republika
Senin, 03 September 2007

Subsidi untuk Cina 
Oleh : Iman Sugema 

Tahun depan, subsidi BBM akan turun drastis. Tentu alasannya masih klise, yaitu 
kita lebih baik mengalokasikannya untuk keperluan lain. Untuk membangun 
infrastruktur, menyediakan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik 
dan untuk membiayai kenaikan gaji pegawai negeri. Alasan tersebut kelihatannya 
masuk akal, walau tidak sepenuhnya benar.

Tahun depan juga kita akan mulai mensubsidi sebagian konsumsi gas di i Cina. 
Sementara subsidi untuk rakyat kita sendiri ditekan habis-habisan, pada saat 
yang sama kita justru bermurah hati mensubsidi rakyat di negeri tirai bambu. 
Lho kok bisa? Ceritanya begini.

Mulai tahun depan, lapangan LNG Tangguh akan mulai beroperasi. Semua hasil 
eksploitasi LNG tersebut dikontrak jual kepada Cina dengan harga miring. Harga 
yang dipatok untuk setiap milion milion british termal unit (mmbtu) LNG adalah 
maksimum 3,25 dolar AS. Padahal kalau dengan patokan harga minyak seperti 
sekarang, harga gas mestinya adalah 10 dolar AS per mmbtu. Artinya, harga jual 
LNG ke Cina tersebut hanya sepertiga harga pasar. 

Itu juga berarti kita memberi subsidi sebesar dua pertiga harga untuk setiap 
kilogram LBG yang kita ekspor ke Cina. Sungguh sebuah kontrak yang tak masuk 
akal. Kalau kita hitung, total potensi kerugian akibat transaksi akal-akalan 
tersebut minimal akan mencapai Rp 3 triliun. Itu didapatkan dari pengalian 
antara selisih harga dengan total volume yang diekspor. Uang sebesar itu, kalau 
bisa kita selamatkan tentu akan memberi manfaat besar untuk masyarakat.

Lebih gila lagi ternyata PLN membeli gas dari dalam negeri dengan harga yang 
lebih mahal, yaitu sekitar lima dolar AS per mmbtu. Entah siapa yang bodoh, kok 
untuk kepentingan negara sendiri malah dijual mahal. Bukankah mestinya 
kepentingan nasional yang harus lebih didahulukan? Selain itu, kita pun 
terpaksa menutup beberapa pabrik pupuk karena kekurangan pasokan gas. Petani 
pun harus rela membayar mahal pupuk yang dibutuhkannya untuk menggenjot 
produksi. Jelas ada yang tidak sinkron di antara para petinggi kita dalam 
mengelola negara ini.

Kita tentunya tidak tega mengatakan bahwa para pejabat kita terlalu bodoh dalam 
menentukan harga yang tepat dalam transaksi gas tersebut. Menteri ESDM dan 
stafnya adalah orang-orang pintar dan sudah bertahan dalam tiga periode 
kepresidenan. Pejabat kita sudah banyak terbukti sangat pintar dalam membodohi 
rakyatnya.

Hebatnya lagi, hal seperti ini tidak pernah terjamah oleh KPK atau aparat 
penegakan hukum lainnya. Padahal, kontrak seperti ini sangat berpotensi dijerat 
pasal korupsi dengan cara memperkaya pihak lain. Barangkali kita harus menunggu 
adanya penegakan hukum yang lebih berani. Sampai saat ini, pemerintah belum 
berhasil dalam menangkap koruptor di sektor migas. Padahal sektor inilah yang 
paling rawan kong kalikong.

Tentu kita bertanya di manakah keadilan. Sementara ini, pemerintah mempunyai 
track record yang diingat rakyat sebagai sebuah pemerintahan yang paling berani 
dalam menaikan harga BBM. Pemerintahan sekarang adalah merupakan pemerintah 
yang paling banyak menciptakan kemiskinan. Akibat kenaikan harga BBM pada 2005 
saja, jumlah orang miskin bertambah lebih dari empat juta orang. 

Rakyat juga sering terbebani dengan masalah kelangkaan energi. Setiap saat 
selalu terjadi pemadaman listrik secara bergilir mulai Aceh sampai Balikpapan 
dan kota-kota lainnya. Akibatnya, kegiatan usaha menjadi terpasung dan tidak 
bisa tumbuh dengan optimal. 

Ibu-ibu rumah tangga miskin harus mengeluarkan kocek lebih dalam karena minyak 
tanah tiba-tiba langka. Sementara, mereka tak mungkin beralih ke gas, karena 
pasokan kompor dan tabung gas tidak lancar. Konversi minyak tanah ke gas hanya 
bagus di atas kertas saja. Kenyataannya rakyat miskin tambah menderita. 
Keadilan tampaknya sangat susah untuk berpihak pada kaum yang lemah. 

Negara kita katanya adalah negara yang sangat kaya raya dengan sumberdaya alam. 
Di perut bumi kita terkandung cadangan gas dan batu bara yang tidak habis 
sampai akhir abad ini. Tanah kita juga subur yang bisa ditanami sawit, tebu, 
jagung, ubikayu dan ubi rambat yang bisa dijadikan bio fuel. Laut kita juga 
kaya dengan mikroorganisma yang siap dikonversi jadi energi menggantikan minyak 
tanah. 

Tapi kenapa rakyatnya selalu mengalami kelangkaan energi? Jawabanya satu, yaitu 
kekayaan alam itu tidak pernah dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat 
seluas-luasnya. Pemerintah selalu mengabdi bagi kepentingan yang merugikan 
rakyat. 

Reply via email to