* Cuci Gudang: Giliran PT TPN (Timor) Tommy Disidik Jaksa etc
 Selasa, 05 Juni 2007  Harian Pikiran Rakyat

BAGAIKAN cuci gudang, langkah penyidik Kejaksaan Agung dalam memburu 
harta keluarga Cendana. Bila pekan sebelumnya, penyidik membuka 
kembali kasus dugaan korupsi Badan Pemasaran dan Penyangga Cengkeh 
(BPPC) senilai Rp 175 miliar. Kasus kucuran dana bank pada 1996 
tersebut pernah disidik pada 2001, namun dipetieskan.

Kini, jejak masa lalu Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) dalam 
monopoli mobil impor --yang dikamuflase mobil nasional-- mulai 
disidik. Dugaan korupsi kasus itu mencapai 260 juta dolar AS dari 
fasilitas kredit Bank Bumi Daya (BBD), dan Bank Dagang Negara (BDN) 
pada 1998-1999.

Penyidikan dua kasus ini melengkapi sasaran pencarian harta keluarga 
mantan presiden Soeharto. Dua kasus lain, pembekuan uang milik Tommy 
Soeharto di PNB Paribas cabang Guernsey senilai 36 juta Euro. Lalu, 
kekayaan milik Yayasan Supersemar yang didirikan Soeharto sewaktu 
berkuasa. 

Langkah cuci gudang atas kasus-kasus pada keluarga Cendana ini, 
tidak lepas dari perintah Pengadilan Guernsey Island. Pada sidang 
persengketaan harta Tommy Soeharto akhir Mei, pengadilan itu 
mengabulkan permohonan Pemerintah Indonesia yang diwakili Kejaksaan 
Agung dan pengacara lokal, untuk membekukan harta Tommy Soeharto 
selama enam bulan ke depan. Dengan syarat, Kejaksaan Agung RI harus 
menunjukkan, Tommy Soeharto tersangkut korupsi di dalam negeri, 
minimal satu kasus korupsi yang diperiksa oleh pengadilan.

Kasus dugaan korupsi BPPC, sebenarnya memenuhi target untuk 
melengkapi persyaratan administrasi pemblokiran duit Tommy Soeharto 
di PNB Paribas. Namun, penyidik kejaksaan menambah satu kasus 
sebagai penguat, dugaan korupsi dalam pengadaan mobil Timor di bawah 
bendera PT Timor Putra Nusantara (TPN). 

Sebagaimana dimaklumi, PT TPN oleh Presiden Soeharto waktu itu, 
dijadikan pilot projek untuk rintisan mobil nasional. Dengan dalih 
itu, perusahan anak bawang milik Tommy Soeharto itu, langsung 
memperoleh fasilitas khusus, berupa kredit lunak dari BBD 260 juta 
dolar. Lalu pembebasan bea masuk dan pajak mobil dari Korsel itu, 
yang kini di pasaran lebih dikenal dengan bendera KIA. 

Kucuran kredit bagi PT TPN tidak beda jauh dengan fasilitas yang 
diterima BPPC. Jenis kreditnya yang berbeda. Bila PT TPN memperoleh 
kredit lunak, BPPC melalui paket kredit Likuiditas Bank Indonesia 
(KLBI) atau kredit modal. Fasilitas kredit BBD mencapai 28 juta 
dolar AS pada 1998-1999. 

Direktur Penyidikan Pidana Khusus pada Jampidsus M. Salman 
menambahkan, PT TPN memperoleh pula 85 bilyet deposito dari BBD atas 
nama PT TPN (61 lembar) dan PT TDN (24 lembar). Dari 85 bilyet 
deposito tersebut, 55 bilyet disita oleh Kantor Pelayanan Pajak 
(KPP) Jakarta, sisanya 30 bilyet disimpan Badan Penyehatan Perbankan 
Nasional (BPPN), yang kini lembaganya telah dibubarkan.

