Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) sementara Megawati, dinilai sama sekali tidak memahami
permasalahan tersebut. Argumentasi ketiga kandidat, bahwa akar masalah pada
tingkat kesejahteraan aparat negara adalah tidak tepat.

      "Itu pemahaman yang sangat keliru. Sebenarnya bukan soal besarnya
gaji, tapi kemauan," imbuhnya. (NJ/OL-06)



* * *

Debat Capres Soal TKI

Yudhoyono dan Kalla "Mengekor" Mega
Gatra, 19 Juni 2009
Dua calon presiden (capres), Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tidak
malu-malu untuk "mengekor" satu-satunya capres perempuan, Megawati
Soekarnoputri.

Dalam debat calon presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum,
Jakarta, Kamis (18/6) malam, moderator Anies Baswedan melontarkan pertanyaan
kepada Mega, tentang apa yang akan dilakukannya untuk melindungi para tenaga
kerja Indonesia (TKI) apabila nanti terpilih sebagai presiden.

Mega menjawab, perlindungan kepada TKI harus diberikan terlebih dahulu di
dalam negeri melalui kontrak kerja yang jelas, karena perlindungan setelah
mereka berada di luar negeri lebih sulit untuk dilakukan.

Setelah Mega menjawab dalam waktu dua menit yang disediakan, capres lain,
Yudhoyono dan Kalla diberi waktu yang sama untuk mengomentari jawaban Mega.

Mengawali komentarnya, Yudhoyono menjawab bahwa dirinya setuju 200% dengan
Mega, perlindungan harus terlebih dahulu dilakukan di dalam negeri. Meski
ditambahkannya, perlindungan dalam negeri itu harus ditambah dengan
penguatan di kedutaan besar Indonesia di luar negeri agar memantau kondisi
TKI di lapangan.

"Saya setuju dengan pandangan Ibu (Mega)," jawab Yudhoyono santun kepada
Mega, yang berdiri di sebelah kanannya.

Ketika tiba giliran Kalla mengomentari jawaban Megawati, Wakil Presiden RI
ini pun mengawalinya dengan kalimat yang sama dengan Yudhoyono. "Tentu saya
sependapat dengan Ibu Mega," ujarnya dengan lantang.

Namun, alasan Kalla untuk setuju adalah karena saat menjadi Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat di era Mega menjabat presiden, Kalla
mengerjakan kebijakan perlindungan TKI di luar negeri.

Sebagai tambahan, Kalla mengatakan, perlindungan TKI di luar negeri juga
harus diperkuat dengan cara menyediakan pengacara lokal yang dibiayai
Kedutaan Besar Indonesia untuk membantu TKI yang mengalami masalah hukum.

Ketika Mega diberi kesempatan untuk menimpali kembali komentar dua
pesaingnya itu, Mega hanya berkata singkat lalu tersenyum. "Ya, semua ngikut
saya," tanggapnya, yang langsung diikuti tawa undangan. Mega pun memilih
tidak menimpali komentar Yudhoyono dan Kalla, melainkan puas berkata,
"cukup." [EL, Ant]

* * *

Jawa Pos, 19 Juni 2009

Megawati-Prabowo Sepakat Tidak Terima Gaji bila Menang Pilpres
JAKARTA - Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto terus bermanuver untuk
menarik simpati publik. Salah satunya, capres-cawapres PDIP-Partai Gerindra
itu berjanji tidak menikmati gaji plus tunjangan bulanan bila kelak
memenangi pemilu presiden (pilpres).

Aksi pantang gajian itu akan terus dilaksanakan selama komitmen yang
tertuang dalam kontrak politik belum terealisasi. ''Saya sudah bicara dengan
Ibu Me­gawati. Bila terpilih, kami sepakat tidak akan memanfaatkan semua
gaji dan tunjangan yang diberikan selama sasaran-sasaran kami di kontrak
politik atau delapan program aksi untuk rakyat itu belum tercapai,'' tegas
Prabowo di Jakarta Selatan, kemarin (18/6).

Lantas, selama tidak gajian, diberikan kepada siapa penghasilan bulanan
tersebut? ''Semua akan kami salurkan kepada pihak-pihak yang lebih
memerlukan. Misalnya, yatim piatu, kaum duafa, dan mereka yang tertimpa
bencana,'' ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Departemen SDM DPP Partai Demokrat Andi
Mallarangeng menyatakan, persoalan di negara ini tidak sekadar menerima atau
tidak menerima gaji. ''Yang penting adalah bagaimana menjalankan kekuasaan
pemerintahan itu,'' katanya di Kantor Presiden.

Menerima atau tidak menerima gaji, jelas dia, tidak berkaitan dengan kinerja
seorang pemimpin. Kalau ki­nerja pemimpin jelek, meski tidak menerima gaji,
hasil yang dicapai tetap akan buruk.

