* Gugatan ke Soeharto Terlambat, tapi Perlu Disambut Baik Kompas - Senin, 28 Mei 2007
Rencana Kejaksaan Agung menggugat perdata mantan Presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar merupakan langkah terlambat. Demikian dikemukakan advokat Adnan Buyung Nasution, Jumat (25/5). Dia juga menyesalkan sudah keluarnya surat ketetapan penghentian penuntutan perkara atau SKP3 untuk Soeharto karena tindakannya seharusnya dilihat menyeluruh. "Bagaimanapun juga rencana gugatan perdata itu tetap harus disambut baik. Namun, tindak perdata yang diduga dilakukan Soeharto dan yayasannya seharusnya dilihat terkait dengan tindak pidananya. Sebab, jika dicari sebab akibat, kekayaan itu terkumpul akibat perbuatan tercela Soeharto, misalnya lewat kebijakan yang dibuatnya," katanya. Kendala dalam gugatan itu, sebagian besar harta milik Soeharto dan Yayasan Supersemar yang akan digugat pemerintah diduga sudah dipindahtangankan berkali-kali. Ini tercermin, antara lain, lewat kasus rekening PT Garnet Investment Limited di Banque Nationale de Paris and Paribas Cabang Guernsey. Sedangkan ahli hukum tata negara UGM, Denny Indrayana, mengatakan, semakin lama gugatan dilakukan, posisi pemerintah makin lemah. Sebaliknya, para tergugat makin punya waktu untuk memperkuat posisinya. "Makna gugatan ini juga amat penting. Sebab, jika pemerintah sampai kalah, mekanisme hukum untuk mengusut harta Soeharto lainnya boleh dikatakan sudah tertutup. Padahal, prestasi pemerintah ketika mengusut kasus-kasus keluarga Cendana selama ini cenderung tidak baik," katanya. Sumber: Kompas - Senin, 28 Mei 2007 ==================== * Terkait Uang Tommy, Empat Orang Diperiksa Kompas - Sabtu, 26 Mei 2007 Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK intensif menyelidiki sejumlah rekening koran milik empat orang berinisial HA, ZY, IKG, dan TM. Penyidik hingga kini masih menunggu jawaban pihak bank tertentu terkait penyelidikan rekening koran tersebut. "Tapi, hingga kini pihak perbankan masih juga belum memberi jawaban permintaan kami," ujar Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Bambang Kuncoko, Jumat (25/5). Apakah keempat orang tersebut mantan pejabat negara, Bambang enggan berkomentar. "Pokoknya, keempat orang itu terkait pencairan uang Tommy (Tommy Soeharto) yang ditransfer dari Paribas. Karena itu, kami mintakan rekening koran mereka," ujar Bambang. Tommy diduga memiliki uang 36 juta euro atau sekitar Rp 400 miliar di Banque Nationale de Paris and Paribas di Guernsey. Sementara itu, Jaksa Agung Hendarman Supandji yakin dapat memenuhi syarat Pengadilan Guernsey dalam memperpanjang pembekuan rekening Garnet Investment Limited—perusahaan Tommy Soeharto—di BNP Paribas. Waktu tiga bulan dirasa cukup untuk mengajukan gugatan perdata terhadap Tommy Menurut Hendarman, kejaksaan sudah mengantisipasi hal itu. Sebelum putusan dibacakan hakim Pengadilan Guernsey tanggal 23 Mei 2007, Hendarman sudah minta kepada jajaran Pidana Khusus serta Perdata dan Tata Usaha Negara untuk mengantisipasi putusan. Di Tokyo, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin mempertanyakan dasar hukum tuduhan kepada dirinya. "Apa yang salah? Siapa yang bilang harus ada izin (dari menkeu) untuk membuka rekening itu? Pasal dan UU mana yang mengatur itu? Coba mana?" tanya Hamid. (sf/idr/har) Sumber: Kompas - Sabtu, 26 Mei 2007 ====================== * Indonesian prosecutors eye Soeharto foundation Source: Xinhua , People's Daily Online --- http://english.people.com.cn/ UPDATED: 19:34, May 24, 2007 The Indonesian prosecutors said Thursday they would renew the legal battle against former longest serving president Soeharto by targeting one of his graft-ridden foundations. They plan to file a lawsuit before July 22 against the Supersemar Foundation accused of illegally collecting funds for the said social donations. "The Supersemar Foundation is only the beginning. Other ( Soeharto's) foundations will follow the prosecution," said prosecutor Alex Sato Bya from the Attorney General's Office (AGO) here. Founded in 1976, the Supersemar Foundation has obliged all state banks to donate at least 5 percent of their net profit to be used for social donations through the foundation, mainly to provide scholarship for students from poor families. But Alex said the AGO had evidence that a considerable amount of the fund went to private companies such as now-defunct airliner Sempati Air and retailer Goro, in which Soeharto's son Tommy had a share. Part of the fund also was donated to Kosgoro, an affiliate of Golkar Party that became Soeharto's political vehicle during 32 years in power. "We have a case to win. There have been several successions of the attorney general but the case has never been settled," Alex told a press conference here. He said the AGO would hire 12 lawyers to bring the Supersemar case to the commercial court with a compensation demand