http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=19831

Bumi dan Peran Kita

Oleh T. Djamaluddin

BANJIR kini telah menjadi hal yang hampir selalu terjadi setiap hujan dalam 
skala kecil maupun besar. Walau kecil, banjir cileuncang telah menyusahkan 
banyak orang, setidaknya memacetkan lalu lintas dan menyusahkan penghuni di 
sekitarnya. Jalan dan gang banyak yang berubah menjadi sungai deras saat hujan 
lebat. Kadang kita menyalahkan pihak lain, tanpa mau menyadari bahwa bisa jadi 
kitalah salah satu pihak yang menyebabkannya. Sampah yang kita buang sembarang 
telah menyumbat saluran air dan resapan di halaman kita telah tertutup lapisan 
semen.

Kota juga semakin terasa panas dan pengap. Kicau burung semakin langka. 
Pendingin udara semakin menjadi kebutuhan vital di kota-kota besar. Lagi-lagi 
kita sering menyalahkan pihak lain sebagai penyebabnya, tanpa mau menyadari 
bahwa bisa jadi kita salah satu penyebabnya. Pohon sering dianggap pengganggu 
sehingga dibiarkan mati di pinggir jalan atau ditebang saat membangun rumah, 
tanpa menggantikannya. Halaman rumah dibiarkan gersang sekadar karena alasan 
lahan sempit dan sibuk.

Sering kita berpikir terlalu global dan mengabaikan hal kecil yang ada di 
sekitar kita. Padahal, kita bisa berbuat banyak sesuai peran masing-masing 
untuk menyelamatkan lingkungan bumi kita. Ketika sampah menggunung, kita hanya 
berharap pemerintah yang menyelesaikan, padahal kita bisa juga membantu 
menyelesaikannya, setidaknya dengan mengurangi sampah yang dibuang.

Tiga contoh kecil itu sekadar pembuka kesadaran pentingnya kepedulian kita pada 
lingkungan untuk tujuan yang lebih besar, penyelamatan planet bumi. Bukan untuk 
kepentingan planet bumi tentunya, melainkan untuk kita sendiri dan anak-anak 
kita. 

Setidaknya, peringatan Hari Bumi 22 April dan pencanangan Tahun Internasional 
Planet Bumi sebagai momentum yang tepat untuk kembali merenungkan posisi kita 
masing-masing. Tidak sekadar berharap pihak lain yang berbuat untuk kita, 
tetapi kembalikan tanyakan apa yang bisa kita perbuat.

Menyelamatkan bumi

Hari Bumi 22 April diperingati oleh banyak negara untuk mengingatkan pentingnya 
penyelamatan bumi. Ini diawali dengan keprihatinan makin meluasnya kerusakan 
lingkungan di Amerika Serikat. Kemudian, aktivis lingkungan, Senator Gaylord 
Nelson, menggalang Hari Bumi di Amerika Serikat pada 22 April 1970 yang diikuti 
lebih dari 20 juta orang. Siswa SD sampai mahasiswa serta masyarakat umum 
bersatu dalam demonstrasi menuntut pembenahan lingkungan. Gerakan berhasil 
membangun kesadaran masyarakat dan mendobrak tradisi proses politik yang 
terkait dengan penyelamatan lingkungan.

Hasilnya luar biasa. Banyak undang-undang tentang lingkungan hidup kemudian 
berhasil dikeluarkan. Badan perlindungan lingkungan AS didirikan. Keberhasilan 
itu kemudian diikuti oleh banyak negara.

Hari Bumi 2008 punya arti lebih penting karena tahun 2008 telah dicanangkan 
oleh Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagai Tahun Internasional 
Planet Bumi. Dengan pencanangan itu diharapkan adanya upaya peningkatan 
kesadaran akan peran ilmu-ilmu kebumian dalam mencapai pembangunan 
berkelanjutan dan mendukung langkah-langkah lokal, nasional, regional, dan 
internasional. 

Bumi makin rusak

Secara kasat mata kita merasakan betapa bumi kita makin rusak. Sekadar contoh, 
hasil-hasil kajian peneliti di Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, 
Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) memberikan gambaran 
kerusakan yang perlu diwaspadai semua pihak. Pemerintah, lembaga legislatif, 
dan masyarakat perlu merenungkannya untuk mengambil langkah yang tepat.

