Refleksi: Rakyat yang lampunya berkedib-kedib mengunakan energi salah arah 
akibat dari pemborosan ataukah peniupan, korupsi termasuk salah urus negara 
oleh para penguasa?


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=174421


 SUMBER DAYA
Wapres: Penggunaan Energi
Salah Arah 


Senin, 4 Juni 2007
JAKARTA (Suara Karya): Wapres Jusuf Kalla menyatakan, selama sekitar 40 tahun 
penggunaan energi di Indonesia salah arah. 

"Selama bertahun-tahun kita boroskan penggunaan bahan bakar (energi) yang kita 
miliki dengan cara menjual murah ke negara-negara pengimpor," katanya saat 
menyampaikan pidato dalam pencanangan Universitas Muhammadiyah Malang sebagai 
Kampus Agrokompleks dan Pusat Pengembangan Energi Terbarukan, Sabtu lalu, di 
Malang. 

Sebelum jumlah penduduk naik drastis dan harga minyak turun, Indonesia yang 
kaya energi demikian boros. Wapres mengingatkan, kebijakan itu sudah harus 
dirombak total karena kondisi saat ini jauh berbeda dan jumlah penduduk terus 
meningkat. 

Wapres mencontohkan, sekitar tahun 1960-1970-an, begitu harga minyak dunia naik 
Indonesia bisa tersenyum. Namun sekarang sebaliknya. Ketika harga minyak dunia 
naik, pemerintah dan komponen bangsa merengut. 

Dengan kondisi kekayaan alam yang makin menipis dalam menghasilkan energi, 
papar Wapres, kebijakan energi harus diubah. Pemerintah dan masyarakat harus 
pandai menghemat energi serta mulai menggalakkan penggunaan energi alternatif. 

Menurut Wapres, saat ini era harga energi murah sudah berakhir karena harga 
minyak mentah dunia terus melambung. Diperkirakan dalam beberapa tahun 
mendatang harga minyak mentah dunia sudah mencapai 100 atau bahkan 200 dolar AS 
per barel. 

Sekarang ini, kata Wapres, pemerintah tengah mengkaji harga energi yang 
seimbang untuk per orang pada tahun 2009. Itu dilakukan karena subsidi energi 
bagi masyarakat sudah mencapai Rp 80 triliun. 

"Oleh karena itu, kita semua harus mulai hemat energi dan menggunakan energi 
alternatif, seperti penggunaan minyak tanah juga harus mulai dikonversikan ke 
elpiji yang lebih murah, aman, dan bersih," ujarnya. 

Menanggapi kebijakan energi nasional tersebut, pengamat migas Achmad Qoyum 
Tjandarnegara menilai strategi penggunaan bahan bakar (energi) domestik yang 
digunakan pemerintah selama ini memang keliru. Misalnya ekspor gas murah ke 
Jepang dalam bentuk gas cair (liquefied natural gas/LNG) seharga Rp 2.500 per 
liter. Sedangkan untuk menutupi hilangnya energi itu pemerintah perlu mengimpor 
BBM dengan harga relatif lebih mahal, Rp 5.000 per liter. 

Padahal, menurut Qoyum, gas cair yang dijual ke luar negeri itu memiliki 
tingkat efisien lebih baik 30-50 persen dari bahan bakar yang diimpor. "Karena 
itu, langkah terbaik adalah stop ekspor dan menggunakan energi murah seperti 
gas di dalam negeri dan lebih efisien," kata Qoyum dalam percakapannya dengan 
Suara Karya di Jakarta, Minggu (3/6). 

Dalam perbandingannya, Qoyum menjelaskan, BBM impor menggunakan isi (contents) 
karbon mencapai di atas angka 17, sedangkan gas cair yang diekspor merupakan 
C-1 dan elpiji berada di angka 3-4. "Makin kecil carbon contents, maka makin 
efisien dan tidak berpolusi," ujarnya. 

Kebijakan pemerintah mengekspor gas, menurut Qoyum, adalah hal yang keliru. 
Sebab, penggunaan seluruh gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri menguntungkan 
negara hingga mencapai Rp 76,7 triliun. "Ini Rp 18,2 triliun lebih tinggi 
daripada (yang dihasilkan dari) kebijakan pemerintah saat ini, mengekspor gas 
sambil mengimpor bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah justru mendapat 
keuntungan besar dengan tidak melakukan ekspor gas," kata mantan Dirut 
Perusahaan Gas Negara ini. 

"Bila penggunaan BBM tidak bisa digantikan di dalam negeri, sudah dipastikan 
industri kita membeli lebih mahal dua kali lipat dibandingkan Singapura atau 
Malaysia," kata dia sambil menambahkan bahwa melalui selisih impor BBM dan 
penjualan gas, pemerintah mendapat keuntungan Rp 58,5 triliun. 

Selain itu, Qoyum juga mengatakan, untuk pemakaian BBM yang sebagian diimpor 
itu mengharuskan pemerintah untuk mengeluarkan subsidi lebih besar. 
Diperkirakan, kata dia, rata-rata tiap tahunnya negara mengeluarkan tidak 
kurang dari Rp 50 triliun untuk subsidi. "Artinya, selama 7 tahun subsidi 
mencapai Rp 350 triliun. Padahal, untuk menyelesaikan pembangunan infrastruktur 
untuk gas, seperti pembangunan pipa, pengolahan LNG, maupun transportasi LNG 
(tanker) hanya membutuhkan tidak lebih dari Rp 250 triliun," ujar Qoyum. (Abdul 
Choir/Antara)

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to