http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/04/00332432/apa.yang.terjadi.pada.polisi.dan.kita
Rabu, 4 Juni 2008 | 00:33 WIB


Apa yang Terjadi pada Polisi dan Kita?
 
Oleh Satjipto Rahardjo

Membicarakan polisi Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan diri kita 
sendiri juga, pemerintahnya, masyarakatnya, keadaan sosialnya, dan seterusnya. 
Tulisan ini bertolak dari posisi pemikiran seperti itu.

Polisi itu tidak ada di sana, berseberangan dengan kita, tetapi di sini, 
bersama kita dan menjadi sebagian dari kita. Maka, pada waktu menyaksikan dan 
merenungkan tayangan mengenai bentrokan polisi dengan para mahasiswa 
Universitas Nasional, 25 Mei dini hari, pandangan tentang polisi seperti itulah 
yang ada dalam kepala saya.

Polisi dan masyarakat yang ada secara bersama-sama adalah gagasan yang 
mendasari pencitraan "polisi sipil" selama ini. Pada waktu masih aktif mengajar 
di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), saya mencoba melihat polisi ideal 
sebagai polisi yang protagonis, bukan antagonis. Zaman polisi antagonis sudah 
lewat bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan atau 
orde yang demokratis membutuhkan polisi-polisi yang protagonis, yang 
menempatkan telinganya di jantung rakyat, bukan penguasa. Namun, ini sungguh 
suatu perubahan yang sangat, sangat, dan sangat sulit serta berat untuk 
diwujudkan.

Polisi miskin

Polisi itu tidak di sana, tetapi di sini. Begitu juga buat polisi, rakyat itu 
tidak ada di seberang, tetapi bersama dan di tengah polisi. Dengan demikian, 
polisi merasakan susahnya kehidupan rakyat kecil dengan naiknya harga BBM. 
Sementara itu, masyarakat juga paham tentang bagaimana miskinnya polisi 
Indonesia itu. Miskin dalam arti semuanya. Saya sering mengatakan bahwa polisi 
Indonesia adalah polisi dengan sindrom kemiskinan. Polisi yang bekerja dalam 
sebuah negara miskin dengan sekalian akibatnya.

Rasio polisi dan penduduk yang ideal adalah 1 : 400. Mampukah negara Indonesia 
mencapai rasio ideal itu? Saya kira masih jauh karena tidak lain disebabkan 
negeri ini miskin. Ini berakibat besar oleh karena rasio tersebut dipatok 
dengan berbagai pertimbangan. Misalnya, rasio yang ideal menyebabkan polisi 
punya waktu istirahat yang cukup. Setiap sekian jam polisi bisa istirahat dan 
ini sangat penting karena pekerjaan polisi membutuhkan cadangan kesabaran yang 
besar.

Polisi yang baru bertugas 15 menit itu masih bisa tersenyum lebar, masih 
mempunyai cadangan energi besar daripada yang sudah bekerja 10 jam. Menghadapi 
demonstrasi yang keras dan pada saat yang tidak lazim, seperti peristiwa Unas, 
sungguh membutuhkan energi kesabaran atau self-control yang kuat.

Polisi telah memasang harga tinggi bagi pekerjaannya, yaitu "melindungi dan 
melayani", seperti umumnya polisi di dunia. Bahkan, polisi Belanda berkata 
lebih puitis, "Kita bekerja supaya orang lain bisa tidur nyenyak." Jadi, pada 
hemat saya, standar perekrutan polisi itu harus sangat tinggi, bahkan lebih 
tinggi daripada anggota DPR, hakim, dan lain-lain, karena meliputi kecerdasan, 
kesabaran, ketabahan, dan kepedulian (compassion) (O2H : otot, otak, hati 
nurani). Polisi adalah "malaikat penjaga manusia". Maka, di Jepang, gaji yang 
diterima oleh polisi yang baru masuk (rookies) tidak boleh lebih rendah 
daripada pegawai bank yang juga baru masuk. Namun, lagi-lagi kita tahu bahwa 
polisi Indonesia adalah polisi sebuah negara miskin.

Polisi itu manusia, bukan robot. Kalau secara terus-menerus rakyat berempati 
terhadap mereka, saya yakin bahwa hatinya yang keras akan luluh juga. Konon di 
Hongkong, polisi yang berhasil membongkar kejahatan akan dielu-elukan oleh 
rakyat. Rakyat bisa bersemangat mengumpulkan uang untuk diberikan kepada 
polisi. Akan tetapi, kalau polisi terus-menerus disumpahi sebagai "babi" (pig) 
seperti di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, akan menimbulkan semacam 
trauma juga di kalangan mereka.

Kekuatan dengan empati

Polisi yang protagonis itu ikut berada di pihak rakyat, dalam arti merasakan 
harapan-harapan dan penderitaan mereka. Mereka memang satu-satunya penegak 
hukum yang boleh menggunakan kekuatan fisik. Namun, menggunakan kekuatan dengan 
empati dan compassion berbeda dengan menggunakan kekuatan telanjang (brute 
force) begitu saja.

Polisi-polisi dengan kapasitas intelektual tinggi juga memiliki daya serap yang 
lebih tinggi terhadap gagasan-gagasan yang mulia. Maka, semakin tinggi 
persyaratan menjadi polisi akan meningkatkan kualitas mereka. Penelitian di 
Amerika Serikat sudah membuktikan hal tersebut.

Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Pada waktu mendatang, penting bagi polisi 
untuk tidak melihat rakyat sebagai ada di sana dan bagi rakyat untuk menerima 
polisi sebagai bagian dirinya. Sayang kolom ini tidak menyediakan ruang lebih 
banyak untuk membicarakan masalah kepolisian dan perpolisian yang sungguh 
kompleks itu.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, 
Semarang

Reply via email to