http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=173078

Utang Swasta dan Ancaman Krisis
Oleh Mohammad Eri Irawan 


Selasa, 15 Mei 2007
Aliran utang swasta dari mancanegara saat ini mencapai posisi yang cukup 
tinggi. Hal itu perlu diwaspadai, karena perlahan tapi pasti akan menimbulkan 
ancaman moneter, yang ujungnya berdampak krisis ekonomi. Data Bank Indonesia 
(BI) menunjukkan posisi utang swasta dari mancanegara pada Desember 2006 
berjumlah 51,131 miliar dolar Amerika atau lebih besar dari posisi Juni 2006 
sebesar 51,095 miliar dolar dan September 2006 sebesar 50,046 miliar dolar. 

Angka itu memang masih sedikit lebih kecil dibandingkan posisi utang swasta di 
kisaran tahun 2001-2002. Namun, hal itu bukan alasan untuk tidak waspada 
terhadap kemungkinan terjadinya krisis moneter atas aliran utang swasta dari 
mancanegara. 

Sekadar ingin mengingatkan, kucuran utang luar negeri itu diberikan dalam 
bentuk valuta asing (valas). Patut dimengerti jika bank sentral 
mengkhawatirkannya. Karena hal itu bisa memengaruhi neraca pembayaran saat 
utang-utang tersebut jatuh tempo. Apalagi jika jatuh temponya bersamaan. 

Kebutuhan valas bisa tidak terpenuhi ketika jatuh tempo, di mana saat itu 
swasta pasti akan memborong dolar untuk melunasi utang. Belum lagi jika default 
(gagal bayar), yang nantinya akan menaikkan country risk. 

Apakah tidak ada cadangan devisa? Ada, memang. Bahkan, saat ini posisinya cukup 
aman. Namun, cadangan devisa yang aman bukanlah alasan untuk tidak mengawasi 
utang swasta dari luar negeri tersebut. 

Ingat, pasar keuangan dan pasar modal kita saat ini masih dikepung modal 
mancanegara, baik itu lewat Surat Utang Negara (SUN), SBI, maupun saham. Pihak 
asing telah membeli SUN sebesar Rp 67,8 triliun pada awal minggu ketiga April 
2007. Di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), asing memarkir dananya sebesar Rp 
23,9 triliun pada minggu kedua April 2007. 

Dana asing yang diinvestasikan pada instrumen saham juga terus meningkat. Pada 
akhir 2006, total dana asing yang masuk ke bursa saham mencapai Rp 523 triliun, 
dan pada akhir minggu ketiga April 2007 menjadi sekitar Rp 530 triliun. 

Dengan serbuan hot money yang bisa dibawa kabur kapan saja itulah cadangan 
devisa kita--yang mencapai 49,4 miliar dolar Amerika--sungguh sangat rentan. 
Meski dananya memang masih bisa menutupi jika terjadi repatriasi besar-besaran. 

Karenanya, suka atau tidak suka, otoritas moneter perlu terus didukung untuk 
mengawasi utang luar negeri swasta. Jika tak mau terperosok lubang dua kali, 
kita harus memonitor secara serius aliran utang swasta. Jika tidak, rupiah bisa 
ambruk. 

Ingat, sejarah mengajarkan kepada kita bagaimana utang swasta yang "liar" 
sebelum 1997-1998 itu membuat rupiah jatuh terperosok sangat jauh. Ambruknya 
rupiah bisa menyebabkan krisis ekonomi tahap II, yang nantinya menyebar ke 
seluruh sektor. 

Satu lagi yang harus dicermati adalah tindakan swasta yang tidak melakukan 
lindung nilai (hedging). Hal ini tentu saja berisiko besar pada nilai tukar 
yang tinggi. Imbasnya sangat berbahaya, yaitu ketika rupiah merosot sedikit 
saja, swasta yang berutang itu bisa dipastikan akan berebut memborong dolar di 
pasar untuk pembayaran kembali utangnya dalam bentuk valas. Di situlah urgensi 
monitoring utang swasta yang nantinya mewajibkan penerapan mekanisme hedging. 

Kesimpulannya, tindakan swasta menggali dana dari mancanegara harusnya 
dibarengi dengan skema monitoring yang jelas. Monitoring yang dilakukan 
termasuk memantau untuk apa pinjaman tersebut digunakan. Monitoring adalah 
pilihan terbaik, karena otoritas moneter tak berhak membatasi aliran utang 
tersebut. 

Dengan penerapan sistem devisa bebas, tak ada yang berhak membatasi aliran dana 
dari mancanegara. Memang ada Keputusan Presiden (Keppres) No 39/1991 tentang 
Koordinasi Pinjaman Komersial Luar Negeri. Namun, hal itu sifatnya lebih pada 
monitoring. Karenanya, meski tak bisa membatasi tetap perlu ada monitoring 
untuk memastikan bahwa besaran utang tetap proporsional dan sesuai kebutuhan 
dan kemampuan domestik. 

Di tengah bunga kredit dalam negeri yang masih (sangat) memberatkan, sektor 
swasta tentu saja akan mencari alternatif pendanaan dari mancanegara. Wajar 
memang, karena bunga dalam negeri paling rendah 10-12 persen, sementara di luar 
negeri hanya 5 persen. 

Dalam kacamata bisnis, pilihan pengusaha untuk menggali utang dari mancanegara 
adalah pilihan rasional. Pengusaha tentu akan mencari dana paling murah untuk 
mengembangkan sayap bisnisnya, meski untuk itu harus berbentuk valas yang 
sangat rentan. 

Tak hanya permasalahan bunga. Mekanisme yang berlaku di perbankan domestik yang 
masih rumit akan membuat sektor swasta semakin malas untuk memanfaatkan jasa 
perbankan domestik. 

Karena itu, masalah ini harus dicarikan solusinya secara komprehensif. Sektor 
swasta seharusnya bertindak hati-hati dan bijak, meski tak ada otoritas yang 
melarangnya untuk menggali dana dari mancanegara. Risiko default dan penggunaan 
pinjaman, jangan sampai digunakan untuk spekulasi. Pendanaan itu harus dihitung 
secara serius. 

Jangan hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Semua kepentingan harus 
dibingkai dalam satu kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan 
negara yang juga menyangkut kepentingan seluruh rakyat Indonesia. 

Pengalaman krisis moneter pertengahan 1997 hendaknya jadi pelajaran bersama, 
sehingga kita tidak terperosok dua kali di lubang yang sama.*** 

Penulis adalah peneliti di Departemen Ilmu Ekonomi
Universitas Jember, Jawa Timur 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke