Jawa Pos
 Minggu, 12 Juli 2009 ] 

Banyak Penyelewengan di Rumah Sakit Indonesia Timur 
KPK Perdalam Kasus Korupsi Alkes 2003 

JAKARTA - Penyidikan duga­an kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) 
tahun 2003 yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Ahmad Sujudi me­nemukan 
titik terang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan fakta baru bahwa 
peralatan yang dibeli di beberapa rumah sakit (RS) di kawasan Indonesia Timur 
itu tidak sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi S.P., setelah mendatangi RS di daerah, bukti 
penyi­dik dalam kasus korupsi tersebut makin kuat. Jumat lalu (10/7), penyidik 
KPK mendatangi RSUD Takalar dan RSUD Pangkep, Sulawesi Selatan. "KPK 
me­nu­gaskan penyidik untuk mengecek alat kesehatan itu apakah sesuai dengan 
spesifikasi saat tender dilakukan," ungkapnya kemarin. 

Sebelum ke Sulawesi Selatan, pe­nyidik mendatangi RSUD Sam­pit dan Poso. 
"Data-data pen­co­cokan alat di dua RSUD tersebut juga sudah terekam penyidik," 
ujarnya. Dalam penyelidikan di lapangan terungkap bahwa alkes ternyata tidak 
sesuai dengan spesifikasi yang telah di­ten­tukan Depkes. 

Penyidik juga menduga ada uang terima kasih dari para rekanan kepada para 
pejabat Depkes. Selain Ahmad Sujudi, komisi telah menetapkan dua tersangka 
dalam kasus itu. Mereka adalah mantan Direktur Kimia Farma Gunawan Pranoto dan 
Direktur PT Rifa Jaya Mulya Rinaldi Yusuf. Keduanya rekanan proyek tersebut. 
Hingga kini semua tersangka belum dijebloskan ke tahanan.

Sebelumnya, KPK mengungkapkan bahwa modus yang di­guna­kan dalam proyek 
pengadaan alkes yang merugikan negara Rp 71 miliar itu adalah penggelembungan 
harga. Alkes yang dibeli de­ngan dana APBN tersebut digunakan untuk RS di 
sejumlah daerah di Indonesia Timur.

Johan menambahkan, pengecekan alat-alat itu masih terus berlanjut ke beberapa 
RSUD lain di ka­wasan Indonesia Timur. "Ini un­tuk memperkuat penyidikan yang 
telah kami lakukan," jelasnya. Hanya, Johan tak menyebutkan RSUD yang akan 
didatangi penyidik KPK tersebut. 

Awalnya, penyidik beranggap­an bahwa pengadaan alat kesehatan di kawasan 
Indonesia Ti­mur yang menelan dana Rp 190 miliar itu tak sesuai dengan 
ke­butuhan alias mubazir. "Hasilnya memang cocok. Bahkan, banyak juga alat yang 
telah dibeli tak terpakai," ujarnya. (git/iro)

Reply via email to