==================================================== THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia." ==================================================== [Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia Quotient] Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. "Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." Apa yang Sebetulnya Diperlukan Indonesia? Jumat, 29 Mei 2009 Oleh : Daniel Sparringa Saya cukup sering menerima pertanyaan ini: “apa yang diperlukan Indonesia?” Saya kira, banyak orang mengajukan pertanyaan itu karena merasa apa yang kita capai sejak pemilu demokratis pertama tahun 1998 ini kurang memperlihatkan hasil yang nyata bagi rakyat banyak. Sebagian dari mereka menyindir “reformasi” hanya menghasilkan pekerjaan baru bagi para elite, tersebar ke dalam berbagai posisi dan jabatan: mulai dari wakil rakyat dan wakil daerah hingga hakim konstitusional, komisioner independen, staf ahli di tingkat daerah dan nasional. Pertanyaan mereka terkait dengan perkara itu adalah mengapa begitu banyak jabatan bagi orang-orang pintar, terpilih dan terhormat, tetapi kurang terlihat manfaatnya bagi tersedianya lapangan kerja baru, dikuranginya kemiskinan, ditekannya korupsi, ditingkatkannnya pelayanan publik, dan lainnya. Mereka yang lebih sinis bahkan mempertanyakan ongkos yang telah dibayar rakyat untuk membiayaai seluruh rangkaian pemilu dan seleksi bagi jabatan-jabatan itu. Mereka juga menggugat kemanfaatan biaya yang dibayarkan sebagai gaji serta fasilitas lainnya yang mencakup tunjangan, perumahan, transportasi, dan kesehatan untuk pejabat-pejabat baru dengan kebutuhan negeri ini untuk keluar dari krisis. Di mata para pegiat demokrasi, pertanyaan terpentingnya adalah mengapa ketika terdapat pemilu yang demokratis fungsi representasi justru menurun. Mereka juga gelisah mengapa kebebasan lebih banyak menghasilkan masalah dari pada jalan keluar? Banyaknya partai politik dan demontrasi yang kerap melibatkan kekerasan adalah sebagian dari gambaran yang membuat mereka bertanya-tanya apa sesungguhnya yang terjadi. Di kalangan para pengusaha dan calon investor, dalam dan luar negeri, mereka bertanya kapankah “keadaan normal” dipulihkan kembali? Perkembangan politik yang sangat dinamis membuat mereka seperti “ayam kehilangan induk”. Kesulitan membaca dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi menyebabkan mereka mengalami disorientasi dan kehilangan sebagian ketajaman serta kreatifitas melihat peluang bisnis. Terjadinya pergantian rezim dalam setiap lima tahunnya kerap hanya membuat kebingungan dan kecemasan. Dalam pengertian yang paling luas, publik bertanya: apakah yang sesungguhnya meski dilakukan untuk menghasilkan sebuah perubahan nyata di tengah-tengah kepercayaan bahwa negeri ini telah membayar begitu mahal untuk semua hal yang dipandang perlu dan penting selama satu dasawarsa terakhir ini? Tiga perspektif baru Dalam pandangan saya, negeri ini memerlukan perspektif baru dalam tiga hal sekaligus. Pertama, Indonesia memerlukan penguatan tradisi berpemerintahan secara lebih baik melalui konsep governance. Selain hal-hal semacam transparansi dan akuntabilitas, hal terpenting yang hendak dicapai melalui tranformasi ini adalah terbentuknya birokrasi negara yang lebih efisien, efektif, dan produktif. Sebagian ahli memandang perubahan di tingkat birokrasi negara adalah prasyarat bagi terjadinya perubahan yang nyata di negeri ini. Menurut saya, kita bisa membacanya dengan arah yang sebaliknya, yakni tidak kunjung terjadinya perubahan.yang nyata di negeri ini sesungguhnya berpangkal dari tidak berubahnya birokrasi secara berarti. Gaji yang rendah hanyalah sebagian dari masalah. Tidak hadirnya perspektif dan visi baru dalam mengelola birokrasi negara modern serta lemahnya dukungan infrastruktur dan kelembagaan adalah dua hal besar lainnya. Kedua, saya percaya bahwa perspektif ekonomi haruslah menjadi bagian terpenting dalam kepemimpinan nasional periode 2014 dan sesudahnya. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, saya kira kita telah menginvestasikan hampir semua yang kita bisa berikan untuk pembangunan kelembagagaan politik, mulai dari pemilu bebas dan langsung, demokrasi multi partai, hingga berdirinya lembaga-lembaga negara baru yang tidak sepenuhnya dikenal sebelumnya dalam tradisi trias politika. Visi ekonomi Dalam pandangan saya, apa yang kita perlukan sekarang adalah mengintegrasikan perspektif dan visi ekonomi abad XXI ke dalam kepemimpinan nasional, dimaksudkan sebagai sebuah “perikatan baru” dalam arah perkembangan negeri ini. Ini berarti, semua prioritas hendaknya diarahkan untuk menggerakkan perekonomian nasional kearah terciptanya kesempatan berusaha dan lapangan kerja baru melalui pertumbuhan ekonomi yang permanen, berkelanjutan dan berkeadilan. Pada tempat inilah percakapan kritis tentang “jalan membangun” itu menjadi sangat penting. Saya sangat percaya bahwa jawaban itu terdapat pada idiologi pembangunan yang ditawarkan oleh gagasan-gagasan yang diwakili oleh “jalan negara kesejahteraan” alias “Welfare-state approach” bukan “Wall-street approach” sebagaimana terkandung dalam neoliberalisme. Dalam pandangan itu, yang diperlukan tidak hanya pasar yang bebas, tetapi juga pasar yang adil, tidak hanya hukum yang tegak, tetapi juga hukum yang adil, tidak hanya hak-hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dan akhirnya bukan hanya hak milik pribadi, tetapi juga hak kolektif untuk membangun. Ini semua adalah perspektif ekonomi yang semestinya diutamakan dalam membangun negeri ini. Ketiga, memahami bahwa Indonesia adalah sebuah konstruksi rumit yang mewakili keragaman ideologi, identitas dan geografis (sering saya sebut dengan “keragaman tiga-i”: ideologies, identities, islands). Saya sangat yakin bahwa negeri ini membutuhkan sebuah kepemimpinan politik yang sangat istimewa, tidak konvensional. Kepemimpinan politik yang dimaksud adalah sebuah kombinasi antara sains dan seni untuk menghasilkan model kepemimpinan politik yang mampu merajut perbedaan (crafting diffenrences) untuk sebuah tujuan yang diterima secara kolektif. Indonesia membutuhkan kepemimpinan politik yang lebih inventif dari pada yang tranformasional sekali pun. Kualitas inventif dari kepemimpinan politik yang saya maksud terdapat dalam kapasitasnya untuk menghasilkan persatuan dan stabilitas, dua kualitas yang akhir-akhir ini menghilang dari negeri ini. Saya ingin melihat tiga kualitas itu menjadi elemen konstitutif dari kepemimpinan nasional yang akan datang. Saya kira, negeri ini memang membutuhkan sebuah supertransformasi yang dituntun oleh hadirnya perspektif dan visi masa depan yang kritis, bukan sinis. [Daniel Sparringa, Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga – Kompas] ---------- Perjalanan panjang dalam proses membangun bangsa Indonesia, kini telah memacu semangat dan kesadaran baru elite dan masyarakat luas, baik di bidang sosial, ekonomi, hukum dan kemanusiaan serta di bidang lainnya. Selanjutnya dihadapkan tantangan dan peluang untuk lebih teliti, cermat, cepat dan terukur, bukan lagi dalam tingkat wacana dan regulasi formalisme, namun lebih diutamakan dalam langkah, praktik dan tindak keteladanan para pemimpin, elite dan seluruh komponen bangsa Indonesia. Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! Best Regards, Retno Kintoko The Flag Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! ERDBEBEN Alarm
SONETA INDONESIA <www.soneta.org> Retno Kintoko Hp. 0818-942644 Aminta Plaza Lt. 10 Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan Ph. 62 21-7511402-3