* Yayasan Soeharto Dituduh Selewengkan Rp 4 Triliun etc
Koran Tempo - Selasa, 10 Juli 2007

Jakarta - Yayasan Supersemar, yang didirikan mantan presiden 
Soeharto,
diduga menyelewengkan dana lebih dari Rp 4 triliun (US$ 420 juta plus
Rp 185,9 miliar). Hal itu tercantum dalam berkas gugatan yang
didaftarkan Tim Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan kemarin.

"Tergugat I adalah H M. Soeharto, sedangkan Yayasan Supersemar 
menjadi
tergugat II," kata Dachmer Munthe, Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara.
Yoseph Suardi, Direktur Perdata Kejaksaan Agung, menambahkan uang
tersebut adalah dana yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Para tergugat dituduh telah melakukan tindakan melawan hukum dengan
menyelewengkan dana yang dikumpulkan dari pemerintah dan masyarakat.
Yayasan ini menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976 dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333 Tahun 1978 sebagai dasar hukum
pengutipan dana.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan itu, bank pemerintah harus
memberikan 5 persen dari 50 persen keuntungan bersih ke Yayasan
Supersemar. Seharusnya dana itu untuk beasiswa bagi anak kurang 
mampu.
Tapi, "Hanya 15 persen (dana yayasan) yang digunakan untuk bantuan
pendidikan," kata Yoseph.

Dalam gugatan disebutkan sebagian besar dana itu justru digunakan
untuk membiayai perusahaan keluarga Soeharto, di antaranya Sempati
Air, Kiani Kertas, PT Timor Putra Nasional (TPN), dan Goro. Ada juga
aliran dana ke Bank Duta, Nusamba Group, dan perusahaan Pelita.

Kejaksaan menuntut ganti rugi total Rp 15 triliun. Selain itu,
pengacara negara mendaftarkan sejumlah aset Soeharto yang terkait
dengan Supersemar untuk dijadikan sita jaminan, di antaranya gedung
Granadi di Jalan H R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. "Nanti hakim yang
menentukan aset mana yang perlu disita," ujar Alex Sato Bya, Jaksa
Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.

Kuasa hukum Soeharto, Otto Cornelis Kaligis, menyatakan tak gentar
menghadapi gugatan itu. "Kami siap," katanya kepada Tempo.

Sebelumnya, Juan Felix Tampubolon, kuasa hukum Soeharto yang lain,
meyakini gugatan itu akan gugur. Menurut dia, kejaksaan tak percaya
diri karena hanya menggugat satu dari sejumlah yayasan mantan 
penguasa
Orde Baru tersebut. "Gugatan ini mengada-ada."

Dachmer mengatakan kejaksaan baru mengajukan gugatan terhadap satu
yayasan karena kekurangan tenaga. "Yayasan lain sabarlah," katanya.

Dalam situs Soeharto Center disebutkan ada 17 yayasan yang didirikan
penguasa Orde Baru itu, di antaranya Yayasan Dharmais, Supersemar,
Amalbakti Muslim Pancasila, Dana Karya Abadi, Purna Bakti Pertiwi.

Adapun istrinya, Tien Soeharto (almarhum), mendirikan Yayasan Harapan
Kita dan Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Selain itu, ada lagi
Yayasan Ibu Tien Soeharto, yang didirikan putra-putrinya, dan Yayasan
Mangadeg.

Sobari Achmad, Panitera Muda Perdata, yang menerima gugatan ini,
menyatakan pengadilan akan segera menggelar perkara ini. "Paling lama
seminggu (mendatang)," ujarnya. YUDHA SETIAWAN | RINI KUSTIANI |
MUHAMMAD NUR ROCHMI | AGUS SUPRIYANTO | IMRON ROSYID

Koran Tempo - Selasa, 10 Juli 2007
==================
* Soeharto Digugat Perdata
 Kompas - Selasa, 10 Juli 2007

Jaksa pengacara negara dari Kejaksaan Agung, mewakili negara cq
Presiden RI, mendaftarkan gugatan perdata terhadap mantan Presiden
Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Beasiswa Supersemar (tergugat II) 
di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (9/7). Gugatan ini segera
mendapat reaksi dari berbagai pihak.

Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais di Jakarta
kemarin mengatakan, "Niat Jaksa Agung menggugat perdata Soeharto dan
Yayasan Supersemar harus dihargai. Namun, realitas yang ada juga 
harus
dipahami."

Realitas itu, lanjut Amien, antara lain data dan bukti yang ada
mungkin sudah tidak seutuh 10 tahun lalu. Selain itu, mantan Presiden
Soeharto juga sudah uzur. "Untuk itu, ambil jalan tengah saja.
Caranya, apa yang masih bisa diselamatkan, seperti Tapos, diambil 
alih
saja oleh negara dan kemudian tutup buku. Sebab, jika kita tidak
pernah menyelesaikan kasus ini, sebagai bangsa kita juga tidak akan
pernah selesai," ujar Amien.

