http://202.169.46.231/spnews/News/2009/03/02/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Berobat ke Luar Negeri
 

Kartono Mohamad 

 


Masalah orang Indonesia yang (senang) berobat ke luar negeri sering menjadi 
bahan kritikan. Tidak kurang Menteri Kesehatan sendiri mengkritik kebiasaan 
tersebut dan kemudian memutuskan untuk membangun sayap khusus di RSCM guna 
menampung orang Indonesia yang senang berobat ke luar negeri dan juga 
diharapkan mengundang orang asing untuk berobat ke Indonesia. 

Pemerintah barangkali beranggapan bahwa orang Indonesia pergi berobat ke luar 
negeri, karena fasilitas dan peralatan di rumah sakit Indonesia kurang memadai, 
sehingga penyelesaiannya adalah dengan menyediakan sayap khusus yang dilengkapi 
dengan sarana perawatan dan peralatan mutakhir. 

Tetapi, benarkah kebiasaan orang Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri 
hanya karena menganggap peralatan di rumah sakit kita tidak mutakhir? Ataukah 
karena dokter kita kurang mampu, karena mereka tidak meng-update pengetahuan 
dan keterampilannya? Ataukah karena biaya berobat di luar negeri lebih murah? 
Apa pun alasannya, gejala orang Indonesia yang senang berobat ke luar negeri 
menunjukkan adanya kekurangpercayaan mereka kepada pelayanan di dalam negeri. 
Bahkan, Menteri Kesehatan sendiri memilih berobat ke Jepang untuk dirinya 
sendiri daripada berobat dengan sesama dokter di Indonesia. 


Transplantasi 

Dalam hal peralatan, sebenarnya sudah ada beberapa rumah sakit di Indonesia 
yang memiliki peralatan yang mutakhir, meskipun itu rumah sakit swasta. 
Sehingga alasan ber- obat ke luar negeri, karena faktor peralatan, sebenarnya 
kurang kuat. Kecuali untuk transplantasi. Tetapi, masalah transplantasi ini 
jadi faktor utama adalah karena tidak tersedianya donor dan belum adanya aturan 
yang jelas mengenai hal itu. 

Faktor lain yang mendorong orang Indonesia memilih berobat ke luar negeri 
adalah biaya. Pengalaman beberapa teman menunjukkan bahwa dalam hal biaya, 
berobat ke luar negeri tidak selalu lebih mahal, bahkan harga obat ada kalanya 
lebih murah di luar negeri, daripada di Indonesia. Teman saya membeli obat 
Xalatan untuk glaukoma seharga Rp 450.000 di Indonesia, sedangkan di Singapura 
seharga 45 dolar Singapura atau sekitar Rp 300.000. Selain itu, berobat ke 
Singapura atau Malaysia juga menjadi lebih murah bagi penduduk Sumatera, 
daripada kalau mereka berobat di Jakarta, sementara Medan belum siap untuk 
melayani mereka. Dengan hapusnya fiskal perjalanan ke luar negeri, seandainya 
tidak ada krisis ekonomi, akan makin banyak orang Indonesia pergi berobat ke 
luar negeri. 

Faktor lain dan yang sering dilupakan oleh para penyedia pelayanan, adalah 
hospitality, perhatian dan kemampuan para dokter dan penyedia pelayanan 
kesehatan Indonesia untuk berkomunikasi dengan pasien secara manusiawi. Sudah 
bukan rahasia bahwa banyak dokter spesialis yang melakukan visite pada jam-jam 
yang seharusnya pasien beristirahat, dan itu pun hanya semacam absensi tanpa 
melihat, apalagi berkomunikasi dengan pasien. Juga belum menjadi kebiasaan bagi 
dokter Indonesia untuk bekerja sebagai tim, kalau untuk pasien diperlukan 
pemeriksaan oleh berbagai spesialis. Tidak ada komunikasi di antara mereka dan 
masing-masing memberikan terapi yang berbeda tanpa melihat terapi yang 
diberikan oleh teman sejawatnya. Akibatnya, terjadi pengobatan polifarmasi 
tanpa mempertimbangkan interaksi dan efek samping yang dapat terjadi. 