Belakangan diketahui, pihak Tommy Soeharto secara sepihak telah 
mencairkan 24 dari 30 lembar bilyet deposito di BPPN. Begitu pula 17 
lembar dari 24 milik PT TDN dicairkan TPN. Pencairan deposito itu, 
merupakan pelanggaran terhadap perjanjian bank. Apalagi, dilakukan 
sepihak tanpa persetujuan pihak bank.

Dari data yang diperoleh penyidik, kata M. Salman, PT TPN juga 
melanggar kesepakatan pembayaran. Ketentuannya, PT TPN membuka 
rekening ascrow-account, sebagai giro atas nama perusahaan itu. Ini 
bagian dari cara perusahaan Tommy Soeharto memenuhi kewajiban 
terhadap bank. Persoalan timbul, karena rekening itu tidak 
difungsikan sesuai peruntukan. 

Di luar urusan dengan penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung, PT TPN 
pernah berurusan secara perdata dengan Direktorat Pajak. Bahkan, 
urusan ini akhirnya berujung pada penyitaan rekening perusahaan ini 
di Bank Mandiri senilai Rp 1,3 triliun, oleh Direktorat Pajak pada 
2004. 

Penyitaan itu diawali pembekuan rekening oleh Direktorat Pajak waktu 
itu. Alasannya, PT Timor lalai membayar pajak bea masuk kendaraan 
Timor dari Korsel. Namun, pengadilan berbicara sebaliknya, rekening 
itu milik PT TPN. Akhir kasus tersebut menimbulkan pertanyaan, 
apakah kemenangan PT TPN murni atau lewat kolusi dengan pejabat di 
pengadilan? 

PT TPN sebentar lagi berhadapan lagi dengan pengadilan. Persiapannya 
tengah digarap enam jaksa penyidik yang dikoordinasikan Urip Tri 
Gunawan, sesuai surat perintah penyidikan Jampidsus yang diterbitkan 
pada 28 Mei. Di antara yang disoalkan dari dugaan korupsi, 
perusahaan tidak membayar bea masuk dan pajak, serta penyelewengan 
kredit yang dikucurkan bank. Akankah akhir dari penyidikan kasus 
korupsi PT TPN, senasib dengan langkah Direktorat Pajak? 
(mukhijab/"PR")==================================
 * Kejaksaan Temukan Dugaan Kekeliruan Transaksi
 Koran Tempo - Selasa, 05 Juni 2007 

JAKARTA - Kejaksaan Agung menemukan adanya dugaan kekeliruan 
transaksi cengkeh antara Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh 
(BPPC) dan pabrik rokok. Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung M. 
Salim mengatakan kekeliruan transaksi tersebut ditemukan penyidik 
setelah memeriksa beberapa pengusaha rokok sebagai 
saksi. "Kekeliruannya, seputar aliran pertanggungjawaban dan 
prosedur transaksi," ujar Salim di kantornya kemarin.

Menurut dia, keterangan para saksi perihal adanya indikasi 
kekeliruan dalam transaksi tersebut semakin memperkuat bukti adanya 
dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus BPPC. Pertanyaan besarnya, 
kata Salim, kenapa sampai uang itu hilang sehingga menimbulkan 
kerugian negara yang ditaksir senilai Rp 1,7 triliun.

Kasus BPPC bermula dari dugaan penyalahgunaan dana kredit likuiditas 
Bank Indonesia. Dana yang diduga bermasalah nilainya mencapai Rp 175 
miliar. Kasus yang diduga melibatkan putra bungsu bekas presiden 
Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, ini sebenarnya 
pernah diselidiki kejaksaan pada 2000, tapi dihentikan. Kejaksaan 
lalu membuka kembali kasus tersebut.

Kejaksaan sendiri pada 29 Mei lalu telah memeriksa dua orang 
perwakilan perusahaan rokok, Sukun dan Jambu Bol, asal Kudus, Jawa 
Tengah. Kejaksaan menilai penyidikan dimulai dari aspek jual-beli 
cengkeh karena keterangan mereka dianggap penting untuk penyidikan.