Kajian perubahan suhu di Jakarta menunjukkan bahwa dalam 100 tahun (tahun 
1901-2002) suhu cenderung terus naik. Pada awal 1900-an suhu rata-rata di 
Jakarta sekitar 260 C, pada awal 2000-an mencapai sekitar 280 C. Penelitian 
lebih rinci dengan data satelit di beberapa kota besar menunjukkan 
kecenderungan pemanasan kota yang disebut urban heat island (pulau panas 
perkotaan). Disebut pulau panas karena pemanasan hanya bersifat lokal di tengah 
kota dengan daerah sekitarnya relatif lebih dingin. Pemanasan kota lebih 
disebabkan berkurangnya tanaman dan bertambahnya bangunan serta jalan beraspal.

Di Bandung, daerah panas dengan suhu tinggi 30-350 C yang umumnya terletak di 
sekitar pusat kota bertambah dengan laju per tahun 4,47% atau kira-kira 12.606 
ha. Laju pertambahannya di Semarang 8,4% (12.174 ha) dan di Surabaya 4,8% 
(1.512 ha). Hal ini terkait dengan laju pertumbuhan per tahun kawasan terbangun 
di Bandung 0,36% (1.029 ha), di Semarang 0,83% (1.200 ha), dan di Surabaya 
1,69% (531 ha).

Perkembangan pembangunan yang berdampak pada peningkatan polusi udara juga 
berpotensi meningkatkan keasaman air hujan. Fenomena hujan asam perlu 
diwaspadai karena terkait dengan potensi kerusakan pada bangunan dan usaha 
pertanian. Pengukuran keasaman hujan asam di Bandung mulai memberi sinyal lampu 
kuning. Sejak 1996 air hujan di Bandung cenderung berada di bawah batas 
keasaman dan mulai mengindikasikan fenomena hujan asam. Bahkan, pada tahun 
1999-2000 mencapai batas terendah dengan keasaman (pH) sekitar 4 yang mungkin 
juga sebagian disebabkan oleh sumber-sumber dari gunung berapi. Sulfur dioksida 
dan nitrogen dioksida dari polusi udara dari kendaraan bermotor dan industri 
menjadi faktor yang perlu diwaspadai dari fenomena hujan asam.

Curah hujan rata-rata di Jawa Barat dan Banten ada kecenderungan berkurang, 
dari 2.596 mm pada 1901-1930 menjadi 2.215 mm pada 1973-2002. Secara spasial, 
daerah yang mengalami penurunan curah hujan terutama di daerah Jawa Barat 
bagian selatan. Banyak faktor yang berpengaruh, selain faktor lokal dan 
regional, sangat mungkin juga dipengaruhi faktor global.

Secara global diyakini perubahan iklim telah terjadi akibat pemanasan global 
yang terkait peningkatan gas rumah kaca (terutama CO2) akibat aktivitas 
manusia. Suhu rata-rata global makin panas, naik sekitar 0,70 C dalam 50 tahun. 
Tampaknya kenaikannya kecil, tetapi diduga kuat berperan pada peningkatan 
tinggi permukaan air laut dan mencairnya es di kutub. Bila emisi CO2 dari 
industri, transportasi, dan aktivitas manusia lainnya terus bertambah, 
sedangkan hutan sebagai penyerap CO2 makin berkurang, bumi akan makin panas dan 
curah hujan juga berubah. 

Bila itu terjadi, Indonesia bagian utara cenderung akan makin tinggi curah 
hujannya, sedangkan Indonesia bagian selatan (termasuk Jawa) cenderung 
berkurang curah hujannya. Dengan suhu makin tinggi produksi padi dan jagung 
juga cenderung menurun, kecuali bila ditemukan bibit unggul baru.

Mari berbuat

Kecenderungan makin rusaknya bumi, baik dalam skala lokal maupun global, bukan 
sekadar wacana ilmiah. Perlu langkah konkret untuk mengatasinya. 
Langkah-langkahnya mulai dari lingkup global, nasional, regional, sampai lokal, 
bahkan personal. Kalau kita biarkan, potensi bencana mengancam kita, manusia 
saat ini maupun generasi anak-anak kita.

Di tingkat global telah diupayakan perjanjian-perjanjian internasional untuk 
penyelamatan bumi. Misalnya, Protokol Montreal untuk perlindungan lapisan ozon 
dan Protokol Kyoto untuk pengendalian pemanasan global walau masih ada kendala 
pelaksanaannya. Di tingkat nasional perlu terus diupayakan adanya peraturan 
perundangan yang menjamin kelestarian hutan, tata guna lahan yang ramah 
lingkungan, pengendalian pencemaran, dan segala aspek lainnya yang berorientasi 
pada pembangunan berkelanjutan demi penyelamatan bumi dan kehidupannya.