Menurut dia, yang justru menjadi pertanyaan publik terhadap Mega bukan soal
menerima gaji atau tidak. Tapi, yang perlu dijelaskan saat Mega menjalankan
kekuasaan pemerintahan adalah apakah program-programnya untuk rakyat
menguntungkan negara atau merugikan negara. (pri/tom/agm)

* * *

Suara Pembaruan,  17 Juni 2009

Peluang Pilpres Satu Putaran Tipis
[JAKARTA] Peluang Pilpres 2009 berlangsung satu putaran sangat tipis.
Realitas politik yang terus berkembang serta aturan perundangan yang berlaku
menjadi alasan kuat mengapa gerakan pilpres satu putaran yang diusung tim
sukses pasangan SBY- Boediono, sulit terealisasi.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian
menilai, pilpres dalam satu putaran sangat mustahil terjadi. Berdasarkan
realitas politik, ketiga pasangan capres-cawapres berpeluang sama menjadi
pemenang. Siapa pun yang menang, tak mungkin diraih dalam satu putaran.

"Kecuali kalau hanya dua pasang calon, maka pilpres satu putaran sangat
logis. Tetapi, ini kan tiga pasang, maka gagasan pilpres satu putaran sangat
prematur. Kalau ini kampanye dari tim sukses, maka itu sesuatu yang sangat
angkuh. Jadi gagasan pilpres satu putaran sangat tidak mungkin terjadi,"
ucapnya kepada SP di Jakarta, Rabu (17/6).

Ia berpendapat, gagasan pilpres satu putaran sangat membahayakan kemandirian
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sangat berbahaya kalau publik
sudah mulai tergoda dengan gagasan pilpres satu putaran," tegasnya.

Pengamat politik UGM Arie Sudjito menambahkan, kemunculan wacana dan iklan
satu putaran hanyalah produk kampanye sebagai upaya untuk meyakinkan
elektabilitas capres-cawapres. "Jangan terjebak isu banal yang akhirnya
mengaburkan substansi dan penajaman agenda krusial dari capres-cawapres bagi
kesejahteraan rakyat," katanya.

Pengamat politik dari Strategic Indonesia Audy WMR Wuisang juga menyatakan
pesimistis terhadap pilpres satu putaran. "Pilpres satu putaran agak berat.
Pasalnya, performa SBY dari waktu ke waktu menurun. Komunikasi politiknya
tidak sebagus 2004 lalu. Kali ini dia cenderung defensif. Ditambah adanya
ketegangan di tingkat koalisi parpolnya," ujarnya.

Pakar komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung, Asep Saiful
Muchtadi juga mengukuhkan pandangan Audy itu. "Elektabilitas lawan-lawan SBY
terus meningkat. Saat ini ada perimbangan suara di antara ketiga pasangan
kandidat. Jadi, untuk mencapai satu putaran itu sangat sulit," ujar Asep.

Pemaksaan Kehendak

Sementara itu, capres Megawati mengaku heran dengan pemaksaan kondisi untuk
menang satu putaran.Apalagi sampai melakukan tekanan dan terkesan
dipaksakan.

Ia menilai, ada pihak yang terlalu memaksakan kehendak menang satu putaran.
Dikhawatirkan, ada tekanan politik dan politik uang untuk mewujudkan hal
tersebut.

"Pemilu belum dimulai kok sudah dibuat menang satu putaran. Saya tegaskan,
kalau rakyat tidak bisa ditekan. Tidak bisa dipaksa untuk satu putaran,"
kata Megawati saat berorasi dalam kampanye akbar di Lapangan Merdeka Medan,
Selasa (17/6).

Menurut Mega, rakyat harus diberikan kebebasan memilih. Jadi jangan sampai
memperjual belikan suara hanya untuk mewujudkan hasil survei yang dipaksakan
untuk memenangkan pihak yang berkuasa saat ini.

"Ingat, jika itu terjadi, maka saya akan buka semua kecurangan dalam
pemilu," tegasnya.

Menanggapi hal itu, Jubir Tim Kampanye Nasional SBY-Boediono, Max Sopacua
kepada SP, Selasa (16/6) malam meminta para kompetitor tidak berprasangka
buruk terkait harapan kubunya untuk memenangkan pilpres dalam satu putaran.
"Kalau tertantang, silahkan berusaha gagalkan harapan dan keinginan kami
itu. Jangan berpikiran negatif," katanya.

Senada dengan Max, Ketua Umum Gerakan Nasional "Setuju Satu Putaran Saja",
Denny JA menegaskan, perdebatan pilpres satu atau dua putaran bukanlah
sesuatu yang melanggar aturan. Sebab, dalam konstitusi, peluang satu atau
dua putaran dimungkinkan. "Satu atau dua putaran dimungkinkan dalam UUD
1945. Dua-duanya sama-sama demokratis," katanya menjawab SP, Rabu (17/6).

Hanya saja, lanjut Denny, dari dua kemungkinan tersebut, mana yang memberi
nilai positif bagi publik. "Pilpres satu putaran bisa menghemat anggaran
hingga Rp 4 triliun, sementara dari sisi politik, mempercepat rekonsiliasi
politik," paparnya.