Salim mengatakan pada pekan ini kejaksaan mulai memeriksa 13 pejabat 
dari beberapa lembaga keuangan yang terkait dengan kasus 
BPPC. "Siapa yang akan diperiksa tergantung prioritas penyidik," 
ujarnya. Lagi pula, kata Salim, tim penyidik ingin mengetahui detail 
kasus BPPC.

Di sisi lain, tim penyidik Kejaksaan Agung siap melakukan panggilan 
terhadap saksi-saksi yang terkait dengan kasus di PT Timor Putra 
Nasional--salah satu perusahaan milik Tommy. Namun, dia belum 
mengetahui siapa saja yang akan diperiksa. "Tim penyidik rapat pada 
hari ini," ujarnya.

Sementara itu, O.C. Kaligis, pengacara Tommy Soeharto, hingga berita 
ini diturunkan belum bisa dimintai komentar. Telepon selulernya 
tidak diangkat ketika dihubungi. Pesan pendek yang dikirim juga 
belum dibalas. 

Namun, Kaligis pernah menyatakan mempersilakan kejaksaan menyelidiki 
dugaan korupsi terhadap kliennya dalam kasus BPPC. "Itu wewenang 
kejaksaan," ujarnya pada 22 Mei lalu. "Nanti saja, kita adu bukti." 
Kaligis optimistis kasus BPPC tidak akan dapat menjerat kliennya. 
Sebab, kata dia, mantan Direktur Utama Induk Koperasi Nurdin Halid 
akhirnya bebas dalam kasus tersebut. Sandy Indra Pratama | Rini 
Kustiani | Sukma

Koran Tempo - Selasa, 05 Juni 2007 
========================
* Dokumen Asli Soeharto Belum Ditemukan etc
 Koran Tempo - Senin, 04 Juni 2007

JAKARTA -- Kejaksaan Agung hingga saat ini masih mencari dokumen asli
terkait dengan yayasan Soeharto yang sedianya dijadikan barang bukti
dalam penuntutan perdata terhadap mantan presiden tersebut. "Saya
tidak tahu apakah dokumen itu hilang, disimpan, atau bagaimana. Yang
jelas, sedang dicari," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan
Agung Salman Maryadi kepada Tempo kemarin.

Dokumen itu disimpan oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta setelah kasus
tindak pidana korupsi Soeharto tak dapat disidangkan. Namun, saat tim
jaksa pengacara negara pimpinan Dachmer Munthe akan memakainya dalam
tuntutan perdata, yang diserahkan hanya fotokopiannya.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya pun
mengaku tak tahu di mana persisnya berkas asli itu berada. ''Saat 
saya
terima sembilan filing cabinet berkas dalam keadaan fotokopian,''
katanya.

Agak susah melacaknya karena sudah enam tahun dokumen itu "tak
diperhatikan". Pada September 2000 ketua majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Lalu Mariyun, menolak mengadili perkara 
karena
Soeharto sakit permanen. Pada Mei 2006 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
menghentikan penuntutan perkara. Di antara dua waktu itu, berkas
tersebut cuma teronggok.

Tujuh tahun lalu, Chairul Imam, mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi
Kejaksaan Agung, telah mendapatkan dokumen-dokumen asli. Bahkan ia
sempat mengecek keabsahan dokumen tersebut ke sejumlah saksi kunci,
seperti Bustanil Arifin, mantan Menteri Koperasi yang juga Bendahara
Yayasan Amal Bhakti Pancasila. "Ah, masak sih hilang? Kalau benar,
pasti ada sabotase," kata Chairul Imam berang.

Meski berkas belum ditemukan aslinya, proses penuntutan perdata
terhadap Soeharto jalan terus. Menurut Munthe, dokumen fotokopian 
yang
diperlukan nantinya akan dilegalisasi dan dikonfirmasi ke beberapa
sumber yang terkait. Timnya, kata dia, akan meminta konfirmasi kepada
43 saksi yang bisa membenarkan keabsahan surat itu.

Menurut Munthe, walau tidak mau mengungkap siapa saja saksi yang akan
diperiksa, saksi yang akan dimintai keterangan oleh tim jaksa adalah
saksi yang pernah dipanggil dan terkait dengan kasus pidana Soeharto.
''Juga tim jaksa yang kala itu menangani,'' katanya.

