====================================== THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [ Seri : "Membangun Ekonomi Rakyat Indonesia" ] ======================================= [Ec_Q] BANK KAUM MISKIN Belajar dari : Kisah Muhammad Yunus dan Grameen Bank, dalam Memerangi Kemiskinan Oleh : Muhammad Yunus Peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2006 Bersama Alan Jolis 07. Jalan Boxirhat No. 20, Chittagong CHITTAGONG, pelabuhan terbesar di Bangladesh, adalah sebuah kota perniagaan berpenduduk 3 juta jiwa. Saya dibesarkan di Jalan Boxirhat, di jantung kawasan niaga lama Chittagong. Jalan Boxirhat adalah jalan satu arah yang sangat sibuk dan lebarnya hanya muat dilalui satu truk. Jalan ini menghubungkan bandar sungai Chaktai dengan pasar hasil bumi utama. Jalan tempat kami tinggal terletak di kawasan perajin perhiasan Sonapotti. Kami tinggal di lantai atas bangunan nomor 20, sebuah rumah kecil bertingkat dua. Di lantai dasar terletak toko sekaligus bengkel perhiasan ayah saya. Saat kecil, dunia saya dipenuhi dengan bising dan bau asap kendaraan dari jalanan. Truk-truk dan gerobak-gerobak selalu memadati jalan kami, dan sepanjang hari saya mendengar supir-supir saling berbantah, berteriak, dan membunyikan keras-keras klakson mereka. Suasananya seperti karnaval sepanjang masa. Suara lalu lalang pedagang asongan, pengamen, dan pengemis surut menjelang tengah malam, berganti dengan suara palu bertalu, gesekan kikir, dan gosokan pemoles dan bengkel perhiasan ayah saya. Di lantai dua, hanya ada sebuah dapur dan empat ruangan, yakni ruang tidur ayah ibu, ruang radio, ruang keluarga, dan ruang makan, tempat tikar dibentang tiga kali sehari saat kami makan sekeluarga. Tempat kami bermain terletak di atap rumah yang datar. Ketika kami bosan bermain, kami seringkali menghabiskan waktu dengan menonton pelanggan di lantai bawah atau perajin emas bekerja di kamar belakang, atau kami hanya memandangi hiruk pikuk jalan yang berganti tiada henti. Jalan Boxirhat Nornor 20 adalah lokasi bisnis ayah saya yang kedua di Chittagong. Dia meninggalkan tempat dagangnya yang pertama karena hancur dibom Jepang. Tahun 1943 Jepang menyerbu negara tetangga Burma dan mengancarn seluruh wilayah India. Meski demikian, pertempuran udara di Chittagong tidak pernah berlangsung intensif. Alih-alih bom, pesawat Jepang justru paling sering menebarkan selebaran. Dari atap rumah kami suka memandangi selebaran itu berharnburan melayang-layang ke seantero kota seperti kupu-kupu. Namun, saat sebuah bom Jepang menghancurkan dinding rumah kami yang kedua, ayah buru-buru memindahkan kami ketempat aman di desa keluarganya, Bathua, tempat saya dilahirkan pada awal perang. Bathua berjarak sekitar 11 km dan Chittagong. Kakek saya memiliki tanah di sana, dan sebagian besar pendapatannya berasal dari pertanian, meski ia tertarik pada perdagangan permata. Dula Mia, putra sulungnya (dari ayah saya) juga menekuni usaha permata dan dengan cepat menjadi perajin dan pedagang lokal ornamen permata ternama di kalangan pelanggan Muslim. Ayah halus perasaannya. Beliau jarang menghukum kami, meski ia sangat ketat mewajibkan kami belajar. Beliau punya tiga brankas yang masing-masing tingginya 120 cm, ditempel ke dinding belakang etalase toko. Brankasnya dibiarkan terbuka sepanjang waktu buka toko. Karena di balik pintunya yang berat ditempeli cermin dan rak etalase, brankas itu tidak nampak seperti brankas sama sekali dan lebih mirip dekorasi