* Corporatocracy: Yudhoyono, dan Ahmadinejad http://www.korantempo.com/korantempo/2006/05/26/Opini/krn,20060526,64 .id.html
Oleh Ali Sobirin PENELITI PERHIMPUNAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT JAKARTA Istilah corporatocracy dimunculkan oleh John Perkins (2004), seorang economic hit man (preman ekonomi) pada 1970-1980-an, yang kemudian bertobat. Istilah ini muncul dalam benak Perkins saat mengalami kegalauan dan konflik moral dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang preman ekonomi. Saat itu Perkins bertugas melobi para pembuat kebijakan pemerintah negara dunia ketiga dan terbelakang (less-developed countries) yang kaya akan sumber daya alam agar menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan corporatocracy (koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi) Amerika. Tujuannya menciptakan ketergantungan ekonomi negara terbelakang kepada negara adikuasa dengan dalih menyatakan minat corporatocracy untuk mengurangi derajat kemiskinan di negara-negara sasaran, seperti Indonesia dan Ekuador, yang diperkuat dengan data ekonometrik yang telah dimanipulasi. Tarik-menarik angel and demon (malaikat dan setan) dalam diri Perkins selesai hingga Perkins menyatakan mundur dari perusahaan yang menyewanya, Chas. T. Main Inc. (MAIN), sebuah perusahaan konsultan multinasional yang bertanggung jawab mengkaji untuk mengarahkan Bank Dunia memberikan pinjaman kepada suatu negara. Secara substansi pertobatan Perkins ini tidak mengagetkan. Sebab, tanpa pengakuan Perkins pun masyarakat sudah tahu, seperti yang terjadi di pergelaran wayang di Bandung yang ditonton Perkins dulu bahwa kedatangan IMF dan sekutunya hanyalah bermaksud mengeruk sumber daya alam Indonesia yang berlimpah. Namun, dari segi data, pertobatan Perkins ini memberikan semangat baru agar bangsa ini segera keluar dari cengkeraman corporatocracy. Blok Cepu Kekalahan kita bangsa Indonesia oleh perusahaan asal Amerika Serikat ExxonMobil Oil Indonesia (EMO) dalam memperebutkan kepemimpinan (operatorship) dalam eksplorasi minyak Blok Cepu tidak dapat diterima akal sehat. Bagaimana mungkin sebuah bangsa besar kalah oleh sebuah perusahaan? Bagaimana mungkin pemilik ladang menjadi pesuruh di ladangnya sendiri? Contoh serupa adalah hak eksplorasi tambang emas di kawasan Tembaga Pura yang jatuh ke tangan Freeport. Bagaimana mungkin pemilik ladang emas hanya mendapat bagian yang teramat kecil dan justru makin miskin? Sebetulnya jauh-jauh hari mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie sudah mengingatkan kita agar mengeksplorasi minyak Blok Cepu secara mandiri. Dengan keras Kwik mengkategorikan bahwa individu-individu yang mendukung ExxonMobil dengan merendahkan kemampuan bangsa sendiri (dalam hal ini Pertamina) adalah individu-individu inlander (mental terjajah), atau kalau tidak, mereka individu-individu yang sudah disuap oleh ExxonMobil alias korup. Mereka mendistorsi kepentingan nasional dan semangat nasionalisme dengan mengatakan bahwa penanganan Blok Cepu adalah murni bisnis dan jangan terjebak pada nasionalisme yang sempit. Namun, apa lacur, kekuatan corporatocracy yang begitu besar dan kuat menyebabkan peringatan Kwik menjadi angin lalu. Pertobatan Perkins pun seperti nasi sudah jadi bubur alias terlambat dan tidak memberi dampak apa-apa bagi negara yang telah ia kerjai. Walaupun begitu, ada secercah harapan yang tampaknya sedang diperjuangkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu keluar dari cengkeraman corporatocracy dengan mencari kiblat baru ke Timur Tengah. Dimulai dengan lawatannya ke beberapa negara di Timur Tengah dengan hasil baik berupa kunjungan balik dari Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, paling tidak menghasilkan poin