Menjelang Hari Bumi 22 April ada berita menggembirakan dengan disahkannya 
Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah. Beberapa aspek mendasar serta 
strategis yang ditekankan dalam UU ini antara lain adanya kewajiban pengelola 
kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, tempat 
umum, tempat sosial juga bagi tempat-tempat lainnya untuk menyediakan fasilitas 
pemilahan sampah. Ada juga larangan bagi masyarakat membuang sampah tidak pada 
tempatnya atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis 
pengelolaan sampah.

Pembuat kebijakan tentu berperan pada langkah-langkah strategis pada lingkup 
global, nasional, dan lokal kota/kabupaten. Akan tetapi, aksi penyelamatan bumi 
bisa juga pada lingkup personal. Setidaknya perilaku individual itu dapat 
mengurangi kerusakan lingkungan secara langsung atau tidak langsung dari 
perubahan perilaku masyarakat secara kolektif.

Perubahan perilaku individu dan masyarakat terkait dengan sampah sangat penting 
ditekankan. Sikap egois dan tidak peka terhadap masalah lingkungan masih sering 
dijumpai sehingga seenaknya membuang sampah di mana saja. Perilaku untuk 
memilah sampah dalam konteks 3R (reduce, reuse, recycle atau kurangi, pakai 
ulang, daur ulang) perlu terus diupayakan. Pemilahan mulai tingkat rumah tangga 
bukanlah hal yang rumit bila dibiasakan. Menyediakan tiga tempat sampah di 
rumah dapat mengurangi masalah sampah. Sampah organik bisa sekadar ditimbun di 
halaman dengan lubang bergilir untuk menyuburkan tanah. Sampah yang bisa didaur 
ulang (misalnya kertas, karton, dan botol) bisa diserahkan kepada pemulung atau 
pengumpul sampah daur ulang. Tempat sampah ketiga untuk sampah lainnya. Dengan 
pembiasaan kita pasti bisa berdisiplin agar saluran air tak tersumbat sampah 
dan gunung sampah tak pernah terjadi lagi.

Tanam dan pelihara pohon harus diintensifkan untuk mengurangi dampak pemanasan 
karena efek gas rumah kaca lokal maupun global. Pohon akan menyerap CO2 di 
udara untuk diubah menjadi batang, daun, dan buah. Dengan berkurangnya CO2, 
udara panas dari permukaan bumi dapat langsung dilepaskan ke angkasa tanpa 
hambatan. Semakin besar dan semakin banyak pohon dipelihara, semakin baik 
pengurangan pemanasan kota dan global. Namun, dalam skala kecil pun, tanaman 
dalam pot yang ditempatkan di dalam dan sekitar rumah dan gedung perkantoran 
dapat menciptakan efek pendinginan selain menambah unsur keindahan.

Penghematan listrik bukan hanya faktor ekonomi, melainkan juga faktor penting 
dalam penyelamatan lingkungan bumi. Saat ini pembangkit listrik banyak yang 
bergantung pada bahan bakar minyak dan batu bara. Pembakaran bahan bakar minyak 
dan batu bara berpotensi memperbanyak emisi CO2 yang menambah pemanasan bumi. 
Pada lingkup individu, kita bisa berbuat dengan menggunakan listrik secara 
bijak. Lampu dan AC hanya digunakan bila diperlukan. Gunakan sebanyak mungkin 
cahaya alami dan upayakan sistem pendinginan sirkulasi udara alami.

Di perkantoran selain mengupayakan penanaman pohon, pemilahan sampah, dan 
penghematan listrik, upaya penyelamatan bumi bisa dengan penghematan penggunaan 
kertas. Secara umum, semakin banyak kertas digunakan akan semakin banyak pohon 
ditebang sebagai bahan baku kertas. Jadi jika tidak diperlukan, jangan membuat 
cetakan dokumen. Gunakan transfer informasi tertulis secara digital.

Contoh-contoh itu hanyalah sebagian kecil langkah yang bisa kita lakukan dalam 
menyelamatkan planet bumi. Bencana atau ketidaknyamanan yang kita alami dan 
saksikan akibat kerusakan lingkungan bumi tentunya tidak kita inginkan makin 
parah. Kasih sayang kita pada anak-anak harus kita wujudkan dengan mewariskan 
lingkungan bumi yang lebih baik. Kota yang semakin hijau dan sejuk. Sungai yang 
semakin bersih dan tertata. Udara yang semakin segar dan langit semakin biru.***

Penulis, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lapan Bandung.

Kirim email ke