Direktur Eksekutif Reform Institut Yudi Latief juga mengusulkan
penyelesaian politik. Caranya, pimpinan negara memanggil mereka yang
terlibat dalam kasus ini untuk diajak mengembalikan uang atau harta
yang mereka miliki kepada negara.

Ketika ditanya apakah pengajuan gugatan tersebut hanya untuk
menunjukkan kejaksaan telah bekerja, Wakil Ketua DPR Soetardjo
Soerjogoeritno menjawab, "Anda cukup cerdas membaca situasi."

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita 
di
Jakarta kemarin mengatakan, upaya Kejaksaan Agung mendaftarkan 
gugatan
perdata itu sebagai hal yang sia-sia.

Menurut dia, kasus korupsi Soeharto hanya dapat diungkap jika Jaksa
Agung membuka kembali kasus pidana Soeharto dengan mencabut Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Gedung Granadi

Gugatan didaftarkan ketua tim jaksa pengacara negara Dachamer Munthe
sekitar pukul 13.00 yang diterima panitera muda perdata Sobari 
Achmad.
Gugatan itu menyebutkan ganti rugi materiil sebesar Rp 185 miliar dan
420 juta dollar AS serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.
Disebutkan juga sita jaminan yang dimohonkan oleh penggugat, yakni
tanah dan bangunan Gedung Granadi di Jalan HR Rasuna Said, Kavling
8-9, Jakarta. (idr/MZW/NWO)

Penerima dana Dari Yayasan Supersemar

1. Bank Duta: 125 juta dollar AS (1990), 19 juta dollar AS (1990), 
dan
275 juta dollar AS (1990)
2. PT Sempati Air: Rp 13 miliar (1989-1997)
3. PT Kiani Sakti & PT Kiani Lestari: Rp 150 miliar (1995)
4. PT Kalhold Utama, PT Essam Timber, & PT Tanjung Redep Hutan 
Tanaman
Industri: Rp 12 miliar (1982-1993)
5. Kelompok Usaha Kosgoro: Rp 10 miliar (1993)

Sumber: Kejaksaan Agung

 Kompas - Selasa, 10 Juli 2007
===================
* ICW Menilai Gugatan Perdata Soeharto Lemah
Minggu, 08 Juli 2007 | 18:28 WIB 

TEMPO Interaktif, Jakarta:
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai gugatan perdata terhadap 
mantan presiden Soeharto yang diajukan Kejaksaan Agung memeiliki 
banyak kelemahan. "Kelemahannya ada pada status hukum Soeharto," 
kata Koordinator Bidang Informasi Publik Indonesian Corruption Watch 
Adnan Topan Husodo saat dihubungi Tempo, Minggu (8/7). 

Kelemahan status hukum itu, kata dia, karena sebelumnya telah keluar 
Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto dalam 
kasus pidana. "Surat itu membuat status Soeharto saat ini adalah 
orang yang bersih dari jeratan hukum." 

Oleh karenanya, Kejaksaan Agung seharusnya melanjutkan perkara 
pidana Soeharto, meskipun tidak bisa dihadirkan dalam 
persidangan. "Pengadilan in absentia itu yang paling memungkinkan," 
ujarnya. Adnan menyayangkan sikap kejaksaan karena sudah telanjur 
mengelurkan SKP3 kasus pidana Soeharto pada 11 Mei 2006. 

Pada awal Juni lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan tidak 
akan mencabut SKP3 yang telah dikeluarkan. "Itu (SKP3) kan pidana. 
Sekarang kan (gugatan) perdata. Jadi berbeda," kata Hendarman. 

Menurut Adnan, jika sudah ada status hukum Soeharto dalam perkara 
pidana, maka akan lebih mudah menjeratnya dalam perkara perdata. 
Lagi pula, selama ini belum ada contoh kasus yang memperdatakan 
yayasan dengan tujuan pengembalian aset (asset recovery) atau 
mengganti kerugian negara. 

Adnan juga belum mengetahui apakah dalam Undang-Undang Nomor 21 
Tahun 2001 tentang Yayasan dimungkinkan untuk mengembalikan aset 
atau kerugian negara dalam perkara keperdataan. "Kalau ini berhasil, 
bisa jadi preseden baru dalam bidang hukum," ujarnya. 