saja. Sebelum shalat Isya saat tutup toko, ayah akan mendorong rak-rak brankas hingga tertutup. Sampai hari ini saya akan mengenali dent engsel yang tak diminyaki itu dan suara klik keenam kunci brankasnya. Suara-suara ini memberi cukup kesempatan buat kakak saya. Salam dan saya menghentikan kegiatan apapun yang tengah kami lakukan dan meloncat balik ke buku kami. Asalkan melihat kami sedang duduk membaca, ayah akan gembira dan berkata, Bagus, anak-anak yang baik. Ia kemudian menuju masjid untuk shalat. Ayah saya adalah seorang Muslim yang saleh sepanjang hayatnya. Beliau telah tiga kali naik haji ke Mekah. Ayah biasa berpakaian putih-putih, dengan sandal putih, pantalon putih, jubah putih, dan peci haji putih. Kacamata segi empat yang gagangnya terbuat dari kulit kura-kura serta jenggotnya yang kelabu membuatnya tampak seperti seorang intelektual, meski beliau tidak pernah menjadi kutu buku. Keluarga yang besar dan keberhasilan usahanya membuatnya tidak punya waktu atau kemauan untuk memeriksa pelajaran kami. Malahan, beliau membagi hidupnya untuk kerja, ibadah, dan keluarga. Kebalikan dari ayah, ibu saya Sofia Khatun adalah seorang perempuan yang keras dan tegas. Beliaulah penegak disiplin dalam keluarga, dan sekali beliau menggigit bibir bawahnya, kami paham bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah pikirannya. Ibu ingin kami semua sedisiplin dia. Ibulah mungkin yang paling kuat mempengaruhi saya. Penuh rasa iba dan baik hati, ibu selalu memberi uang pada setiap kerabat miskin yang mengunjungi kami dari desa yang jauh. Perhatiannya pada kaum miskin dan tak beruntunglah yang membantu saya menemukan minat pada ilmu ekonomi dan perubahan sosial. Ibu berasal dari sebuah keluarga saudagar kecil yang berjual beli barang-barang dari Burma. Ayahnya memiliki tanah yang sebagian besar disewakan. Kakek menghabiskan sebagian besar waktunya dengan membaca, mencatat tarikh, dan makan enak. Yang terakhir inilah yang membuatnya sangat disayangi cucu-cucunya. Di tahun-tahun awal itu, saya ingat ibu sering mengenakan sari berwarna cerah dengan pita keemasan di sekeliling lipitannya. Rambut hitamnya selalu disisir membentuk sanggul dan dibelah agak ke kanan di bagian depannya. Saya sangat menyayanginya dan tentunya yang paling sering menarik-narik kain sarinya mencari perhatian. Yang paling saya ingat adalah cerita-cerita dan tembang-tembangnya, seperti cerita tragis hari Karbala. Setiap tahun, selama bulan Muharram saat kaum Muslim memperingati hari Karbala saya ingat pertanyaan saya pada ibu, Ibu, mengapa langit kemerahan di sisi rumah yang ini dan biru di sisi sebelah sana? Biru untuk Hassan, jawabnya, dan merah untuk Hussein. Siapa itu Hassan dan Hussein? Merekalah cucu-cucu nabi kita Shallallahu Alaihi wa Sallam, permata kedua mata sucinya. Dan ketika selesai menceritakan tragedi pembunuhan itu, Ibu akan menunjuk ke langit maghrib dan menjelaskan bahwa warna biru pada salah satu sisi rumah adalah racun yang membunuh Hassan dan merah pada sisi satunya adalah darah Hussein yang terbunuh. Bagi saya sebagai seorang anak, penggambarannya soal tragedi ini tak kurang mengharukan dibanding epik Bengali kami yang tersohor Bishad Shindhu (Samudera Kesedihan). Ibu mendominasi masa kanak-kanak saya. Kapanpun ibu menggoreng kue pitha di dapur, kami akan merubungi dan berebut mencicipinya. Segera setelah kue pitha pertama diangkat dari penggorengan dan ditiupi agar dingin, saya akan merebutnya