Soal syarat sebaran suara 20 persen di 17 provinsi, menurutnya, tidaklah
sulit. "Berangkat dari pengalaman pilkada, capaian semacam itu mudah,"
tegasnya.

Secara terpisah, anggota KPU Andi Nurpati mengingatkan, jika pasangan calon
memperoleh persis 50 persen, maka pilpres tidak bisa satu putaran. Pemenang
harus meraih lebih dari 50 persen. "Pasangan yang dapat mengikuti putaran ke
dua adalah suara terbanyak satu dan dua. Jika nantinya ada pasangan calon
yang ternyata memiliki suara yang sama, maka harus dilihat sebaran suaranya
secara berjenjang," ujar Andi, Selasa.

"Apakah nanti ada yang mampu hanya satu putaran, tergantung dari pilihan
rakyat. Kalau dua putaran pun kita siap. Tidak ada keputusan apakah satu
putaran atau dua putaran sebelum ada rekapitulasi," tambahnya.[LOV/
A-21/R-15/151/C-4/L-10]

* * *

Jawa Pos, 17 Juni 2009

Kampanye SBY di Lampung, Janji Percepat Jembatan Selat Sunda
BANDAR LAMPUNG - Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya, ingin
mengulang sukses pembangunan Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura). Saat
berkampanye di Lampung kemarin (16/6), SBY menyatakan akan mempercepat
realisasi pembangunan jembatan Selat Sunda, yang menghubungkan Pulau Jawa
dengan Sumatera.

Kampanye pasangan SBY-Boediono digelar di GOR Saburai, Bandar Lampung. Dalam
pidato politiknya, SBY mengatakan, salah satu misinya adalah pembangunan
yang adil dan merata. Salah satu agenda aksinya adalah pembangunan
infrastruktur yang padat karya.

Menurut SBY, salah satu proyek infrastruktur yang menjadi prioritas adalah
pembangunan jembatan Selat Sunda. ''Jembatan Selat Sunda bisa kita percepat
pembangunannya,'' kata SBY disambut tepuk tangan sekitar dua ribu peserta
kampanye yang memadati GOR Saburai, Bandar Lampung.

Jembatan Selat Sunda yang direncanakan sepanjang 29 km, jika terealisasi,
menjadi jembatan terpanjang kedua di dunia. Yang pertama adalah jembatan di
Shanghai, Tiongkok, yang memiliki panjang 36 km.

Dalam kampanye di Lampung kali ini, SBY menekankan pada kemandirian pangan
dan energi. Menurut SBY, selama memimpin hampir lima tahun, dirinya sempat
menghadapi gejolak pangan dan minyak. Namun, dengan kerja keras, kata SBY,
masalah tersebut bisa diatasi. ''Semua punya andil dalam keberhasilan ini.
Bukan hanya satu atau dua orang,'' ujarnya.

Kemandirian pangan, kata SBY, salah satu contohnya adalah tercapainya
swasembada beras sejak tahun lalu. Kemudian, tahun ini Indonesia juga
swasembada jagung dan gula konsumsi.

''Produksi padi hari ini surplus 62 juta ton. Kita bisa ekspor setelah kita
pastikan kebutuhan dalam negeri aman. Kedelai masih kurang. Mudah-mudahan
tahun depan kita bisa stop impor kedelai,'' kata SBY.

Kampanye tersebut juga dihadiri sejumlah pimpinan partai politik pendukung.
Mereka adalah Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PBR Bursah
Zarnubi, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum PNBK Erros Djarot,
Presiden PKS Tifatul Sembiring, dan Sekjen PAN Zulkilfie Hassan.

Setelah kampanye di Lampung, SBY kembali ke Jakarta melalui jalan darat dan
menyeberang Selat Sunda dengan kapal feri Jatra III. Sebelum tiba di
Pelabuhan Bakauheni, SBY singgah makan siang di rumah makan Pagi Sore
Bakauheni. Di tempat tersebut SBY menemui ratusan warga sekitar rumah makan
itu. SBY dan Ani Yudhoyono mendekati kerumuman massa dan menyalami mereka.

Sekitar pukul 16.00 SBY tiba di Pelabuhan Bakauheni. Seperti penumpang lain,
SBY dan Ani Yudhoyono pun membeli tiket kapal Jatra III (Bakauheni-Merak)
seharga Rp 10 ribu per orang. Setelah itu, SBY menyempatkan diri berdialog
dengan calon penumpang di pelabuhan tersebut.

Perjalanan kapal dari Bakauheni ke Merak ditempuh kurang lebih 50 menit.
Selama perjalanan, SBY bersama staf kepresidenan bergantian bernyanyi
diiringi band di kapal tersebut. SBY sendiri menyumbangkan enam lagu, yakni
Kasih Tak Sampai, Terlambat Sudah, Imagine, dan To Love Somebody. ''Kalau
lama-lama di sini, saya bisa joint band,'' kata SBY. (tom/tof)


Kirim email ke