Amir Sjarifoeddin


Amir, Tokoh Tragis Tepian Sejarah



Mantan perdana menteri dan Menteri Pertahanan itu dieksekusi di desa sepi. 
Kusut sengkarut masa awal Republik.



TUJUH
lembaga swadaya masyarakat akan menggelar peringatan kematian Amir
Sjarifoeddin lewat diskusi sejarah, Jumat pekan ini. Artinya, enam
puluh tahun setelah ”eksekusi” atas perdana menteri dan Menteri
Pertahanan Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan itu.



Amir,
selama ini, berada di sisi marginal dari pusat perhatian sejarah
nasional. Pemikiran tokoh Kongres Pemuda II 1928 ini belum banyak
tergali. ”Stigmatisasi dirinya karena bagian dari Partai Komunis
Indonesia membuat pemikirannya terlupakan,” kata ketua panitia, Wilson.



l l l



MENJELANG
tengah malam, 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tokoh Partai Komunis
Indonesia menunggu liang lahad mereka digali. Tentara mengerahkan dua
puluh penduduk untuk menggali lubang sedalam 170 sentimeter di Desa
Ngalihan, Karanganyar, Jawa Tengah.



Sebelas
orang ini divonis mati tanpa pengadilan. Seorang letnan hanya
mengatakan ada surat perintah eksekusi dari Gubernur Militer Jawa
Tengah Kolonel Gatot Soebroto.



Amir tewas diterjang sebutir
peluru yang ditembakkan ke tengkorak kepala bagian belakang. Kesebelas
orang itu: Amir, Maroeto Daroesman, Soeripno, Harjono, Oei Gee Hwat,
Djoko Soejono, Katamhadi, Ronomarsono, Soekarno, D. Mangku, dan
Sardjono, dikuburkan di satu lubang.



Kematian Amir dan sepuluh
kawannya merupakan bagian dari kisah tragis Peristiwa Madiun, September
1948. Peristiwa yang konon menewaskan ratusan manusia dari kelompok
komunis dan nonkomunis itu kemudian dikenal sebagai pemberontakan PKI.



Sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, tak menganggap
peristiwa Madiun sebagai pemberontakan, karena ruang lingkup yang
sempit. Konspirasi penumpasan komunis oleh pemerintah, saat itu, kata
Asvi, lebih masuk akal.



Ketika
itu pemerintah dalam situasi genting menghadapi aksi agresi militer
Belanda. ”Pemerintah butuh dukungan Amerika Serikat, sehingga berusaha
menunjukkan konsistensi menumpas komunis,” kata Asvi.



l l l



SEMASA
melawan penjajahan Jepang, Amir membangun gerakan bawah tanah lewat
bantuan 25 ribu gulden dari Charles van der Plas. Pada 1942, jaringan
Amir tertangkap, dan Jepang menjatuhinya hukuman mati.



Dalam
buku karya Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Bung
Karno dan Bung Hatta membebaskan Amir dari hukuman mati. Mereka
menyatakan popularitas Amir akan membuat suasana sosial tak kondusif
bila dia dikenai hukuman mati. Amir masuk penjara Jepang pada 1943-1945.



Setelah
kemerdekaan, Amir menduduki beberapa jabatan strategis: Menteri
Penerangan, Menteri Pertahanan, dan perdana menteri menggantikan Soetan
Sjahrir. Bersama Sjahrir, Amir mendirikan Partai Sosialis.



Belakangan
Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat untuk menggalang beberapa
organisasi sayap kiri, di antaranya Partai Sosialis, Partai Buruh, dan
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Dia mengaku menjadi pengikut PKI
sejak 1935, setelah Musso tiba di Tanah Air pada Agustus 1948.



Menurut
Ken Conboy dalam buku Menguak Tabir Dunia Intelijen, pada masa awal
jabatan Menteri Pertahanan, Amir membentuk badan intelijen yang dikenal
sebagai Badan Pertahanan B. Dengan persetujuan Presiden Soekarno, semua
badan intelijen berada di bawah naungan kementerian Amir.



Badan
intelijen berganti nama menjadi Badan V, dan dipimpin mantan taruna
Angkatan Laut bernama Abdulrahman, yang satu aliran politik dengan
Amir. Namun, kurang dari setahun, badan ini dibubarkan setelah
Perundingan Renville, 17 Januari 1948.



Masih sebagai Menteri
Pertahanan, Amir memperkenalkan Tentara Nasional Indonesia
(TNI)-Masyarakat. TNI-Masyarakat menampung para anggota laskar di bawah
struktur kementerian pertahanan. ”Tentara konvensional tak diandalkan,
pertahanan bersandar pada kekuatan rakyat,” kata mantan Menteri
Penerangan, Setiadi Reksoprodjo, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.



