Refleksi : Pada umumnya dalam sistem kenegaraan dengan politik pendidikan seperti di NKRI, sekolah bermutu dapat dikatakan hanya untuk orang berada. Sebab uang sekolah sangat besar dan keluarga tidak berduit atau keluarga miskin tidak mampu membayar. Bagi mereka ialah sekolah yang tidak masuk katagori tsb. yaitu yang ongkos tidak seberapa besar. Bagi yang tidak bisa bayar, yah dibilang maaf saja tidak ada tempat. Jadi sistem pendidikan NKRI memarginalisakan kaum berkekurangan atau miskin sekalipun pada sekolah tidak bermutu.
Di negeri-negeri yang berpolitik sistem masyarakat "welfare state" (negara bekemakmuran?) bukan duit keluarga yang menentukan apakah anak bisa masuk sekolah atau jurusan tertentu, tetapi kemampuan murid, sebab pendidikan gratis, mulai dari SD sampai universitas dan begitupun kalau mau membuat reserarch untuk PhD. Hal ini bisa dilihat di negeri-negeri Skandinavia, di negeri Europa Timur ex Komunis dan termasuk Cuba. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=253819 Apakah Sekolah Bermutu Hanya untuk Orang Kaya? ADALAH suatu kebanggaan bagi umumnya orangtua di Nusantara ini bisa menyekolahkan putra dan putri mereka. Suatu kepuasan apabila anak-anak bisa diterima di sekolah negeri. Apalagi dapat bersekolah di sekolah favorit. Tapi, meski zaman berganti, pemimpin negeri naik turun, para orangtua selalu saja dihadapkan pada berbagai masalah sulitnya menyekolahkan anak-anak mereka sesuai keinginan. Meski undang-undang menjamin setiap orang berhak memperoleh pendidikan, nyatanya hampir sepanjang masa di negeri ini masalah pendidikan tetap menjadi persoalan bagi banyak rumah tangga. Tentunya dalam ukuran dan skala berbeda. Bagi sedikit orang, urusan sekolah bagi anak-anak dan anggota keluarga mereka bisa diatasi dengan mudah karena berkocek tebal atau termasuk kalangan berpengaruh. Tetapi bagi banyak orang, sekolah kerap memusingkan. Pada era reformasi seperti sekarang urusan sekolah malah semakin rumit. Gembar-gembor pemerintah tentang sekolah gratis untuk sekolah dasar (SD) Negeri, sekolah menengah pertama (SMP) negeri, bahkan juga sekolah menengah atas (SMA) negeri nyatanya tak membuat kebanyakan para orangtua tenang. Kehadiran sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) justru menimbulkan ketimpangan, membuat terbentuknya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Begitu juga untuk masuk perguruan tinggi negeri, berbagai "hadangan" dihadapi para orangtua. Meski kerap disanggah pihak Kementerian Pendidikan Nasional dan berbagai sekolah pelaksana RSBI atau SBI sendiri, nyatanya sekolah berlabel internasional seperti menutup pintu bagi murid yang berasal dari keluarga kurang atau tidak mampu. Label internasional telah mendorong penyelenggara sekolah tersebut menentukan besaran uang masuk atau dana sumbangan pendidikan (DSP), di samping bebas memungut sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) per bulannya. Besar DSP bervariasi dari Rp 1 juta di daerah/kota pinggiran sampai Rp 28,5 juta di ibu kota Jakarta. Begitu pun dengan SPP, para siswa setiap bulannya membayar Rp 50 ribu hingga Rp 750 ribu. Jumlah tersebut jelas sesuatu yang sulit dijangkau kebanyakan orangtua di negeri ini. Artinya, sulit bagi siswa dari kalangan kurang mampu, apalagi tidak berada, bisa masuk dalam sekolah bertaraf internasional tersebut. Sebenarnya tidak menjadi masalah jika pemerintah memperhatikan sekolah negeri bukan RSBI dan SBI, terutama dalam hal mutu pendidikan. Jangan hanya urusan gratisnya (uang pangkal, uang bulanan) saja yang dikemukakan, tetapi urusan mutu dan kesungguhan tenaga pengajar juga harus diperhatikan. Jika tidak, tak salah ada yang berpendapat bahwa sekolah bermutu hanya diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya. Siswa dari keluarga miskin silakan cari sekolah lain. Jangan kembalikan urusan pendidikan seperti pada zaman penjajahan di mana sekolah-sekolah bermutu hanya terbatas untuk anak-anak orang Belanda dan etnis tertentu, atau anak-anak dari keluarga "berdarah biru". Persoalan ini mendesak dituntaskan. Pemerintah serta kalangan anggota legislatif sebagai wakil rakyat harus membela kepentingan rakyat, termasuk urusan pendidikan. Atau, mungkin pemerintah dan para wakil rakyat memang sudah sepakat bahwa sekolah bermutu hanya diperuntukkan bagi anak-anak orang kaya?***