http://www.tribun-timur.com/view.php?id=52779&jenis=Opin

Sabtu, 03-11-2007 


Tragedi TKI dan Hilangnya Wibawa Negara
Opini Tribun
 Oleh: Wiwin Suwandi, Mahasiswa Jurusan Hukum Internasional Unhas 


Masalah kemanusiaan seolah tidak lepas dari Indonesia. Berbagai kejadian tragis 
menimpa anak bangsa dengan modus yang berbeda. Setelah kita disuguhi berbagai 
cerita pilu dari anak yang bunuh diri hanya karena tidak mampu membayar uang 
SPP.
 
Seorang tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, Kurniasih, asal Demak yang bekerja 
di Malaysia, tewas akibat dianiaya majikannya pada pertengahan Agustus lalu. 
Kasus yang sama, Juli lalu, Ceriyati, seorang TKI yang juga bekerja di 
Malaysia, nekat melompat dari lantai tujuh apartemen akibat tidak tahan dengan 
perilaku majikan yang kerap menyiksanya. 

Di Arab Saudi, Aida Farida (43), TKI asal Sukabumi, dan Ida Bariah (24) TKI 
asal Indramayu, tewas akibat mengalami kekerasan fisik dari aparat kepolisian 
setempat yang menuduh keduanya melakukan santet kepada majikan. Ironisnya, 
jenazah salah satu di antaranya dibungkus karung goni ketika dipulangkan ke 
Indonesia. 
TKI lainnya, Dewi Sintawati, asal Cirebon mengalami kepincangan akibat perilaku 
aparat Arab Saudi yang kelewat batas dalam melakukan pemeriksaan. Seorang lagi, 
Juhriya (50), TKI asal Sukabumi, telah menghilang selama 18 tahun di Arab Saudi 
tanpa keterangan jelas. 

Rentetan Kasus 
Kasus-kasus diatas adalah bagian kecil dari sekian banyak cerita pilu yang 
harus dialami 'pahlawan devisa' di negeri orang. Baru saja kita menyelesaikan 
hajatan seremonial memperingati 50 tahun hubungan RI-Malaysia yang ditulis 
dalam sejarah sebagai bangsa serumpun. Peringatan hubungan RI-Malysia itu akan 
terasa hampa jika pelanggaran hak asasi manusia terhadap buruh migran masih 
saja terjadi di Malaysia. 

Kekerasan fisik yang menyebabkan kematian TKI adalah sekilas kisah yang 
mewakili beribu kisah pilu nasib 'pahlawan devisa' yang terlantar di negeri 
orang. Alih-alih mendapatkan jaminan kehidupan layak. Para TKI tersebut, dengan 
tingkat pendidikan yang relatif standar, dijadikan obyek pemerasan dan malah 
dianggap sebagai beban kompleksitas masalah di negara lain. 

Pola migrasi tidak selamanya terjadi secara alamiah, tetapi ada hubungan 
kausalitas yang menyebabkan itu terjadi. Dalam konteks negara berkembang 
seperti Indonesia, di mana akumulasi masalah sosial terjadi dihampir semua 
sektor publik sementara regulasi yang dibuat pemerintah tidak berada pada 
posisi balances. 

Penyediaan lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah keluaran perguruan 
tinggi menimbulkan masalah pengangguran, kesenjangan ekonomi berdampak pada 
meningkatnya angka kriminalitas. 

Sistem pendidikan yang belum sepenuhnya memberikan ruang gerak kepada peserta 
didik untuk memahami dan mengembangkan talenta yang dimilikinya hingga 
menganggap sekolah ibarat penjara, adalah satu di antara sekian banyak masalah 
sosial yang terjadi di negara yang mengaku berkeadilan sosial bagi bangsa 
Indonesia. 
Dalam kondisi seperti ini, tidak mengherankan apabila sebuah masyarakat yang 
secara naluriah menginginkan sebuah kehidupan yang layak, memutuskan untuk 
menempuh jalan hidup yang penuh resiko, mempertaruhkan harga diri, 
dikejar-kejar aparat negara lain, sebagai TKI illegal. 

