Ini adalah pertanyaan-pertanyaan para pengunjung blog saya terkait
dengan polemik hak asuh anak

1. Sebenarnya dalam hukum, pertimbangan apa saja yang digunakan dalam
memutuskan hak asuh anak? Apa pasal-pasal yang digunakan, dan apakah
ada pertimbangan lain di luar aturan baku yang turut digunakan hakim
dalam memutuskan hak asuh ini?

Sebelum menjelaskan pertanyaan ada baiknya diseragamkan tentang istilah
“hak asuh anak” dengan istilah “KUASA ASUH”. Istilah “hak asuh anak”
secara hukum sesungguhnya merujuk pada pengertian kekuasaan seseorang
atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, untuk
untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan
kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu
menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Sedangkan pengertian istilah
“kuasa asuh” adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

Dari pengertian istilah diatas, kiranya memang sulit untuk memahami dan
membedakan kedua istilah tersebut tetapi hal ini perlu dijelaskan
karena kalau kita bicara hak asuh anak, itu artinya kita sedang
berbicara tentang anak terlantar dalam pengertian hak seorang anak yang
tidak memiliki jaminan untuk tumbuh kembang secara wajar karena orang
tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis.
Dalam perceraian, yang kerap menjadi masalah bukan “perebutan hak asuh
anak” tetapi masalah “perebutan kuasa asuh anak”.

Dalam memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dalam perkara
perceraian, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi
hakim untuk memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu. Jadi tidak
heran banyak permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik
didalam persidangan maupun diluar persidangan. Kalaupun ada,
satu-satunya aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam memutuskan
hak asuh anak ada dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan :

“Dalam hal terjadi perceraian :

a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim
mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang
terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang
tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua
tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara
psikologis, materi maupun non materi. Singkat kata, diletakkan pada
kebijakan hakim dan sejauh mana hakim dapat mempertimbangkan
fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan.

2. Dapatkah dijelaskan mengenai aturan dasar dan prinsip-prinsip dalam
pembagian hak asuh anak, dalam kasus perceraian yang paling umum
terjadi? (Misalnya, pembagian waktu asuh dan prosedurnya)

Dalam memutuskan “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian, aturan
hukum yang dipakai adalah :

* Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut

* Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : (a) Baik ibu atau
bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

* Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan
kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau
kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan
pengadilan.

* Pasal 31 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat
ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau
melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk
itu.

Pengajuan permohonan kuasa asuh anak dapat diajukan sekaligus dalam
permohonan cerai atau diajukan terpisah dengan permohonan cerai kepada
Pengadilan Negeri/ Agama. Perlu diingat, berdasarkan aturan hukumnya,
Penetapan pengadilan tentang kuasa asuh anak tidak memutuskan hubungan
darah antara anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan
kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya. Hal ini
sebagaimana dimaksud ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :

* Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

* Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3)
sekurang-kurangnya memuat ketentuan :

a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup
anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan

Oleh karena penetapan pengadilan tidak memutus hubungan darah antara
anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban
orang tua kepada si anak maka tidak ada alasan salah satu orang tua
menolak kunjungan orang tua yang lain untuk bertemu dengan si anak.
Praktek hukumnya, pembagian waktu berkunjung atau waktu bercengkrama
orang tua dan si anak dilakukan berdasarkan kesepakatan diantara kedua
orang tua.

3. Ketika seorang ibu tidak mendapatkan hak asuh anaknya, apa yang
kira-kira dapat ia lakukan untuk banding? Dasar apakah yang harus dia
usahakan dalam mengajukan ketidaksetujuannya terhadap keputusan hakim?

Banding adalah upaya hukum atas ketidakpuasan salah satu pihak yang
berperkara terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Perlu dipahami,
banding bukan peradilan perulangan. Pemeriksaan perkara pada Peradilan
tingkat banding, bukan pemeriksaan ulang atas perkara. Pemeriksaan
perkara yang dilakukan Peradilan tingkat banding terbatas ada tidaknya
kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada tidaknya
kurang lengkap pemeriksaan yang dilakukan pengadilan tingkat pertama.

Jadi sesuai dengan kewenangan Pemeriksaan perkara pada Peradilan
tingkat banding, maka ketika seorang ibu yang tidak mendapatkan “kuasa
asuh anak”, ingin mengajukan banding seharusnya terlebih dahulu
memahami bagian mana dari pertimbangan hakim pengadilan tingkat pertama
yang tidak memperhatikan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang
tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua
tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara
psikologis, materi maupun non materi.