Posisi
Amir di puncak kebijakan pertahanan membuatnya mudah menempatkan
kelompok pro-sayap kiri di posisi strategis. Menurut Gie, kelompok
Front Demokrasi Rakyat menguasai tentara sekitar 35 persen.



Kekuasaan
Amir di pemerintahan berakhir setelah penandatanganan Perjanjian
Renville. Posisi Amir sebagai perdana menteri diisi Hatta. Kelompok
sayap kiri tak bergabung dalam kabinet Hatta.



Hatta menyiapkan
program rekonstruksi dan rasionalisasi Angkatan Perang—dikenal sebagai
”Rera”. Program ini memangkas kebijakan pertahanan yang telah disusun
Amir.



Ketika itu jumlah tentara mencapai 463 ribu, dan
pemerintah menganggap tak mampu membiayai. Pada Juni 1948, 60 ribu
tentara dipangkas, kemudian menyusul 40 ribu lagi.



Konsep
TNI-Masyarakat buatan Amir pun dibubarkan. Divisi IV Senopati Solo,
Jawa Tengah, yang terdiri atas 5.000 orang, adalah kelompok yang paling
keberatan dengan kebijakan itu. Hampir setengah anggotanya berasal dari
laskar Pesindo.



Kebijakan Hatta dianggap sebagai bagian dari
skenario menumpas kekuatan komunis. Hatta dianggap membuat kesepakatan
dengan Amerika Serikat dalam pertemuan di Sarangan, Jawa Timur, Juli
1948.



Pertemuan yang dihadiri oleh utusan Amerika, Gerald
Hopkins dan Merle Cochran, dengan lima perwakilan Indonesia ini
menghasilkan usul penumpasan kelompok kiri. Perwakilan Indonesia
disebutkan terdiri dari Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto, dan Muhammad
Roem.



Informasi ini memang patut dipertanyakan. Itu ditemukan dalam catatan seorang 
penulis, Roger Vailland. Padahal,
 ”Vailland dikenal sebagai penulis fiksi, bukan sejarah,” kata Asvi Warman Adam.



Muncul
pula kabar, Menteri Luar Negeri Belanda, Stikker, membuat daftar 80
tokoh komunis yang harus dihabisi. ”Termasuk Amir Sjarifoeddin,” kata
Soemarsono, pelaku Peristiwa Madiun.



Meski skenario penumpasan
komunis itu masih diragukan, kebijakan pemangkasan tentara ala Hatta
membuat kekuasaan sayap kiri terpukul. Penolakan atas program ini
menguat di Solo.



Di bawah pimpinan Divisi IV Senopati Solo,
Kolonel Sutarto, program ini ditolak. Pergolakan semakin runcing
setelah Kolonel Sutarto ditembak mati oleh pihak tak dikenal pada Juli
1948.



Pasukan Divisi Siliwangi Jawa Barat menjadi pihak yang
berhadapan langsung dengan Divisi Senopati. Divisi Siliwangi hijrah ke
Jawa Tengah dari Jawa Barat, sebagai akibat Perjanjian Renville.



Menurut Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kharis Suhud, ketika itu korban 
berjatuhan dari kedua pihak. ”Kami
 diperintahkan menumpas komunis,” kata Kharis, 83 tahun, yang saat itu anggota 
Divisi Siliwangi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.



l l l



KERUSUHAN
di Solo membuat Soemarsono menyatakan pembentukan Front Nasional Negara
Madiun pada 18 September 1948. Pembentukan Front Nasional ini mengikuti
ide Musso, yang diumumkan pada Agustus 1948, sesaat setelah ia tiba di
Tanah Air.



Ketika itu Amir dan Musso sedang mengunjungi beberapa
kota untuk mensosialisasi program partai. Mereka tak mengetahui sama
sekali perkembangan di Madiun.



Soemarsono mengatakan pengumuman
Front Nasional Negara Madiun semata upaya membela diri dari penyerbuan
yang dilakukan pemerintah. ”Itu bukan pemberontakan,” kata Soemarsono,
87 tahun, ketika dihubungi Tempo beberapa waktu lalu.



Pengumuman
Soemarsono ini membuat Soekarno marah. Sehari setelah pengumuman itu,
Bung Karno berpidato di radio, meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta
atau Musso. Divisi Siliwangi, dengan kekuatan sepuluh batalion, dengan
mudah menumpas sisa Divisi Senopati, yang hanya empat batalion.



Tokoh-tokoh
PKI melarikan diri. Soemarsono lolos menuju Klambu, garis demarkasi
Belanda. Musso ditembak mati di Ponorogo, Jawa Timur. Dan Amir, dengan
sepuluh kawannya, dieksekusi di Ngalihan.



Yuliawati



http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/NAS/mbm.20081215.NAS129013.id.html
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 


      

Kirim email ke