http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=78129

     
      Sabtu, 10 November 2007


      Yahudi dan Tantangan Umat Islam
      Oleh: M. Zainal Abidin*


      Satu persoalan besar dunia Islam yang hingga kini belum menemukan solusi 
pemecahan yang jelas adalah kasus Palestina. Sudah berpuluh tahun umat Islam 
(Arab) dipermalukan dan dihina oleh pendudukan Israel. Dunia Arab tampaknya 
tidak punya posisi tawar yang bagus dalam hal ini, dan hanya bisa bersikap 
pasrah terhadap arogansi Yahudi dan dukungan membuta dari AS. 

      Israel yang memiliki keunggulan penuh dalam bidang senjata, sama sekali 
tidak pernah merasa iba ketika membunuh dan membantai anak-anak dan wanita yang 
tak berdaya. Bom bunuh diri dari pihak Palestina, pasti dijawab dengan 
terjangan rudal dan nyalak senapan dari tentara Israel. Tampaknya hukum keras 
Yahudi diterapkan secara kaku, mata dibayar mata, darah dibayar darah dan nyawa 
dibayar nyawa. 

      Di tengah kondisi yang demikian, dunia Islam cuma bisa meratap dan 
mengutuk segala tindakan biadab Israel. Resolusi PBB memang sering dikeluarkan 
atas zionisme Israel, tetapi sebagaimana biasa, semua itu tidak akan 
berpengaruh apa-apa. Israel telah bebal dengan itu semua dan tidak pernah 
peduli. Mengapa demikian? Jawabannya, karena mereka merasa superior, dan merasa 
tidak bakal bisa disentuh oleh hukum Internasional, sedangkan umat Islam dengan 
1,3 milyar tidak lebih dari sekadar buih yang jumlahnya banyak, tapi tak 
berarti apa-apa? 

      Berangkat dari semangat untuk melihat kebangkitan kembali Islam dalam 
pentas sejarah, tulisan ini bermaksud melihat persoalan superioritas Yahudi 
tersebut dari perspektif sejarah, dan kemudian melihat peluang umat Islam untuk 
bisa 'menandingi' superioritas Yahudi tersebut. 

      Superioritas Yahudi 

      Satu tokoh berpengaruh di Asia Tenggara, Mahathir Mohammad, pernah 
berkomentar tentang Yahudi, bahwa Eropa membunuh enam juta di antara 12 juta 
Yahudi dan kini, Yahudi bisa memerintah orang lain untuk berperang dan mati 
demi mereka. Yahudi telah berhasil bertahan selama 2000 tahun, dan ini karena 
mereka lebih mengedepankan otak daripada kekuatan. Karena itu, untuk melawan 
Yahudi tidak cukup bagi dunia Islam hanya berbekal kekuatan, tapi perlu otak. 

      Sebenarnya, kesuksesan Yahudi dalam membangun superioritasnya di Barat, 
bukanlah sesuatu hadir yang tiba-tiba. Prestasi yang mereka raih bukanlah suatu 
creatio ex nihilo, ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong, tetapi 
melalui lika-liku penderitaan yang panjang mulai perbudakan di era Fir'aun, 
sampai pembantaian dan pengusiran oleh Nazi di Eropa pada sekitar abad ke-19. 

      Kalau dikaji secara mendalam, sebenarnya keberhasilan mereka bertahan, 
bukan semata karena cemerlangnya otak mereka, tapi lebih dari itu, ada semacam 
mitos kuat yang mereka yakini, bahwa mereka adalah umat pilihan, yang 
senantiasa dibantu Tuhan. Mereka adalah aktor sentral yang mampu mewarnai dunia 
dan dunia akan menjadi damai setelah sampai pada tanah yang dijanjikan Tuhan. 

      Mitos sebagai umat pilihan inilah, yang diyakini telah mampu memberi 
motivasi yang tinggi untuk menguasai dunia. Demi merealisasikan keyakinan akan 
mitos ini, para pemikir kontemporer Yahudi kemudian melakukan revitalisasi dan 
pembaharuan ajaran. 

