=================================
  Seri : "Membangun Keluarga Indonesia" 
  =================================
  [EQ]
  
  
   
   
   
  CHRISYE : SEBUAH MEMOAR MUSIKAL
  [Naga Legendaris INDONESIA]
  Oleh : Alberthiene Endah
   
   
  Bermimpilah,
  sebab harapan akan memberi hidup
   
  Berkaryalah,
  sebab seni akan memberi makna
   
  [Naga belajar . . . sampai menutup mata]
   
   
  23. Alex - Tri Angkasa Studio
   
  Kami mulai rekaman pada pertengahan tahun 1975. Sadar bahwa proyek rekaman 
ini terbilang mahasulit, Guruh meminta bantuan seorang sound engineer yang 
paling handal saat itu untuk membantu kami. Alex Kumara!
  “Wab, ini sih adik kelas saya di PSKD!” saya ngakak waktu Guruh mengenalkan 
Alex pada saya. Kami merasa klop. Jiwa anak PSKD langsung menyatukan kami.
   
  Alex dan beberapa saudaranya memiliki sebuah studio rekaman canggih dengan 16 
track. Ini terbilang terdepan saat itu, lantaran studio rekaman pada umumnya 
hanya memiliki 8 track saja.
   
  Studio milik Alex itu namanya Tri Angkasa, terletak di bilangan Hang Lekir, 
Kebayoran. Tempatnya nyaman dan eksklusif sekali. Bersama Alex, saat itu ikut 
membantu juga, Dick Mahambang, Maman Aifin, dan Yongki Mamahit sebagai sound 
engineers.            
   
  Baru di situ saya melihat kelebihan Alex yang sungguh dahsyat! Saya tahu, di 
PSKD dia juga biangnya musik. Tapi Alex tidak bisa main band. Jadi saya pikir, 
eksistensinya hanya sebatas penikmat. Ternyata kemampuan dia sebagai sound 
engineer sangat luar biasa. Alex memiliki kecekatan kerja diatas rata-rata dan 
telinga yang tajam. Daya kiitisnya sangat besar. Bayangkan, merekam gamelan 
Bali yang dipadu dengan musik pop bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu telinga 
dan kejelian mengendalikan tata suara untuk menghasilkan bunyi yang harmonis 
dan tidak saling menginjak. Rupanya, kegilaan Alex menikmati musik membuat 
telinganya jauh lebih jeli ketimbang pemusiknya sendiri!
   
  Proses rekaman sesuai dengan bayangan saya. Rumit dan detail. Untuk sementara 
kami terpaksa melupakan dunia luar, dan hanya fokus pada studio rekaman. 
Beberapa bulan pertama, kami hanya mampu menyelesaikan empat lagu saja. Yakni, 
Geger Gelgel, Barong Gundah, Chopin Larung, dan ada sebuah lagu lagi yang belum 
diberi judul. Belakangan karena kami merasa tak punya mood dengan lagu tanpa 
judul itu, lagu itu langsung disingkirkan.
   
  Bagaimana konkretnya proses rekaman kami? Wah! Nggak ada bedanya sama bikin 
hajatan besar-besaran. Ruang studio Tri Angkasa yang tidak seberapa luas, hanya 
sekitar 50 meter persegi, langsung sumpek diisi puluhan pemusik. Pada lagu 
Geger Gelgel, misalnya, pendukung musiknya mencapai 25 orang. Kami harus 
menyanyi dan memainkan musik dengan sangat hati-hati di depan mikrofon, agar 
suara yang terekam jernih, jelas, dan tidak amburadul. Semua suara direkam 
langsung tanpa dubbing sama sekali.
   
  Kami sempat break beberapa waktu untuk mengumpulkan energi dan mematangkan 
beberapa nomor lagi. Lalu setelah masuk dapur rekaman, kembali kami digempur 
dengan proses rekaman yang sangat njelimet!
   
  Pada lagu Indonesia Maharddhika, misalnya, Guruh memiliki idealisme 
tersendiri pada lagu yang dinyanyikan Keenan ini. Tak ingin ada banyak suara 
instrumen, terutama gitar dan keyboard. Meski jumlah musisinya tidak sebanyak 
pada lagu Geger Gelgel, namun tuntutan suara gitar dan keyboard yang akbar itu 
mengharuskan kami melakukan dubbing sampai 200 kali! Bayangkan! Di zaman 
sekarang, proses dubbing sebanyak itu pasti sudah bikin musikus mana pun angkat 
kaki.
   