of 11.5 trillion rupiah (about 1.2 billion US dollars). Soeharto resigned in May 1998 after nationwide protests against his corrupt regime and has since been living quietly at his private residence in Central Jakarta. Efforts to bring him to court failed after the Supreme Court pronounced him medically unfit for trial. Source: Xinhua People's Daily Online --- http://english.people.com.cn/ ======================= SUARA PEMBARUAN DAILY TAJUK RENCANA I "Pinochetkan" Soeharto." Abstrak: "Lagi pula kalau kita cermati undang-undang tentang yayasan yang sempat dua kali diperbarui dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, tuntutan perdata kepada Soeharto itu niscaya akan gagal.... Undang-undang yayasan yang baru ini memuat rekaan hukum yang melembagakan pembina sebagai pemilik yayasan. Para pengacara pembela Soeharto akan memanfaatkan undang-undang yayasan ini untuk membebaskannya dari tuntutan perdata. Para pembela akan terdiri dari praktisi hukum unggul yang dibayar mahal dan mampu membayar mahal untuk mengalahkan para jaksa yang kalah cerdik dan kalah dana." -- Sejak mantan Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan pada BJ Habibie banyak suara yang menuntut agar Soeharto dan para kroninya diadili. Namun sampai sekarang upaya untuk mengadili Soeharto itu belum terwujud, walaupun ada Ketetapan MPR XI Tahun 1998. Peluang mengadili pemimpin rezim Orde Baru ini secara pidana tampaknya sudah tertutup karena alasan kesehatan dan berbagai keputusan lembaga hukum. Sekarang ada upaya menuntut Soeharto secara perdata agar dana yang terhimpun dalam berbagai yayasan yang didirikan dan diketuainya dapat kembali pada negara. Mengadili Presiden yang berkuasa mutlak selama 32 tahun pasti sukar karena lembaga yang mengadilinya masih dipenuhi oleh orang-orang yang menem-pati kedudukannya semasa Soeharto dan rezimnya berkuasa. Kalau mereka betul-betul mengadili Soeharto dampaknya bisa mengenai diri sendiri, ibarat memercik air comberan ke muka sendiri. Karena itu, upaya mengadili Soeharto selama ini terkesan setengah hati. Bahkan mungkin hanya upaya kosmetis untuk menipu khalayak ramai dengan memberi kesan bahwa yang berkuasa pasca- Soeharto sungguh-sungguh mau menegakkan kebenaran dan keadilan. Tuntutan perdata juga sekadar memoleskan gincu warna lain untuk menenangkan masyarakat. Kita perlu belajar dari pengalaman Filipina merebut kembali harta Marcos. Hampir pasti Pemerintah Indonesia tidak akan berhasil menuntut kembali dana yang terhimpun dalam berbagai yayasan bentukan Soeharto. Lagi pula kalau kita cermati undang-undang tentang yayasan yang sempat dua kali diperbarui dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, tuntutan perdata itu niscaya akan gagal. Undang-undang yayasan yang baru ini memuat rekaan hukum yang melembagakan pembina sebagai pemilik yayasan. Para pengacara pembela Soeharto akan memanfaatkan undang-undang yayasan ini untuk membebaskannya dari tuntutan perdata. Para pembela akan terdiri dari praktisi hukum unggul yang dibayar mahal dan mampu membayar mahal untuk mengalahkan para jaksa yang kalah cerdik dan kalah dana. Tujuan mengadili Soeharto yang terpenting bukan untuk merebut kembali dana, bukan pula untuk balas dendam. Namun untuk menegakkan keadilan dan kebenaran dalam membangun bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang beradab dan berbudaya. Kejahatan Soeharto dan rezimnya yang utama selama berkuasa 32 tahun adalah membiarkan dan memerintahkan tindakan yang bisa digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan. Penculikan dan pembunuhan para penentang kekuasaan, menghukum mati para pengganggu keamanan tanpa peradilan ("petrus"), memenjarakan dan membuang ribuan orang tanpa peradilan, tidak menuntut orang yang melakukan genosida politik (pembunuhan ratusan ribu orang karena perbedaan keyakinan politik), merampas hak sipil kelompok masyarakat dengan melarang penggunaan bahasa dan pengungkapan budaya. Kalau kita mau tumbuh sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, mengungkapkan kejahatan kemanusiaan ini merupakan proses penjernihan, dan pembelajaran sejarah yang harus kita lakukan agar kejahatan semacam ini tidak terulang lagi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Karena itu Soeharto harus di-Pinochet-kan bukan diperdatakan. Jenderal Pinochet, sampai mati dituntut bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya selama berkuasa di Cile. Seperti Jenderal Pinochet, Soeharto harus terus digugat tanggung jawabnya atas terjadinya kejahatan kemanusiaan dalam masa pemerintahannya. Para penguasa sekarang dan di masa datang harus tahu bahwa pelaku kejahatan kemanusiaan harus bertanggung jawab atas perbuatannya, berapa pun usia dan betapa pun keadaan kesehatannya. Bahkan para pelaku yang sudah meninggal pun harus diungkap kejahatannya dan dicatat dalam sejarah kebangsaan kita. Last modified: 25/5/07 ==