* Yusril Ihza Membantah Kompas - Sabtu, 07 April 2007 Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, Kamis (5/4), membantah dirinya melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dengan membuka rekening saat menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Rekening itu yang dipakai untuk menampung pencairan uang yang diduga milik Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto di Banque Nationale de Paris and Paribas (BNP Paribas) cabang London, Inggris. Ia juga membantah kalau rekening itu dibuka oleh firma hukumnya, Ihza&Ihza. Rekening itu justru disebutnya dibuka oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. "Saya tak ikut-ikutan buka rekening. Itu zamannya Pak Hamid. Bukan zaman saya," ujar Yusril kepada Kompas di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta. Menurut Yusril, yang dia lakukan hanya memberikan pendapat hukum atas pertanyaan BNP Paribas yang menanyakan adanya keterkaitan masalah hukum dengan uang Tommy Soeharto yang ada di bank itu. Pendapat hukum itu disampaikan secara tertulis dalam bahasa Inggris kepada BNP Paribas, mengingat uang Tommy Soeharto yang disimpan Motor Bike Internasional Ltd di BNP Paribas. "Saya menjawab tertulis pertanyaan BNB Paribas setelah mereka mengirim surat dan menanyakan kepada Depkeh dan HAM zaman saya. Saya menjawab pertanyaan BNP Paribas karena saya mempunyai kewenangan itu berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PR.07.10 Tahun 2001," kata Yusril sambil menunjukkan suratnya ke BNP Paribas tertanggal 4 Juni 2004 dan kepmen tersebut. Isi pendapat hukum itu, antara lain, menjelaskan, uang yang diduga milik Tommy Soeharto itu tak terkait dengan putusan pengadilan apa pun yang bersifat mengikat dan binding. Sebelumnya, BNP Paribas menanyakan apakah uang Tommy Soeharto di Motor Bike Internasional Ltd merupakan pencucian uang yang disengketakan di pengadilan Indonesia. Tentang pencairan uang tersebut, Yusril menambahkan, pada 1 Maret 2005 ada surat yang ditulis Abdulrahman selaku Direktur Motor Bike Internasional Ltd agar membuka rekening untuk menampung uang Tommy Soeharto dari BNP Paribas. "Uang yang akan dicairkan itu, BNP Paribas berkomunikasi dengan Abdulrahman. Surat itu dikirim 1 Maret 2005. Saya sudah bukan lagi Menteri Kehakiman. Seolah-olah saya buka rekening, padahal tidak. Bahwa masalah itu berlanjut sampai ke zaman Hamid, itu yang terjadi," ungkapnya. Yusril pun menyatakan, sebagai menteri, Hamid memang tak perlu bertanya kepada dirinya. "Bisa saja dia meneruskan kebijakan itu, kalau dia setuju. Tetapi, kalau dia tidak setuju, bisa saja dia batalkan," ujar Yusril lagi. Ditanya mengapa ia bersedia memberikan pendapat hukum atas uang yang diduga milik Tommy Soeharto itu, Yusril menyatakan, negara harus memberikan perlindungan kepada siapa pun warga negaranya yang meminta pertolongan. "Kalau ada warga negara datang ke departemen dan meminta pertolongan, masak tak dibantu. Waktu itu sebetulnya juga bukan uang Tommy, tetapi uang Motor Bike Internasional Ltd. Saya tahu belakangan jika itu uang Tommy," katanya. (har) Sumber: Kompas - Sabtu, 07 April 2007 ========================= * Harta Soeharto Bisa Disita Sebelum Proses Pengadilan Koran Tempo - Sabtu, 07 April 2007 JAKARTA -- Ahli hukum administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan pemerintah bisa menyita harta mantan presiden Soeharto sebelum proses pengadilan berlangsung. Menurut dia, penyitaan perlu dilakukan untuk mencegah harta dilarikan. "Ini era koruptor. Sekali menjentikkan jari, harta bisa lari. Kenapa harus menunggu proses pengadilan?" ujarnya saat dihubungi kemarin. Apalagi, kata dia, penyidikan yang dilakukan aparat disertai dengan bukti awal yang kuat. "Selama bukti awal cukup, sita dulu hartanya. Bersalah atau tidaknya baru dibuktikan di pengadilan dengan menggunakan asas praduga tak bersalah," kata dia. Pemerintah berencana mengambil alih aset tujuh yayasan yang didirikan Soeharto. Menurut Direktur Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao pada Selasa lalu, pengambilalihan aset dilakukan karena pendiriannya menggunakan fasilitas negara (Koran Tempo 4 April). Namun, pengacara keluarga Soeharto, O.C. Kaligis, menyatakan pemerintah harus terlebih dulu menggugat sebelum mengambil alih. Zainal mengatakan penyitaan yang dilakukan negara bukanlah pengambilalihan harta Soeharto. Dia menjelaskan, penyitaan dilakukan untuk menyelidiki suatu harta menjadi milik negara atau milik pribadi. Sedangkan pengambilalihan dilakukan setelah proses pengadilan. Artinya, kata Zainal, hak-hak Soeharto atas harta yang disita tak berkurang. "Kalau di pengadilan Soeharto tidak terbukti bersalah, hartanya dikembalikan," ujarnya. Di Amerika, Zainal mencontohkan, sebelum proses pengadilan polisi berhak menyita harta seseorang setelah ada persetujuan dari pengadilan setempat. Proses itu dilakukan karena Amerika mengedepankan hak individu. Sedangkan di Indonesia, yang menyeimbangkan hak individu dengan hak komunal, menurut Zainal hal serupa bisa diterapkan. Sementara itu, Kejaksaan Agung menyatakan berkas gugatan perdata kasus yayasan yang dipimpin Soeharto sedang dirampungkan. "Dalam tahap finalisasi," ujar Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin seusai rapat koordinasi terbatas di kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis lalu. Muchtar mengatakan gugatan perdata ini sulit dan kompleks. Sebab, kata dia, kejaksaan belum selesai menuntaskan pencarian aset Soeharto. "Yang rumit, ya, mencari itu. Apalagi dugaan korupsinya besar, mencapai triliunan rupiah," kata dia. Menurut Muchtar, tim di bawah koordinasi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara masih menyiapkan berkas-berkas tersebut. Kejaksaan, kata bekas jaksa penuntut kasus pidana Soeharto itu, masih menginventarisasi aset yayasan Soeharto. PRAMONO | DIAN YULIASTUTI Sumber: Koran Tempo - Sabtu, 07 April 2007