besar bagi upaya keluar dari corporatocracy. Kunjungan balik Ahmadinejad ini menghasilkan beberapa keputusan penting dan produktif bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan, yaitu menghasilkan dua surat perjanjian dan empat nota kesepahaman (MOU). Surat perjanjian tersebut perjanjian di bidang bea-cukai (Arrangement of Mutual Administrative Assistance in Custom Matters) dan perjanjian program pertukaran budaya pada 2006-2008 (Arrangement Concerning Cultural Exchange Program for 2006-2008). Adapun empat nota kesepahaman di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (MOU on Scientific and Technological Cooperation), bidang industri kecil menengah (MOU on Small Medium Industry Cooperation), dan bidang energi (MOU Energy of Cooperation). Terakhir, ini yang paling penting, penandatanganan nota kesepahaman di bidang kilang minyak antara PT Elnusa dan National Uranium Oil Fining and Distribution Company. Kerja sama ini dalam bentuk pembangunan kilang minyak di Indonesia dengan menggunakan bahan yang berasal dari Iran. Di samping itu, di sini Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad memberi peluang kepada Pertamina bertindak sebagai operator di industri perminyakan di Iran. Dalam kadar yang paling minimal, nota kesepahaman dan peluang dari Ahmadinejad ini sedikit mengobati sakit hati kita yang nyata-nyata telah dipecundangi ExxonMobil. Lebih dari itu, meyakinkan kita akan kedirian dan kemandirian bangsa. Cukuplah sudah pengalaman pahit getir Blok Cepu dan tambang Tembaga Pura. Karena itu, secara perlahan tapi pasti kita harus berupaya keluar dari cengkeraman corporatocracy, yaitu dengan mencari partner baru dalam bisnis dan politik internasional. Partner yang menghargai kedirian, kemandirian, dan kedaulatan bangsa. Partner yang betul-betul mau bekerja sama dalam mengentaskan masyarakat miskin. Partner yang tidak arogan dan culas. Nah, nota kesepahaman dan peluang yang diberikan Ahmadinejad bisa menjadi batu loncatan ke arah ini. Corporatocracy Tentu saja, keluar dari cengkeraman corporatocracy tidaklah mudah. Di sini, Yudhoyono dituntut kepiawaian dan kehati-hatiannya dalam membangun jaringan baru di dunia internasional. Kalau tidak piawai dan tidak hati-hati, tidak mustahil Yudhoyono bernasib tragis seperti Presiden Panama Omar Torrijos dan Presiden Ekuador Jaime Roldos, sebagaimana diceritakan Perkins. Juga tidak mustahil Indonesia diperlakukan sama seperti Irak dan Afganistan. Satu hal yang harus disadari oleh Yudhoyono bahwa corporatocracy mampu menembus barisan--dalam struktur pemerintahnya. Corporatocracy masuk melalui pintu-pintu individu yang korup dan culas. Bahkan demi kepentingan dirinya, tidak mustahil individu-individu yang korup dan culas inilah yang membawa masuk corporatocracy. Di sini, penggerogotan kekuasaan dari dalam merupakan ancaman serius. Karena itu, sebelum melangkah jauh ke depan dan berekspansi lebih jauh, hal utama yang harus dilakukan Yudhoyono pembenahan di dalam. Struktur pemerintah harus dibenahi serapi mungkin dan dibersihkan sebersih mungkin dari individu-individu yang korup dan culas. Individu-individu yang culas dan korup harus segera diungsikan ke meja hijau. Di sini, surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) kepada mantan presiden Soeharto bukanlah preseden yang baik. Alih-alih ingin menjunjung tinggi hak asasi manusia dan berperikemanusiaan, SKPP akan mengencangkan barisan para individu korup. Dengan SPK ini para individu korup mendapat angin segar. Mereka telah mendapat teladan dari mahagurunya tentang bagaimana cara menguras harta rakyat sebanyak-banyaknya dan bagaimana cara keluar dari jeratan hukum. Tak pelak, upaya keluar dari cengkeraman corporatocracy akan menemui jalan buntu. l