dari ibu. Itu karena kedudukan istimewa saya dalam keluarga sebagai kepala pencicip masakan ibu. Ibu juga mengerjakan beberapa perhiasan yang dijual di toko kami. Beliau sering memberi sentuhan akhir pada giwang dan kalung dengan menambahkan sedikit pita beludru atau pompom wol atau dengan melekatkan pita warna-warni yang dikelabang. Saya memandanginya saat lengannya yang kurus dan panjang mengerjakan ornamen cantik itu. Uang yang didapat dari pekerjaan itulah yang diberikannya kepada kerabat, teman, atau tetangga yang datang meminta bantuan. Ibu punya 14 anak, 5 di antaranya meninggal saat masih kecil. Kakak perempuan saya Momtaz, 8 tahun lebih tua, menikah saat masih remaja. Kami sering mengunjungi dia di rumah barunya di pinggiran kota, dan ia menyuguhi kami makanan berlimpah ruah. Salam, 3 tahun lebih tua dari saya, adalah saudara terdekat saya. Kami bermain perang-perangan menirukan suara senapan mesin Jepang. Saat arah angin tepat, kami membuat layangan warna warni dari kertas bentuk wajik dan batang bambu. Sekali waktu, ayah membeli beberapa selongsong mortir bekas Jepang di pasar dan kami bantu Ibu mengubahnya menjadi pot tanaman di atap rumah dengan memberdirikannya di ujungnya yang melebar. Salam dan saya, bersama semua anak laki-laki lain dan perkampungan kelas buruh kami, bersekolah di SD Lamar Bazar yang bebas biaya dan lokasinya dekat rumah. Sekolah-sekolah Bengali menanamkan nilai-nilai baik bagi anak-anak. Mereka tidak hanya berupaya mendorong prestasi akademis tetapi juga mengajarkan kebanggaan pada bangsa, pentingnya keyakinan spiritual, kekaguman pada seni, musik dan puisi, serta menghargai pemerintah dan disiplin. Di SD Lamar Bazar, setiap kelas berisi kurang lebih 40 siswa. Murid lelaki dan perempuan di SD dan SMP dipisah. Kami semua bahkan guru-guru kami pun berbicara dalam dialek Chittagong. Murid-murid terbaik bisa mendapatkan beasiswa dan sering diminta berlomba dalam ujian tingkat nasional. Namun, banyak teman saya yang tak sampai lama sudah putus sekolah. Salam dan saya melahap setiap buku dan majalah yang bisa kami peroleh. Cerita detektif adalah bacaan favorit saya. Saya bahkan mengarang cerita detektif saat berumur 12 tahun. Tapi tidak mudah memuaskan dahaga baca kami. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Salam dan saya belajar berimprovisasi, membeli, meminjam, dan mencuri. Misalnya, majalah anak-anak kegemaran kami Shuktara menyelenggarakan sayembara tahunan. Pemenangnya mendapat langganan gratis dan namanya dicantumkan di majalah. Secara acak saya pilih saja nama seorang pemenang dan menulis surat ke redaksi: Dengan hormat, Saya si anu, pemenang sayembara, dan kami telah pindah alamat. Sejak sekarang, mohon kirimkan langganan gratis kami ke Jalan Boxirhat Nomor . Saya berikan alamat tetangga dan bukan alamat jelas kami, agar ayah tidak memergoki majalah itu. Setiap bulan, Salam dan saya memelototi terus majalah gratisan kami. Rasanya seperti mimpi. Kami juga menghabiskan sebagian waktu sehari-hari untuk duduk-duduk di ruang tunggu dokter keluarga kami, Dr. Banik, yang terletak di sudut jalan. Di situ kami baca macam-macam koran yang dilangganinya. Bacaan gratis ini memberi manfaat baik bagi saya selama bertahun-tahun. Selama SD dan SMP, saya sering menduduki peringkat teratas di kelas. [ bersambung ] The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3 --------------------------------- Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.