=================================
  Seri : "Membangun Keluarga Indonesia"  
  =================================
  [EQ]
   
   
  CHRISYE : SEBUAH MEMOAR MUSIKAL
  [Naga Legendaris INDONESIA]
  Oleh : Alberthiene Endah
   
   
  Bermimpilah,
  sebab harapan akan memberi hidup
   
  Berkaryalah,
  sebab seni akan memberi makna
   
  [Naga belajar . . . sampai menutup mata]
   
   
  53. Persiapan Konser Tunggal!
   
  Saya lupa tepatnya tanggal berapa, tapi yang pasti di awal tahun 1994 itu Jay 
menelepon saya. Ia mengajak saya untuk kumpul-kumpul, mengobrol soal rencana 
musik. Siapa tahu saya bisa bantu-bantu. Saya setuju. Kami bertemu di Hotel 
Hyatt.
   
  Ternyata apa yang disebut dengan acara ngumpul-ngumpul itu adalah ajang 
diskusi sebuah rencana serius! Jay, Gauri, dan teman saya sejak muda, Hendra 
Priyadi, punya ide yang saat itu terdengar muluk. Membuat konser tunggal 
penyanyi Indonesia di Plenary Hall!
  Kenapa muluk? Saat itu Plenary Hall memang tidak pernah diinjak oleh penyanyi 
Indonesia dalam rangka konser tunggal. Tempat itu hanya dianggap pantas untuk 
konser penyanyi asing. Kalaupun dipakai untuk acara musik lokal, pastilah itu 
sebuah acara kolosal yang melibatkan banyak penyanyi.
   
  Sudah saatnya penyanyi kita diapresiasi dan punya kesempatan tampil secara 
tunggal di depan publik sendiri kata Jay. Waktu itu, tercatat pernah ada konser 
tunggal yang digelar. Yakni konser Ruth Sahanaya dalam skala kecil yang 
dipertunjukkan di Taman Ismail Marzuki. Praktis belum ada contoh kasus yang 
bisa dijadikan perbandingan.
   
  Namun Jay sangat yakin, konser seperti itu sudah pantas ada di Indonesia. 
Bagaimana produksinya, semangat bisa menciptakan itu! Kami lalu membuat daftar 
penyanyi yang bisa dijadikan kandidat untuk menggelar konser tunggal. Setelah 
diskusi, tak ada satu nama pun yang akhirnya nyangkut. Mendadak mereka menoleh 
pada saya.
  “Kayaknya lu deh, Chris!” cetus mereka.
  Saya bengong. Gimana bisa? Tanpa harus dibeberkan panjang lebar, orang banyak 
juga tahu kalau saya bukan penyanyi panggung yang menarik. “Yang bener aja!” 
tolak saya langsung.
  Tapi mereka ternyata serius. Jay bahkan antusias sekali. Dia langsung 
mencetuskan satu nama yang cocok sebagai penata musik. “Nanti saya kenalin sama 
Erwin Gutawa!” katanya.
   
  Saya tetap mengatakan tidak. Saya yakin sekali, saya bukanlah penyanyi dengan 
kaliber yang layak tampil seperti yang ada dalam gambaran Jay!
   
  Kami bubar diskusi tanpa hasil pasti.
   
  Esoknya, hari-hari saya dipenuhi dengan bujukan! Gauri malah menyempatkan 
diri mengobrol banyak dengan saya, dan mengatakan bahwa perjalanan panjang saya 
sangat pantas dirangkum ke dalam sebuah konser. Jay yang sangat serius dengan 
rencana ini, malah aktif mengontak orang-orang yang bisa diajak bergabung. Saya 
dikenalkan dengan Erwin Gutawa, musikus muda yang sudah saya dengar namanya, 
tapi baru kali itu bertemu langsung.
   
  Sebegitu jauh pun, saya tetap tak berani mengatakan iya! Saya minder dan 
takut sekali! Terbayang di benak saya, konser yang sepi penonton! Walau Jay 
bilang lagu hit saya cukup banyak, tapi saya tetap tak yakin penggemar saya 
cukup punya niat untuk berbondong-bondong datang dan menyesaki hall sebesar 
Plenary!
  Jay terlihat jengkel. Ia bicara dengan cukup keras. “Chris, kalau lu menolak, 
karier lu selesai di sini! Konser ini bisa menggugah lagi kejayaan lu di masa 
lalu!”
  Kata-kata Jay meresap di hati saya.
   
  Butuh berkali-kali duduk mengopi di kafe hingga leher saya bisa bergerak 
mengangguk. Itu pun masih dengan bibir yang gemetar saat mengucapkan, “Oke deh!”
   
  Jay, Erwin, dan Hendra tak buang waktu. Semua bagi-bagi tugas. Jay adalah 
yang jagonya seni langsung memegang tanggung jawab sebagai art director. Erwin 
bersiap mengolah lagu-lagu saya sejak Badai pasti Berlalu. Sementara Hendra 
langsung jalan dengan proposal! Ya proposal! Pasalnya kami memang tidak punya 
dana! Dukungan kami harapkan datang dari RCTI, stasiun TV swasta pertama yang 
dianggap akan mudah akan menjaring sponsor. Langkah awal kami, segera ketemu 
pihak RCTI. 
   