      Pembaharuan ini diawali pada tahun 1840-an, yaitu saat munculnya kelompok 
Yahudi reformis, yang memiliki pandangan sangat rasional, pragmatis, dan 
mendukung privatisasi agama. Mereka memulai kajian kritis terhadap ajaran 
Yahudi dan membangun mazhab sains yang kental dipengaruhi oleh Filsafat Kant 
dan Hegel. Sejak itulah, semua perlahan menjadi rasional dan praktis. 
Penderitaan, pengusiran, dan pengembaraan berabad-abad yang mereka alami 
diekspresikan dengan visi relijius, dikonseptualisasikan serta dipahami dengan 
nalar yang kritis. Agama Yahudi oleh kalangan reformis ini telah diupayakan 
mampu menghadapi perkembangan budaya dan kompleksitas dunia modern dan 
memasukkan filsafat pada dunia pemikiran keagamaan. Selain itu, umat Yahudi 
memiliki perhatian yang sangat luar biasa terhadap ilmu pengetahuan. Menurut 
catatan statistik, rasio jumlah penduduk Yahudi dengan jumlah ilmuwan mereka 
yang bergelar doktor dalam berbagai disiplin ilmu adalah yang terbesar di 
dunia, 1 juta berbanding 16.000. Ba ndingkan dengan Indonesia yang hanya 1 juta 
berbanding dengan 60. 

      Dengan pola pemikiran yang canggih semacam ini dan konsern keilmuan yang 
tinggi serta adanya solidaritas yang sangat kuat di kalangan pemeluk Yahudi, 
maka dominasi dunia (Barat) ada di genggaman mereka. Amerika Serikat sebagai 
negara yang superior pun tampak tunduk dan berada di bawah bayang-bayang 
mereka. Satu hal lagi, dalam gerakannya, Yahudi terkenal halus, sistematis, 
terorganisir, terarah, rapi dan tidak begitu mementingkan simbolisme. 
Mereka-meminjam ungkapan Pak Hatta- ibarat garam, meski tidak kelihatan, tapi 
sangat terasa eksistensinya. 

      Realitas Umat Islam 

      Berbeda dengan Yahudi, umat Islam sebagaimana disinyalir oleh seorang 
pemikir muslim kontemporer, Shabir Akhtar dalam bukunya Faith in All Season, 
tampaknya kurang berhasil dalam memberikan respon yang memadai terhadap 
tantangan-tantangan modernitas sekuler. Islam dengan 1,3 miliar pemeluknya 
memang banyak memiliki kaum apologis dan teoritikus agama, namun mereka gagal 
dalam memberikan respon yang bernas dan mendasar terhadap modernitas. 

      Menurutnya, dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern, banyak umat 
Islam masih merujuk pada tafsiran klasik abad pertengahan, yang kondisi dan 
tantangannya jelas jauh berbeda. Memang ada sementara intelektual muslim yang 
mencoba mengajukan pembaharuan pada keberagamaan umatnya, tapi pemikiran mereka 
tetap marginal dalam blantika pemikiran agama Islam. 

      Kondisi ini diperparah lagi oleh sikap egoisme sementara pemimpin politik 
negara Islam, dan perpecahan serta pertikaian yang sering muncul di antara 
mereka. Akibatnya, Arab dengan 200 juta penduduknya, hanya bisa mengeluh tidak 
berdaya terhadap dominasi hanya sekitar 6 juta penduduk Israel (Yahudi). 

      Tantangan Umat 

      Lalu bagaimanakah mengatasi 'kekalahan' umat Islam? Sebagaimana Yahudi 
punya mitos sebagai umat pilihan, Islam sendiri sebenarnya juga memiliki ajaran 
yang serupa, yaitu bahwa umat Islam adalah umat terbaik (khairu ummah). (QS. 
Ali 'Imran (3): 110). Namun, mitos ini belum terejawantah dalam bentuk yang 
praksis sebagaimana Yahudi. Umat Islam semestinya harus benar-benar berjuang 
untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka memang benar-benar umat terbaik yang 
diturunkan buat umat manusia, mengajak mereka kepada yang ma'ruf, mencegah 
mereka dari yang munkar, dan menuntun mereka agar tetap dalam koridor iman 
kepada Allah. 

      Berangkat dari upaya mewujudkan mitos ini, tidak cukup hanya pernyataan 
'perang otak', tetapi perlu reformasi mendasar pada cara pandang umat terhadap 
agama dan realitas dunia. Agama yang bisa survive dan superior pada era saat 
ini adalah agama yang rasional, konsern mengajak pemeluknya pada penguasaan 
ilmu pengetahuan, peduli dan bertanggungjawab terhadap problematika 
kemanusiaan. Agama harus bisa menjawab tantangan zaman. Wassalam. 


      *Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin 


     

Reply via email to