  Tapi itulah hebatnya Guruh. Ia dengan segala karisma dan kehebatan 
idealismenya mampu membuat siapa pun yang terlibat di dalam proyek ini menjadi 
multi semangat! Kami berhasil merekam dengan baik lagu Smaradhana, Janger 1897, 
dan Indonesia Maharddhika.
   
  Setelah proses rekaman yang rumit itu, bisa ditebak siapa yang kemudian 
bekerja mati-matian menyelesaikan proses akhir. Alex Kumara dan kawan-kawan! Ia 
nyaris tak pernah tidur untuk melakukan mixdown. Alex memilah suara-suara yang 
sudah direkam agar semua terkombinasi dengan harmonis. Makin salut saya pada 
Alex yang benar-benar membuktikan kepiawaiannya sebagai sound engineer!
   
  Sebagai tanda kompak kami pada Alex, tak jarang kami semua ikut begadang di 
studionya. Sementara Alex sibuk mengotak-atik peralatannya, di belakangnya kami 
bergelimpangan melepas letih setelah berbulan-bulan latihan dan rekaman.
   
  Album istimewa kami selesai dengan tajuk sederhana: Guruh Gipsy. Kami 
berpelukan haru ketika hasil jerih payah kami sudah terbungkus kotak kaset 
bersampul gambar Dasabayu, yang terdiri dan 10 aksara Bali yang memiliki makna 
khusus. Dicetak hanya 5000 keping dan distribusinya ditangani oleh Pramaqua 
Record. Menjelang peluncuran album ini, Guruh berinisiatif menerbitkan sebuah 
buku setebal 32 halaman yang mengabadikan cerita kerja keras di balik album ini 
berikut proses kreatifnya.
   
  “Khalayak musik jangan hanya bisa menikmati, tapi juga perlu mengapresiasi 
proses berkesenian yang membentuk album ini,” kata Guruh.
   
  Dugaan bahwa album itu akan menjadi sorotan memang kejadian. Meski tidak 
diproduksi secara massal, gaung album ini sontak menggegerkan kancah musik 
dalam negeri. Proyek sensasional ini langsung mengedepankan Guruh sebagai 
musikus unggul dan brilian. Sejumlah lagu, seperti Smaradhana menjadi hit. 
Album ini dianggap sebagai gebrakan di kancah musik Indonesia saat itu. Saya, 
bukan main bangganya bisa terlibat dalam proyek rekaman yang sensasinya tidak 
lagi pernah saya temukan, bahkan sampai hari ini.
   
  Apakah proyek itu berarti... uang? Tidak. Sama sekali tidak. Bahkan inilah 
uniknya. Proyek yang tidak menghasilkan keuntungan finansial itu justru 
menguras semangat terbaik kami. Menyadari betapa besarnya langkah yang telah 
kami buat, saya seperti dilambungkan ke tataran yang lebih tinggi dalam dunia 
musik yang saya geluti. ini sebuah pencapaian yang sangat penting, bukan saja 
terhadap catatan sejarah karier saya, tapi juga pada pembentukan keyakinan 
saya. Bahwa musik baik yang membanggakan ternyata bisa saya lakukan!
   
  Pengalaman bersama Guruh Gipsy saya catat sebagai pengalaman emas dalam 
karier saya. Ada satu hikmah yang saya ambil, bahwa dalam berkesenian, kita 
perlu menyediakan ruang khusus saat uang dan perolehan popularitas bukanlah 
spirit utamanya. Kita perlu masuk dalam rongga yang hanya mepertanyakan 
kemampuan seni dan kesungguhan. Di situlah kita akan diuji apakah kita seorang 
seniman, atau bukan. Jika iya, kemurnian karya yang terbaiklah yang akan muncul.
   
  
   
   
  Proyek Guruh Gipsy tidak menghasilkan uang. 
  Tapi justru berhasil menggugah semangat terbaik kami.
  Ada bayakkarya musik bagus di Indonesia yang tidak dibayangi nafsu 
  mengejar uang.
   
  ______
   
   
  Ketika kita mempertanyakan kebenaran pada musik, . . .
  Jawaban ada pada kebahagiaan saat bermusik.
  Saya yakin pemusik sejati selalu bahagia di atas panggung!
   
  ______
   
   
  [bersambung   ] 


    
  SONETA INDONESIA <www.soneta.org>

  Retno Kintoko Hp. 0818-942644
  Aminta Plaza Lt. 10
  Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
  Ph. 62 21-7511402-3 
   


       
---------------------------------
Pinpoint customers who are looking for what you sell. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to