REPUBLIKA
Kamis, 31 Mei 2007

Tak Kunjung Stabil 


Pada 31 Mei ini, pemerintah menargetkan harga minyak goreng sudah bisa turun 
menjadi Rp 6.000 hingga Rp 6.500 per kilogram. Namun ternyata, harga kebutuhan 
pokok ini tetap bertengger seperti semula: Rp 8.500 hingga Rp 9.500 per 
kilogram. Rupanya pemerintah benar-benar dibuat kelimpungan. Padahal tenggat 
ini sudah diperpanjang, karena semula bertenggat 14 Mei. Artinya, masyarakat 
dibuat makin susah dalam sebulan ini.

Hingga kini, belum ada penjelasan gamblang dari pemerintah apa yang membuat 
harga minyak goreng tak kunjung turun. Padahal pemerintah telah melakukan 
operasi pasar dan mewajibkan para produsen crude palm oil (CPO) untuk memasok 
kebutuhan dalam negeri. Presiden pun telah memanggil para produsen CPO maupun 
produsen minyak goreng. Para pengusaha itu diketuk nasionalisme dan 
kepeduliannya. Toh, faktanya harga minyak goreng tetap mahal.

Semua itu bermula dari kenaikan harga CPO dunia yang melambung tinggi. 
Akibatnya, mereka lebih suka mengekspor CPO maupun minyak goreng ke pasar 
dunia. Ternyata, harga minyak goreng di dalam negeri pun ikut-ikutan melambung. 
Namun kita perlu mencermati bahwa hingga kini kita tak banyak mendengar berita 
soal kelangkaan minyak goreng, yang ada adalah kenaikan harga. Jadi poinnya 
bukanlah pada masalah pasokan, tapi pada stabilisasi harga. Pada titik inilah 
pemerintah harus cermat agar tak salah diagnosis dan tak salah resep. Selain 
itu, pemerintah harus menjelaskan kepada publik mulai di titik mana ada 
kenaikan harga: Di kelapa sawit, CPO, minyak goreng, distributor, agen, atau 
pedagang eceran?

Kenaikan harga minyak goreng ini telah memukul sebagian besar masyarakat 
Indonesia yang miskin. Selain itu, juga memukul industri rumah tangga maupun 
pedagang makanan yang berbahan baku minyak goreng. Sebetulnya, dalam masyarakat 
yang maju dan sejahtera, kenaikan harga barang tak memberi pengaruh yang besar. 
Namun karena Indonesia masih terpuruk dalam kubangan kemiskinan, kenaikan harga 
minyak goreng telah membuat kehidupan rumah tangga menjadi makin sulit. 
Industri rumah tangga dan pedagang makanan pun terancam bangkrut.

Karena itu, dalam situasi ini, kita menjadi terkenang pada masa Orde Baru. Saat 
itu sembilan bahan kebutuhan pokok mendapat perlindungan dari pemerintah, 
melalui Bulog. Kini, semuanya sudah dilepas kecuali beras. Sehingga ketika 
mekanisme pasar bebas bekerja, kita kelimpungan sendiri. Bagi pejabat negara 
yang hatinya steril dari kehidupan rakyat kecil, kejadian ini sebagai peristiwa 
normal saja. Tak ada beban, tak merasa bahwa itu merupakan bagian dari tanggung 
jawab moral, sosial, dan politik. Tentu ini memprihatinkan.

Walau bagaimanapun, liberalisme dan kapitalisme membutuhkan prasyarat. Pertama, 
negaranya kuat. Kedua, rakyatnya sejahtera. Ketiga, pengusaha dan pejabatnya 
bermoral. Sekarang kita bertanya pada diri masing-masing, apakah Indonesia 
telah memenuhi semua prasyarat tersebut? Rasa-rasanya kita tak memiliki ketiga 
prasyarat tersebut. Negaranya lemah, rakyatnya miskin, pejabatnya korup, dan 
pengusahanya masih maling. Tentu ini penilaian yang ekstrem dan pesimistis. 
Namun itu adalah realitasnya.

Pada situasi demikian, kita mendorong pemerintah untuk lebih proaktif agar 
rakyat tak terus-terusan menjadi korban. Kita tak bisa membiarkan rakyat 
bertarung sendiri menghadapi liberalisme dan kapitalisme. Pemerintah harus 
mengambil tanggung jawab dan para pemimpinnya dituntut lebih berani mengambil 
risiko. Kita ingin segera turunkan harga


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to