Tidak Diperhatikan 
Ironisnya, kasus yang dihadapi TKI tidak mendapat perhatian serius elite 
politik yang tiap hari sibuk berdebat. Sementara tiap detik, puluhan bahkan 
ratusan TKI mengalami pelanggaran HAM di negeri orang. 

Elite politik lebih sibuk mempertahankan dan memperebutkan jabatan ketimbang 
mencari solusi konkrit atas masalah pelanggaran HAM TKI Indonesia yang tiap 
tahun terulang dengan kuantitas terus meningkat. Produk hukum nasional dan 
internasional yang idealnya melakukan proteksi dan perlindungan HAM terhadap 
buruh migran, utamanya kaum perempuan, bertekuk lutut di hadapan otoritas 
negara yang sekali lagi mengagungkan kedaulatan. 

Konvensi Anti Perlakuan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention of the 
Elimination of All Forms of Discriminaton Against Women), yang diratifikasi 
dengan UU No 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk 
Diskriminasi Terhadap Perempuan sebegai produk hukum nasional dan internasional 
tak ubahnya onggokan kertas pembungkus kacang. 

Wibawa Negara 
Negara, dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), tidak hanya 
berfungsi sebagai penjaga malam yang diam ketika tangan-tangan gaib (invisible 
hand) memainkan alur politik dan ekonomi negara hingga menindas HAM rakyatnya. 
Negara adalah otoritas yang juga bisa melakukan perlindungan (proteksi) 
terhadap warganya di negara lain. Proteksi tidak hanya didasarkan pada aspek 
hukum semata, tetapi lebih prinsipil, proteksi dilakukan berdasarkan 
pertimbangan kemanusiaan sebagai penghargaan terhadap HAM. 

Dalam teori terbentuknya negara, negara merupakan organisasi yang dibentuk 
berdasarkan perjanjian antara sesama masyarakat (pactum unionis). Dari 
kesepakatan tersebut kemudian lahirlah perjanjian antara rakyat dengan penguasa 
(pactum subjectionis). Melalui perjanjian antara rakyat dengan penguasa tadi, 
rakyat menyerahkan segala urusannya kepada penguasa yang akan menjalankan 
otoritas negara. Tetapi dengan catatan, penguasa juga harus melindungi 
kepentingan warganya tanpa adanya pelanggaran hak asasi manusia. 

Esensinya, tanpa adanya kesepakatan rakyat yang loyal terhadap negara, mustahil 
kontak sosial antara rakyat dengan penguasa yang di dalamnya termuat 
penghargaan hak asasi manusia akan melahirkan sebuah negara yang berwibawa di 
mata dunia 
Dalam kasus buruh migran yang selalu terulang tiap tahun, wibawa negara telah 
terkikis dan hilang akibat pencitraan yang lahir dari kecerobohan negara itu 
sendiri. 
Kita seolah menganut prinsip "lebih baik mengobati ketimbang mencegah" bukan 
"lebih baik mencegah dari pada mengobati" dalam menangani masalah. 

Telah muncul sekian lama stigmasisasi bahwa para TKI di luar negeri adalah 
sekumpulan orang bodoh yang tidak terdidik. Manusia-manusia yang hanya bisa 
diperalat dan diperas sebagai "robot pekerja" dengan imbalan yang sangat jauh 
dari standar kesejahteraan. TKI hidup menderita di negara lain, sementara di 
negeri sendiri, elite politik hidup dengan gelimangan harta dan kemewahan. 
Inikah yang dinamakan Indonesia. Sebuah negara yang dicitrakan negara lain 
sebagai zamrud khatulistiwa sementara rakyatnya mengkonsumsi nasi aking jika 
tiba musim kemarau. 

Ada peristiwa menarik? 
SMS www.tribun-timur.com di 081.625.2233 
email: [EMAIL PROTECTED]

 

Reply via email to