Senin besok, Kejaksaan Agung akan mengajukan gugatan perdata 
terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar ke Pengadilan Negeri 
Jakarta Selatan. Kejaksaan menggugat yayasan dan Soeharto senilai Rp 
1,5 triliun beserta bunga sebagai pengganti kerugian materil dan Rp 
10 triliun untuk mengganti kerugian imateriil. Rini Kustiani 

========================
http://www.indomedia.com/bpost/072007/10/depan/utama1.htm
 
Soeharto Selewengkan Rp 4 Triliun

  a.. Yayasan Supersemar Digugat Rp 14 Triliun 
JAKARTA,BPOST - Sebagian dana Yayasan Supersemar yang didirikan 
mantan Presiden Soeharto tidak digunakan untuk kepentingan 
pendidikan. Diindikasikan, dana yang dikumpulkan dari penyisihan 2,5 
persen laba bersih bank-bank pemerintah itu masuk ke kantong 
keluarga dan kroni Soeharto sebesar Rp 4 triliun.

Kejaksaan Agung, Senin (9/7), mendaftarkan gugatan perdata 
penyelewengan dana Supersemar itu ke Pengadilan Negeri Jakarta 
Selatan (Jaksel). Untuk gugatan materiil, Kejagung meminta Soeharto 
dan Yayasan Supersemar membayar uang yang disalahgunakan 
penyalurannya sebesar Rp 4 triliun. Sedangkan gugatan imateriilnya 
sebesar Rp 10 triliun. Jika ditotal, jumlah nilai gugatan sekitar Rp 
14 triliun.

Ketua Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munte yakin gugatan 
tersebut akan dimenangkan Kejagung. "Kita yakin menang. Bukti-bukti 
yang kita bawa kuat," tegas Dachmer usai menyerahkan gugatan.

Keyakinan Dachmer dikuatkan Jaksa Agung Perdata dan Tata Usaha 
Negara (Jamdatun) Kejagung, Alex Sato Bya. "Dokumen-dokumen asli itu 
ada. Dan itu menguatkan semua gugatan kita," tegas Alex.

Baik Alex dan Dachmer menegaskan, dana Yayasan Supersemar mengalir 
ke keluarga dan kroni Soeharto. "Ada yang mengalir ke Nusamba 
(perusahaan milik kroninya) dan Kosgoro," terang Alex.

Menurut Alex, untuk memperkuat gugatan ini, Kejagung telah 
mengundang sejumlah pihak untuk dimintai keterangan. "Saya sudah 
mengundang Ir Suhud dan bekas Menpora Hayono Isman," ujarnya.

Alex menjelaskan tim JPN telah memperlihatkan gugatan ini ke Jaksa 
Agung. Hendarman Supandji pun merasa puas dengan gugatan yang telah 
disusun tim JPN sehingga pendaftaran dapat dilakukan.

"Jadi beliau sudah puas dan tidak ada yang direvisi. Sehingga bisa 
didaftarkan," tuturnya.

Sia-sia

Tim JPN boleh optimis menang, tapi tidak bagi kubu Soeharto. "Itu 
upaya yang sisa-sia. Buang-buang waktu, tenaga dan pikiran serta 
uang," tegas kuasa hukum Soeharto Juan Felix Tampubolon.

Bakal kandasnya gugatan tersebut, menurut Felix, karena Kejaksaan 
hanya menukar guling dari dakwaan pidana menjadi gugatan perdata. 

"Dulu kasus itu didakwa pidana dengan dakwaan korupsi. Tapi sekarang 
digugat secara perdata yang mengambil secara guling (mentah-mentah) 
dari dakwaan pidana," lanjut Felix.

Diakui Felix, dakwaan pidana tidak bisa dijadikan bahan untuk 
menggugat secara perdata. "Dasar hukumnya tidak ada, karena aspek 
hukumnya juga berbeda. Ada kepentingan politik dibalik gugatan itu," 
tegasnya.

Felix melihat, ada keraguan Kejaksaan dalam mengajukan gugatan 
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari hanya Yayasan Supersemar 
saja yang digugat lebih dulu. Padahal, kalau Kejaksaan yakin dengan 
gugatan perdatanya, seharusnya tujuh yayasan digugat sekaligus. 

"Gugatannya saja ragu-ragu, ya kita optimis menang. Kita siap 
menghadapinya," lanjutnya. 

Susah Diselesaikan 

Gugatan perdata ini disambut dingin oleh pengamat politik dari 
Universitas Paramadina, Yudi Latif. Menurutnya, kasus Soeharto ini 
akan susah diselesaikan secara hukum.

"Proses hukum akan susah, karena memakan waktu lama dan belum tentu 
bisa dibuktikan, apalagi, orang sudah bisa memproteksi diri dari 
hukum," ujar Yudi.