''Selain itu, akan diminta keterangan saksi ahli,'' katanya. Dengan
legalisasi dan konfirmasi itu, dokumen fotokopian pun akan sesakti
aslinya. "Legalisasi dan pembenaran saksi bisa menjadikan dokumen
menjadi alat bukti,'' ujarnya.

Hal yang sama dikatakan oleh Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph
Suardi Sabda. Dia mengatakan, untuk memperkuat gugatan perdata, 
memang
harus dilampirkan bukti dokumen asli.

''Jika memang tidak ada, legalisasi pun bisa dikuatkan dengan
pengesahan penyidik, notaris, atau pejabat yang berwenang,'' katanya.

Namun, seorang jaksa yang menolak namanya dikutip meragukan dokumen
itu hilang. Dia khawatir berkas penting itu disimpan di tempat lain
karena khawatir "dihilangkan". Ia menunjuk sejumlah insiden
mencurigakan sepanjang penyidikan kasus korupsi Soeharto: ledakan bom
di Gedung Bundar pada Juli 2000 dan kebakaran di gedung Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tiga bulan sesudahnya. 
Setidaknya,
"Salinan berkas perkara disimpan di dua tempat itu," katanya. Hingga
kini tak jelas di mana berkas perkara Soeharto itu disimpan. SANDY
INDRA PRATAMA | WAHYU DHYATMIKA

Sumber: Koran Tempo - Senin, 04 Juni 2007
=================
* Tiga Saksi Kasus Soeharto Sudah Dipastikan
 Kompas - Sabtu, 02 Juni 2007

Kejaksaan Agung mulai memastikan keterangan sejumlah saksi yang 
pernah
memberikan keterangan dalam penyidikan perkara dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto. Keterangan saksi itu digunakan untuk menguatkan
barang bukti berupa fotokopi dokumen-dokumen, yang akan digunakan
dalam menggugat perdata Soeharto dan Yayasan Supersemar.

Direktur Perdata pada Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan
Agung Yoseph Suardi Sabda, Kamis (31/5), menyampaikan, tiga saksi
sudah didatangi dan dipastikan keterangannya. Namun, Yoseph menolak
menyebutkan siapa saja saksi yang dimintai keterangan itu.

"Keterangan mereka menguatkan barang bukti dokumen yang kami miliki,"
kata Yoseph.

Dengan demikian, meskipun bukti berupa fotokopi dokumen, diyakini hal
itu dapat mendukung gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum
Soeharto dan Yayasan Supersemar. Rencananya, dalam gugatan tersebut,
Kejaksaan selaku jaksa pengacara negara akan mengajukan ganti rugi
materiil Rp 1,5 triliun dan imateriil Rp 10 triliun.

Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Salman
Maryadi mengatakan, Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan
Agung akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam mencari
saksi-saksi kasus Soeharto.

Yoseph Suardi Sabda pernah menyampaikan, sebanyak 43 saksi yang 
pernah
bersaksi saat pemeriksaan perkara Soeharto akan disortir lagi.

"Dicari, siapa yang relevan untuk perkara perdata. Harus dipastikan
juga mereka mau bersaksi dalam gugatan perdata," ujar Yoseph.

Kasus PT Timor disidik

Dugaan kerugian negara, sesuai informasi tim penyidik, masih dihitung
dengan meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,"
kata Salman Maryadi pada Kamis siang.

Dihubungi Kamis malam, Elza Syarief, salah seorang pengacara Hutomo
Mandala Putra atau Tommy Soeharto—pemilik PT TPN—mengaku sudah
mendengar perihal penyidikan jaksa itu. Begitu pula kliennya. Namun,
Elza menolak menanggapi dimulainya penyidikan perkara yang diduga
melibatkan kliennya di PT TPN, yang tak lama dilakukan setelah
penyidikan dugaan korupsi di Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh.
"Kita lihat saja nanti," kata Elza. (idr)

Sumber: Kompas - Sabtu, 02 Juni 2007



Kirim email ke