  Apa yang terjadi? Saya terpana ketika beberapa orang dari pihak mereka 
langsung benturkan kami pada komentar-komentar yang sangat miring. Waduh! Yang 
bener aja! Mas Chrisye disuruh konser tunggal!” ujar mereka. “Bergaya di 
panggung aja nggak bisa!” yang lain ada juga yang bilang begini, “Kalau mau 
bikin konser buat Chrisye, di Monas aja, atau di Parkir Timur!” 
   
  Ketika mereka tanya rencana harga tiket dan dijawab dengan tangkas, yakni 
seratus lima puluh ribu rupiah, kami ditertawakan! “Mana ada yang mau nonton!” 
katanya. 
   
  Terakhir yang bikin saya cukup terpukul adalah komentar demikian, “Bagaimana 
kalau Chrisye manggung bawain lagu-lagu The Bee Gees... atau Chicago!” Jay 
langsung meradang. “Kami justru merencanakan Membuat konser yang khas 
Indonesia. Yang tampil penyanyi Indonesia, lagu-lagunya sendiri, tim 
produksinya orang lokal, musisi semua dari dalam negeri, dan konsep yang 
diusung juga 100% Indonesia!” Tak urung, meski sempat menegarkan hati, tapi 
kalimat mereka terngiang-ngiang di telinga saya. Di jalan pulang, saya murung 
sekali. Jay membesarkan hati saya dan mengatakan bahwa mereka sebetulnya hanya 
ingin berpikir realistis. Memang tak mudah menggali rasa yakin pada konser 
tunggal penyanyi Indonesia karena memang bukti sukses belum ada. Saya sadar 
rencana ini memang sesuatu yang baru.
   
  Tapi, justru karena dihina itulah, nyali saya malah mendadak naik! Dan yang 
minder jadi terpacu! Ajakan Erwin untuk segera latihan saya sambut dengan 
bersemangat! Kami berlatih di studio Bass Production di bilangan Pakubuwono. 
Sejumlah musisi inti diajak serta. Ada Tohpati, Aminoto Kosin, dan banyak lagi. 
Erwin juga mengajak sejumlah pemain musik gesek.
   
  Proses Iatihan yang sangat menarik! Menarik, karena konsepnya yang luar biasa 
bagus. Erwin sangat berbakat membesut musik yang terkesan megah dan sangat 
nikmat didengar, dan diwarnai waswas karena belum tentu ada sponsor. Bisa 
dibayangkan, seharusnya latihan ditandai dengan tenggat waktu dan jadwal 
pementasan yang pasti. Ini, kami latihan tiap malam tanpa tahu kapan pentas dan 
siapa yang membiayai! Apa nggak edan?
   
  Tapi herannya, semua seperti dibakar semangat yang sama besar. Latihan 
berlangsung semarak dan lancar! Nyaris tanpa kendala. Kami bahkan begadang 
bermalam-malam, demi memuluskan bagian-bagian lagu yang belum luwes. Erwin 
mengolah puluhan repertoar saya yang menjadi hit. Sementara Jay asyik 
berkhayal, merancang konsep panggung. Ia kadang mengajak Ineth Leimena untuk 
datang dan nimbrung diskusi. Tiap kali Hendra muncul kami memandang dengan 
harap-harap cemas, apakah dia berhasil menggalang sponsor? Kalau wajah Hendra 
lesu, kami berusaha tak terpengaruh. Latihan jalan terus, dengan keyakinan, 
kesempatan ini pasti ada yang menggubris!
   
  Untunglah di saat-saat terakhir, setelah tiga bulan penuh latihan, RCTI 
memberikan kabar yang melegakan. Acara ulang tahun RCTI yang ke-4 membutuhkan 
pergelaran off-air. Konser saya pun dianggap sebagai pilihan tepat. Konser itu 
diberi tajuk Konser Sendiri, sesuai konsep Jay dan Erwin bahwa segala sesuatu 
yang memperkuat konser ini adalah karya anak negeri. Karya sendiri.
   
  Tiket pun dicetak dan diedarkan. Apa yang terjadi? Ribuan tiket yang dicetak 
ludes kurang dari seminggu! Pihak RCTI yang mengetahui ini makin antusias.
    
  _______
   
  “Kami justru merencanakan membuat konser yang khas Indonesia.
  Yang tampil penyanyi Indonesia, lagu-lagunya sendiri,
  tim produksinya orang lokal, musisi semua dari dalam negeri,
  dan konsep yang diusung juga 100% Indonesia!”
   
  _______
   
  [ bersambung ]
   
   


    
  SONETA INDONESIA <www.soneta.org>

  Retno Kintoko Hp. 0818-942644
  Aminta Plaza Lt. 10
  Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
  Ph. 62 21-7511402-3 
   


       
---------------------------------
Luggage? GPS? Comic books? 
Check out fitting  gifts for grads at Yahoo! Search.

Kirim email ke