Yudi justru melihat upaya penyelesaikan kasus Soeharto ada motif 
politik, karena tidak merupakan gerakan integral untuk menyelesaikan 
secara tuntas isu-isu masa lalu.

"Kalau motifnya seperti itu, maka bisa diselesaikan di tengah jalan. 
Bisa terhapus oleh isu yang lebih penting dan bisa juga karena 
adanya 'deal-deal' bawah tangan," katanya.

Tokoh politik Amien Rais juga mengingatkan hal yang sama. Ia meminta 
Kejagung selain melihat penegakan hukum juga memperhatikan realitas 
saat ini.

"Tuntutannya makin samar dan data-datanya telah mengalami banyak 
erosi," ujar Amien. 

Ia menambahkan kondisi Soeharto saat ini sudah uzur dengan ingatan 
yang sangat lemah sehingga sulit membantu dalam proses pengusutan 
hukum.

Amien juga setuju bahwa penegakan hukum dalam pengusutan kasus 
Supersemar dan mantan presiden Soeharto harus tetap diselesaikan. 
Karena itu, ia mengingatkan Kejaksaan Agung harus memiliki dasar 
tuntutan yang kuat dan data-data yang mendukung.

Lebih jauh, Amien menambahkan saat ini yang paling penting adalah 
pengembalian aset-ase negara yang telah diselewengkan Soeharto 
melalui Yayasan Supersemar.

"Aset-aset itu harus diselamatkan demi peningkatan kesejahteraan 
masyarakat. Karena sekarang yang paling utama adalah masalah 
kemiskinan yang dihadapi rakyat Indonesia," tegasnya.

+++++++++++++++++++++++++++++++++

http://www.indomedia.com/bpost/072007/10/depan/utama2.htm

Rumah Cendana Batal Disita

RUMAH mantan Presiden Soeharto di Jalan Cendana Nomor 8, Menteng, 
Jakarta Pusat batal disita. Kejagung, selaku Jaksa Pengacara Negara 
(JPN), tidak memasukkan rumah asri yang didiami mantan penguasa Orde 
Baru tersebut ke dalam daftar sita jaminan pada surat gugatan yang 
didaftarkan ke PN Jakarta Selatan, Senin (9/7).

Satu-satunya aset yang dimasukkan dalam daftar sita jaminan adalah 
gedung Granadi di Jalan Rasuna Said Kav 7-8, Jakarta Selatan. Gedung 
saat ini digunakan untuk kantor yayasan-yayasan yang didirikan 
Soeharto termasuk Supersemar sekaligus kantor beberapa perusahaan 
Tommy dan keluarganya yakni Humpuss Grup.

Rencana untuk menyita rumah Cendana sebelumnya digembar-gemborkan 
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Alex Sato 
Bya dan Ketua tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) Dachmer Munte. 

Kedua pucuk pimpinan dalam gugatan Soeharto ini sebelumnya 
mengatakan, rumah di Jalan Cendana Nomor 8, Menteng tersersebut 
diduga diperoleh dari hasil korupsi Yayasan Supersemar. 

Bahkan, Alex mengatakan, aliran dana Supersemar sebagian digunakan 
untuk membeli rumah asri yang sampai sekarang menjadi kawasan elit 
di tengah kota Jakarta.

Dachmer yang diklarifikasi perihal tidak dimasukkannya rumah Cendana 
tersebut mengelak menjawab. "Lho, kok Anda tahu. Kalau soal isi 
gugatan dan sita jaminan, itu nanti di persidangan saja. Itu 
sifatnya private. Baru menjadi publik setelah di sidangkan," 
kelitnya. 

Dachmer menjelaskan, gugatan perdata yang diajukan Kejagung 
tujuannya adalah untuk mengembalikan keuangan negara yang diduga 
dikorupsi Soeharto dan Yayasan Supersemar. Oleh karena itu, jika 
dalam masa mediasi, yakni sebelum persidangan dimulai, terjadi 
kesepakatan pihak Soeharto dan Yayasan Supersemar bersedia membayar 
gugatan sekitar Rp 4 triliun untuk gugatan materiil dan Rp 10 
triliun untuk gugatan imateriil, maka persidangan tidak dilanjutkan. 

Namun seandainya persidangan nanti memutuskan gugatan Kejagung 
diterima, maka Soeharto dan Yayasan Supersemar wajib membayar 
senilai gugatan yang dikabulkan majelis hakim. 

"Kalau sampai batas waktu pelunasan belum juga lunas, maka anak dan 
keluarga tergugat (Soeharto) bisa dikenakan untuk melunasi," jelas 
Kapuspenkum Kejagung Salman Maryadi saat mengelar jumpa pers bersama 
Dachmer. J


Kirim email ke