Media Indonesia
03 Januari 2009 00:01 WIB

Akal-akalan Membentuk Parlemen Ad Interim
SEBAGIAN partai politik peserta Pemilu 2009 ternyata bermental pecundang. 
Mereka telah kalah sebelum berlaga dalam pemilu. Buktinya, mereka mulai 
bermanuver untuk membentuk parlemen bayangan. 

DPR akal-akalan yang akan dibentuk itu adalah wadah untuk menampung calon 
anggota DPR yang mendapat suara signifikan seharga kursi DPR, tetapi tidak bisa 
duduk di parlemen karena partai politik mereka tidak mencapai angka 2,5% 
perolehan suara nasional pemilu anggota DPR. DPR bayangan itu diberi nama 
parlemen ad interim. 

Gagasan parlemen ad interim itu jelas akal bulus untuk menyiasati ambang batas 
parlemen (parliamentary threshold) yang diatur dalam Pasal 202 Undang-Undang 
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 

Ambang batas parlemen itu pertama kali dipakai pada hasil Pemilu 2009. 
Ketentuan tersebut diinisiasi untuk menyederhanakan jumlah partai dalam sistem 
multipartai dan sekaligus untuk memangkas jumlah fraksi di parlemen. Sistem 
multipartai yang sederhana diyakini bisa menyokong sistem pemerintahan 
presidensial agar berjalan efektif dan produktif untuk kepentingan rakyat. 

Dengan demikian, sekalipun presiden terpilih berasal dari partai kecil, ia bisa 
membentuk pemerintahan koalisi yang menguasai mayoritas parlemen tanpa 
melibatkan terlalu banyak partai. Cukup dengan segelintir partai, sehingga 
presiden diharapkan mampu mengontrol anggota koalisi dan dengan demikian bisa 
memastikan kebijakan pemerintah didukung anggota koalisi di parlemen. 

Jumlah partai yang terlampau banyak justru mendorong pertumbuhan fragmentasi 
parlemen yang juga tinggi karena jumlah fraksi di DPR pun menjadi terlalu 
banyak dengan ragam kepentingan subjektif yang juga banyak. Kepentingan beragam 
yang banyak itulah yang selama ini mendorong fraksi yang tergabung dalam 
koalisi di pemerintahan bersikap seperti oposisi di parlemen. 

Sangatlah jelas, parliamentary threshold didesain untuk mengekang nafsu 
kekuasaan pemimpin partai guram. Sebaliknya, keinginan membentuk parlemen ad 
interim itu semakin jelas pula menunjukkan tabiat buruk elite partai, yaitu 
tidak mau melaksanakan ketentuan undang-undang, malah mengakalinya. 

Para penggagas menghendaki parlemen ad interim menjadi lembaga permanen sebagai 
pengimbang yang efektif terhadap DPR. Parlemen ad interim dapat menjalankan 
fungsi parlemen seutuhnya dan bisa mengirim rancangan undang-undang ke DPR. 

Sebuah kehendak yang sepintas bertujuan mulia, tapi tersirat siasat menyesatkan 
seperti musang berbulu domba. Sesungguhnya, parlemen ad interim hanyalah alat 
untuk mempertahankan eksistensi pemimpin partai guram. 

Lembaga akal-akalan itu dijadikan sebagai alat tawar pemimpin partai guram 
dengan presiden terpilih untuk bisa masuk lingkaran kekuasaan. 

Mestinya, jika partai murni didirikan sebagai alat pengabdian kepada 
masyarakat, pemimpin partai berlomba-lomba menawarkan programnya kepada 
masyarakat. Apalagi dalam masa kampanye panjang selama sembilan bulan ini, 
partai peserta pemilu seharusnya lebih gencar memperkenalkan diri kepada calon 
pemilih. 

Fakta yang sangat menyedihkan adalah hanya segelintir orang yang mengenal 
partai baru. Segelintir orang itu adalah pengurus partai, calon anggota 
legislatif yang diusung, serta anggota keluarga mereka. Partai guram pesimistis 
menghadapi pemilu yang tinggal 97 hari lagi sehingga tergoda membentuk parlemen 
ad interim.

Kirim email ke