Kelemahan 

Dalam hal komunikasi dan hospitality harus diakui dokter-dokter kita masih 
lemah. Mungkin dilatarbelakangi oleh arogansi, oleh kelemahan menggunakan 
bahasa atau karena ingin menutupi kelemahan sendiri. Memang kosakata bahasa 
pergaulan kita sangat kurang memadai. Misalnya, tidak ada kata yang tepat untuk 
menggantikan please. Dokter di negara lain tidak akan merasa hina untuk 
mengatakan will you hold your head down for me, please?. Kalimat itu sulit 
untuk diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Apalagi, kalau sudah ditutupi oleh 
arogansi, karena merasa kelasnya lebih tinggi dibanding pasien. 

Dari segi perilaku dokter dan penyedia pelayanan perawatan inilah yang 
dilupakan ketika kita mau mengundang agar orang Indonesia tidak berobat ke luar 
negeri, atau bahkan menarik orang luar negeri agar berobat ke Indonesia. 







Dan arogansi itu pula yang membuat para dokter dan penyedia pelayanan perawatan 
enggan mengakui kelemahan itu, apalagi memperbaikinya. 

Mengapa orang luar negeri tidak berobat ke Indonesia? 

Jika kita mencoba menyediakan rumah sakit yang dapat menarik orang luar negeri 
agar berobat ke Indonesia, mungkin kita akan kecewa. Orang-orang Singapura, 
Australia, atau mungkin juga Malaysia enggan berobat ke negara lain, karena 
mereka dijamin oleh asuransi kesehatan di negaranya, sehingga tidak perlu 
mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Selain itu, di negerinya juga 
diberikan pelayanan kesehatan yang terjaga mutu dan keramahannya. Oleh karena 
itu, dalam hal medical tourism bagi negara-negara tersebut, termasuk Thailand, 
yang mereka bidik adalah pasien-pasien dari Indonesia dan Amerika Serikat, yang 
tidak terlindungi asuransi kesehatan nasional. Bagi orang Amerika yang tidak 
terlindungi asuransi akan lebih murah berobat ke Thailand, Malaysia atau 
Singapura (atau bahkan Indonesia kalau kita mampu bersaing) daripada di Amerika 
sendiri. Sebaliknya akan sangat jarang orang-orang Jepang, Singapura, 
Australia, Inggris, dan Eropa berobat ke luar negeri karena sistem jaminan 
kesehatan mereka sudah bagus, baik dari segi asuransi maupun pelayanannya. 

Sekarang ini, karena kurang percaya pada mutu pelayanan Indonesia, beberapa 
negara asing justru mendirikan rumah sakit khusus di Indonesia, untuk menampung 
warganya yang sakit di Indonesia. Hal yang tidak terjadi di Jepang atau 
Singapura. Yang lain akan memilih mengirim ke Singapura atau Australia. 
Membangun kepercayaan ini jauh lebih penting dari sekadar menyediakan ruang 
yang mewah dan teknologi yang canggih. 

Maka, kalau kita ingin mengurangi orang Indonesia berobat ke luar negeri, yang 
harus dibenahi adalah sistem asuransi kesehatan yang universal dan memulihkan 
kepercayaan rakyat melalui perbaikan sikap penyedia pelayanan dan mutu 
pelayanannya. Kalau semua itu tersedia di dalam negeri, maka orang Aceh dan 
Sumatera Utara mungkin lebih memilih berobat ke Medan, daripada Kuala Lumpur 
atau Penang. Sumatera Selatan tidak perlu memilih ke Singapura, tetapi ke 
Jakarta, misalnya. Para petinggi kita juga harus terlebih dahulu memberikan 
contoh, dari presiden, menteri, gubernur, sampai bupati. 

Kalau tujuan membuat sayap khusus itu ditujukan untuk menarik orang asing di 
Indonesia, mungkin kita akan kecewa, kecuali kalau kita membolehkan 
dokter-dokter dan perawat asing bekerja di sayap itu. Pada umumnya, mereka 
masih kurang percaya kepada dokter Indonesia. Sayap internasional di RS Sanglah 
(Bali) memang cukup laku, tetapi pada umumnya untuk keadaan yang dianggap 
darurat bagi para wisatawan asing. 

Kalau kita ingin menarik orang Amerika untuk berobat ke Indonesia, maka masalah 
yang harus ditata akan lebih kompleks karena kita harus bersaing dengan 
Thailand dan Singapura yang sudah lebih dikenal dan dianggap lebih aman bagi 
orang Amerika. 

Penulis adalah mantan Ketua Umum PB IDI 



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 2/3/09 

<<kartonom.gif>>

<<02beroba.gif>>

Reply via email to