4. Biasanya faktor apa saja yang menyebabkan seorang ibu kalah di
pengadilan terkait perebutan hak asuh anak?

Seperti yang dijelaskan dalam jawaban No. 1, sampai saat ini belum ada
aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang
berhak atas kuasa asuh anak. Karena tiadanya aturan yang jelas maka
pada umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan putusannya
berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan
mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak
termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal
terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non
materi. Jadi kunci menang kalahnya seorang ibu dalam perebutan “kuasa
asuh anak”, asumsi saya berdasarkan pengalaman praktik beracara,
kurangnya argumentasi hukum si ibu untuk menyakinkan hakim tentang pola
pengasuhan yang dilakukannya kepada si anak termasuk dalam hal ini
perilaku dari orang tua tersebut (seperti si Ibu tidak bekerja sampai
larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak dibandingkan
kesibukkan diluar rumah, dsb) serta hal-hal terkait kepentingan si anak
baik secara psikologis, materi maupun non materi.

5. Bila belum ada putusan hukum, namun seorang ayah melarang anak untuk
bertemu ibunya, apa ada sangsi hukumnya (pasal berapa dan bagaimana
implementasinya)?

Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan
sebagai berikut:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak
lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:

a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku
dikenakan pemberatan hukuman.

Dikaitkan dengan pertanyaan, bila belum ada putusan hukum, namun
seorang ayah melarang anak untuk bertemu ibunya, jelas dan tegas
tindakan larangan tersebut dapat dianggap sebgai bentuk kekerasan
terhadap mental anak dan larangan si ayah tersebut dapat diindikasikan
bahwa si ayah selaku orang tua telah mengabaikan dengan sengaja
kewajibannya dan larangan tersebut juga tergolong sebagai perbuatan
eksploitasi anak untuk memperoleh keuntungan pribadi si ayah karena
dengan demikian secara tidak langsung telah memutus hubungan anak
dengan ibunya.

Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf (c) UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terdapat penjelasan sebagai berikut :

“Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan
dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak
sebagaimana mestinya”.

Tindakan seorang ayah melarang anak untuk bertemu ibunya jelas
merupakan Perlakuan penelantaran anak karena dengan tindakan larangan
tersebut si ayah telah mengabaikan kepentingan si anak yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril.
Untuk itu, si ayah dapat dijerat dengan pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang menyatakan :

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit
atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sayangnya, dalam praktik hukumnya, upaya orang tua melaporkan tindakan
pelarangan anak untuk bertemu dengn orang tuanya kepada kepolisian
banyak mendapatkan hambatan dari pihak kepolisian. Dengan alasan bahwa
itu adalah urusan rumah tangga, kepolisian tidak merespon laporan
tersebut atau jika ada respon positif, permasalahan tersebut banyak
diselesaikan secara kekeluargaan.

6. Bila hal tersebut terjadi, usaha apa yang dapat dilakukan seorang
ibu?

Tentunya melaporkan masalah tersebut kepihak kepolisian terdekat yang
wilayahnya mencakup keberadaan si anak.

7. Bila sudah ada putusan hukum yang mengatur pembagian waktu asuh bagi
ayah maupun ibu, tapi si ibu tetap tidak diperbolehkan bertemu anaknya,
bagaimana prosedur untuk meminta perlindungan hukum? Usaha apa yang
dapat dilakukan?

Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir”.

Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa, “Pemisahan yang dimaksud dalam
ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”.
Jadi, meskipun sudah ada ketentuan hukumnya yang menyatakan salah satu
orang tua sebagai pemegang “kuasa asuh anak”, tetap tidak ada alasan
untuk melarang orang tua lain bertemu dengan anaknya.

Bahwa kemudian tetap ada larangan, tentunya pihak yang melarang
tersebut dapat diadukan ke pihak berwajib berdasarkan
ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(lihat jawaban soal No. 7)

8. Faktor apa saja yang biasanya dipertimbangkan dalam mengatur masalah
limitasi waktu asuh?

Sampai saat ini, berdasarkan pengalaman beracara di pengadilan atas
kasus perebutan kuasa asuh anak, masalah limitasi waktu asuh tidak
menjadi prioritas hakim untuk memutus permohonan kuasa asuh anak.
Umumnya Pengadilan hanya menetapkan bahwa salah satu orang tua sebagai
pemegang kuasa asuh anak sampai si anak mencapai usia dewasa. Jadi saya
belum menemukan masalah limitasi waktu asuh menjadi suatu permasalahan
tersendiri dalam kasus perebutan kuasa asuh anak.

