republika
Jumat, 08 Februari 2008

Belajar dari Pak Harto 
Oleh : Zaim Uchrowi 

Pernah saya kecewa pada diri sendiri soal Pak Harto. Waktu itu tahun 1991, saat 
di Tanah Suci. Waktu yang sama dengan ketika Pak Harto naik haji. Sejak tiba di 
Makkah, sebuah gagasan terus-menerus terpikirkan. "Saya harus bertemu Pak 
Harto," kata batin ini. Kata-kata untuk Pak Harto pun tersusun jelas. Tinggal 
mengemukakannya bila kesempatan itu tiba.

"Alhamdulillah, Bapak sekarang berkesempatan menunaikan ibadah haji. Agar haji 
Bapak lebih sempurna, saya mohon Bapak menghentikan pembangunan makam Astana 
Giribangun. Akan lebih utama bila kelak Bapak dimakamkan di Taman Makam 
Pahlawan. Nisannya sederhana, sama dengan nisan lainnya. Rumput tumbuh di 
kiri-kanannya. Makam Bapak juga akan disinari matahari sepanjang hari."

Beberapa kali saya mengulang kalimat itu. Buat meyakinkan diri bahwa pesan 
itulah yang akan tersampaikan. Kadang memang muncul keraguan. Mungkinkah 
mengatakan itu pada Pak Harto. Orang-orang penting pun hanya mampu terdiam dan 
mengangguk-angguk di hadapan negarawan besar ini. Apalagi saya. Tapi, bukankah 
keraguan tak boleh dibiarkan berlama-lama. Ini di tanah Suci. Saat beribadah 
haji pula. Semua orang menjadi sederajad. Maka, saya yakin mampu mengatakan itu 
langsung pada Pak Harto. Saya percaya Allah akan menolong. Bersungguh-sungguh 
saya pun berdoa: "Pertemukan hamba dengan Pak Harto ya Allah."

Doa itu ternyata makbul. Pak Harto masuk ke tenda tempat saya wukuf di Arafah. 
Setelah bertegur sapa dengan beberapa orang, Pak Harto bahkan melangkah ke arah 
saya. Saya berdiri mencegat di hadapan Pak Harto. Cuma semeter lagi jaraknya. 
Saya tatap wajah Pak Harto sebelum mengatakan kata-kata itu. Namun, ya Allah, 
wajah Pak Harto begitu berwibawa. Senyum lembutnya itu benar-benar mengunci 
rapat bibir saya.

Tak sedikit pun kata yang terucapkan. Cuma bersalaman, meminggirkan badan, dan 
membiarkan Pak Harto lewat begitu saja yang dapat saya lakukan. Baru belakangan 
saya menyadari keliru. Doa saya hanya doa minta dipertemukan pada Pak Harto. 
Bukan agar mampu menyampaikan pesan itu.

Toh saya belajar pula dari pertemuan itu. Setidaknya belajar untuk tahu betapa 
penting berwibawa. Beberapa tahun kemudian, yang saya pelajari lebih dari itu. 
Victor Limlingan mengatakan 'belajarlah dari Soeharto'. Ia dosen saya di Asian 
Institute of Management, Filipina. Ia mengajarkan strategi pembangunan. 
Menurutnya, strategi pembangunan Soeharto sangat bagus. 

Dagu para mahasiswanya terdongak. "Apa bagusnya Soeharto?" Mereka memandang 
Soeharto sebagai wajah rezim otoriter. Serupa dengan Marcos dulu di Filipina. 
Tapi, Limlingan punya alasan jelas. Strategi baik harus sangat sederhana. 
Karena sangat sederhana, orang idiot pun mampu menjalankannya. Tak perlu 
menunggu kehadiran orang hebat. Strategi pembangunan Indonesia disebutnya 
seperti itu. "Maaf, ya Zaim. Kualitas pegawai negeri Indonesia pas-pasan. Tapi, 
pembangunannya ternyata berjalan baik. Itu berarti strategi pembangunan 
Soeharto bagus."

Saya setuju itu. Barangkali dalam pembangunan Pak Harto cuma kalah efektif dari 
Park Chung-hee dan Lee Teng-hui. Sebuah kekalahan yang dapat dimaklumi. Korea 
Selatan dan Taiwan jauh lebih sederhana dan kecil dibanding negeri ini. Saya 
mulai menyimak strategi pembangunan Pak Harto. Soal pendidikan, kesehatan, 
pertanian, hingga kependudukan. Dengan cara sederhana, ia mampu menyejahterakan 
rakyat. Saya mempelajari itu. Termasuk dari Pak Haryono Suyono dan Pak Harmoko. 
Dua pembantu Pak Harto yang efektif justru karena pendekatan sederhananya.

"Saya ingin menulis buku tentang Pak Harto," kata saya, tiga tahun silam. Itu 
saya nyatakan pada Pak Maftuh Basyuni. Sosok yang cukup lama menjadi pembantu 
langsung Pak Harto. Bukan buku tentang pribadi. Namun, buku tentang manajemen 
pembangunan Pak Harto. Bukan buku untuk mencaci atau memuji. Tapi, buku yang 
membuat diri saya sendiri, juga bagi semua yang peduli pada masa depan bangsa 
ini, bisa belajar bersama: 

Bagaimana sebaiknya memajukan bangsa ini? Apa langkah besar Pak Harto yang 
perlu diteruskan lagi? Apa yang masih harus direvisi? Ternyata Pak Harto 
berpulang sebelum buku itu tertuliskan. Semoga ilmu pembangunannya masih dapat 
tergali meski jasadnya telah terkubur di Astana Giribangun (bukan di Taman 
Makam Pahlawan yang dulu saya harapkan). Jika ilmu itu tergali, bangsa ini akan 
berhenti mencaci dan memuji. Namun, bangsa ini akan belajar bagaimana dapat 
menjadi lebih baik esok hari. 

Kirim email ke