http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=159229
Selasa, 3 Juni 2008 Belajar Tidur pada Gelandangan Oleh : Padmi J. Chendramidi Ada baiknya kita perlu belajar tidur pada gelandangan yang sering kita lihat di depan toko-toko dan sudut-sudut kota ini. Hari telah beranjak siang, tapi sekelompok gelandangan itu masih bisa tidur nyaman. Tidur seperti bayi dengan raut muka bahagia, tak peduli panas menyengat, tak cemas akan bahaya dan tak khawatir pada pemilik toko yang sewaktu-waktu bisa menyiram air untuk membangunkannya. Ada pula gelandangan yang tidur nyenyak di ruangan ber AC dan disamping tumpukan uang puluhan juta rupiah, ya karena ia tidur pulas di bilik ATM. Pendek kata si gelandangan ini tampil gagah, mengagumkan dan membuat iri justru pada saat ia tidur ketimbang ketika ia bangun yang ada hanya memancing rasa iba belaka. Betapa selalu tersisa bahagia dibalik derita. Kualitas tidur yang dimiliki gelandangan ini seakan menyindir kita yang kadang-kadang tidur dalam kecemasan atau bahkan sulit tidur, orang dengan tingkat kecemasan tinggi sangat berbahaya, jemuran berkelebat dirasa hantu lewat, klakson mobil disangka trompet Isroil, kecemasan itu dapat menular, menjalar dan menjadi wabah seperti SMS santet. Melimpahnya virus-virus kecemasan di negeri ini pasti menggambarkan betapa melimpahnya orang hidup dalam kecemasan. Harga BBM naik adalah awal virus insomnia massal bangsa ini. Bahwa harga sembako ikut melonjak adalah musibah berikutnya, bahwa operator dan pemakai jasa transportasi menjerit adalah derita selanjutnya, bahwa tarif listrik naik adalah tragedi yang menyertai dan tim Piala Thomas dan Uber kalah adalah penyempurnanya. Walaupun yang terakhir itu tidak ada urusan dengan kenaikan BBM, tetapi itu masih termasuk penderitaan yang dialami bangsa ini. Sementara kenaikan BBM belum selesai membuat huru-hara, jauh didalam hutan sana, penjarahan kayu terjadi semena-mena, para aparat "kaget" dan baru bertindak setelahnya. Kabar yang lain memperlihatkan penyelamatan dan memperkaya diri yang berlebihan, demi mendengar berita BBM akan naik banyak orang bertindak primitif dan membabi buta dengan mulai menimbun kebutuhan orang banyak dengan alasan uang. Berhala mana yang menyuruhnya menumpuk beras, BBM, gula bahkan pupuk bersubsidi di gudang kerakusannya. Pada saat yang sama pula televisi gencar mengabarkan sirine ketegangan di berbagai kota, polisi bentrok dengan mahasiswa, mahasiswa bertukar lancung dengan mahasiswa, pol PP berseteru dengan pedagang, apa hasilnya? Bukankah kabar itu adalah informasi yang berharga untuk kita? Oo belum tentu, kabar itu malah membuat masyarakat capek dan menderita, bayangkan betapa mahal ongkos mental masyarakat Indonesia jika setiap kali cuma dicekoki dengan berita derita. Tapi tenanglah saudaraku, ambil jarak sedikit dan tariklah napas panjang, bicara derita bukankah kita sudah terbiasa, korupsi dan kebohongan dari dulu hingga kini terus terjadi sudah menjadi kebiasaan, kolusi dan persekongkolan jahat sudah sering dipraktekkan. Itu semua sudah menjadi tragedi harian dan karena sering maka dianggap tragedi yang nilainya biasa-biasa saja. Sebuah tragedi baru dianggap berkelas kalau gempa dan tsunami itu datang lagi. Lalu sampailah kita pada imajinasi bahwa jika sejarah bangsa itu hanya akan terus terulang, maka ada baiknya kita tidak terlalu berlebihan menikmati perubahan dari sulit, sedikit makmur dan sulit lagi, imajinasi itu kemudian bereskalasi, membesar dan menakutkan bahwa bangsa ini menjadi semacam laboratorium derita, segenap derita yang bangsa lain tak kuat menanggungnya, akan diujicobakan kepada kita. Pendek kata, kita adalah umat percontohan untuk hal derita, kekacauan dan karut marut. Sudahlah, dalam krisis ini kita memang sedang tidak bisa berharap kepada hampir "siapa saja" kecuali Tuhan, kita boleh krisis apa saja asal tidak krisis kepada diri sendiri. Tidak perlu sampai kesurupan berebut keselamatan diri sendiri, ingat keselamatan diri sangat ditentukan oleh keselamatan orang lain. Kita perlu melawan semangat zaman yang buruk ini dengan kerja nyata, begitu kata Mohamad Sobary, budayawan dari Bantul itu. Bersama kita ambil langkah-langkah kecil dan lokal dengan dukungan kebudayaan lokal, niscaya kita akan mampu melewati krisis, katanya. Akhirnya, akan makin banyak persoalan yang membuat manusia Indonesia akan makin susah tidur. Dalam keadaan semacam ini, maka kualitas tidur gelandangan di atas adalah sesuatu yang bikin iri. Tidur mati, seperti bayi. Dan hanya orang-orang yang punya sedikit beban dan persoalan saja bisa tidur sehebat itu. Tapi alangkah celakanya jika hanya untuk bisa tidur nyenyak, kita harus lebih dulu menjadi gelandangan.