9. Bagaimana prosedurnya bila ingin mengajukan keberatan terhadap
keputusan limitasi waktu tsb?

Bahwa memang jika ada keputusan Pengadilan tentang limitasi waktu asuh
dan ada pihak yang merasa keberatan dan atau merasa dirugikan, maka
pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding/kasasi/ permohonan
peninjauan kembali.

10. Apakah hak aspirasi anak dapat berpengaruh terhadap putusan hak
asuh anak, dan bilamana terjadi?

Konsepsi perlindungan anak yang sebagaimana yang diatur UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak adalah konsepsi perlindungan anak yang
utuh, menyeluruh, dan komprehensif asas-asas :

a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Jadi dalam perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak, Hakim
sebelum memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dapat
meminta pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak terlepas dari
kewajiban Hakim untuk memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya
dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan.

Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :

"Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan"

Berdasarkan ketentuan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 diatas maka jelas
dan tegas Hakim dapat meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum
“kuasa asuh anak”.

Untuk meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh
anak”, tentunya Hakim harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan
usia si anak.

11. Adakah kasus tertentu di mana seorang ibu memang tidak
diperkenankan bertemu anaknya? Situasi dan kondisi apa saja yang
biasanya dapat menyebakan hal itu?

Sepanjang berkarier sebagai Advokat, saya banyak dan kerap menemukan
masalah seorang ibu memang tidak diperkenankan bertemu anaknya. Situasi
dan kondisi yang biasanya menyebabkan hal itu, umumnya timbul dari
kedua belah pihak (ayah atau ibu) dimana satu sama lain tidak ada lagi
rasa empati antara satu sama lain terkait dengan kepentingan si anak.
Kedua belah pihak (ayah atau ibu), hanya bicara dan bersitegang masalah
kepentingan anak berdasarkan versinya masing-masing, tidak sekalipun
bicara kepentingan anak berdasarkan versinya si anak.

Yang lebih menyakitkan lagi, kerap ditemukan upaya-upaya “pengaruh
mempengaruhi” diantara kedua belah pihak (ayah atau ibu) dengan
menceritakan kejelekkan masing-masing pihak kepada si anak sehingga
tertanam di pemikairan anak citra buruk salah satu orang tuanya.

12. Apakah Kompilasi Hukum Islam (KHI) sering digunakan dalam peradilan
hak asuh anak? Pada kasus seperti saja biasanya KHI dipergunakan?

Berdasarkan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 jo.
Keputusan Mentri Agama No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksaan Intruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991, kompilasi hukum Islam adalah salah satu
dasar hukum selain aturan hukum yang lain bagi Pengadilan Agama memutus
perkara hukum diantara orang-orang yang beragama Islam. Jadi daya
berlakunya kompilasi hukum Islam hanya terbatas di Pengadilan Agama.

Menjawab pertanyaan, Apakah Kompilasi Hukum Islam (KHI) sering
digunakan dalam peradilan hak asuh anak ? dapat dipastikan jawabannya
adalah, Ya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sering digunakan dalam
peradilan hak asuh anak mengingat Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
satu-satunya aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam memutuskan
hak asuh anak karena ada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan :

“Dalam hal terjadi perceraian :

a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

13. Dapatkah anda jelaskan mengenai konsep Hak Adonah dalam KHI? Apakah
ini dapat membantu seorang ibu mendapatkan hak asuh anaknya?

Hak hadhonah adalah hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Hak hadhonah ini diatur dalam
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang memberikan hak bagi Ibu atas anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun. Konsep Hak Adonah
dalam KHI sesungguhnya lebih didasarkan pada kepentingan psikologis si
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, yang pada
umumnya, masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

Dengan adanya konsep Hak Adonah dalam KHI tentunya dapat membantu
seorang ibu untuk mendapatkan hak asuh anaknya. Namun demikian
ketentuan ini tidak berlaku mutlak karena dalam Pasal 229 Kompilasi
Hukum Islam ditegaskan bahwasanya Hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan
sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jadi hakim harus
mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah si Ibu layak mendapatkan hak
untuk mengasuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

Jadi didasarkan pengertiannya, maka konsep Hak hadhonah dalam KHI tidak
jauh berbeda dengan konsep perlindungan sebaimana diatur dalam
ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku umum yakni tetap harus
memperhatikan perilaku dari orang tua tersebut (seperti si Ibu tdk
bekerja smpai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak
dibandingkan kesibukkan diluar rumah, dsb) serta hal-hal terkait
kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.

--
Posting oleh NM. WAHYU KUNCORO, SH ke ADVOKATKU pada 2/04/2010 07:49:00
PM

Kirim email ke