Refleksi : Tidak mengherankan kalau anggota DPR malas bersidang, sebab selain DPR adalah Dewan Penipu Rakyat, juga DPR bukan instansi kesatuan militer. Kalau di militer, prajurit yang rajin bisa naik pangkat sampai jenderal, contohnya Pak Harto, dari prajurit tentara kolonial, kemudian sersan naik lagi jadi kapten, lantas kemudian terus naik-naik menjadi jenderal TNI berbintang-bintang dipundak dan di dada.
Tetapi, sebagai anggota DPR, jabatannya hanya 5 tahun, jadi dalam pikiran mereka buat apa merepotkan diri sebab situasinya seperti buruh kontrak. Setelah lima tahun habislah riwayat duduk di kursi empuk. Jadi ikut sidang atau tidak, gaji, tunjangan jalan terus. Gaji dan suapan dari sana sini ditabung, bisa menjadi bekal goyang kaki selama hidup setelah 5 tahun bertugas. Bukankah mengumpul rejeki menjadi target utama untuk menjadi anggota DPR? Misalnya, waktu Pemilu lalu, banyak suami isteri bersama, anak, cucu, kakek, nenek, keponakan, paman etc semua ramai-ramai satu keluarga mencalonkan diri untuk dipilih menjadi anggota DPR. DPR adalah bisnis keluarga. http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini Hadar Navis Gumay DPR Makin Malas Bersidang Sabtu, 31 Juli 2010 Dalam ilmu ketatanegaraan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) biasa disebut parlemen. Parlemen sendiri berasal dari kata parle (bahasa Prancis) yang berarti 'bicara'. Karena itu, 'bicara' (menyuarakan) aspirasi rakyat adalah kewajiban para anggota DPR. Dan, salah satu cara untuk menyuarakan aspirasi rakyat tersebut adalah melalui persidangan secara berkala. Namun, bagaimana mungkin para wakil rakyat itu mampu memperjuangkan aspirasi rakyat jika mereka enggan menghadiri persidangan? Terlebih lagi, sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tugas untuk menghasilkan berbagai produk perundang-undangan yang di dalam mekanismenya harus dirumuskan melalui persidangan. Jadi, bagaimana mungkin para wakil rakyat itu mampu menyuarakan, apalagi memperjuangkan aspirasi rakyat, jika malas-malasan untuk hadir di persidangan? Kondisi macam ini sebenarnya terjadi bukan baru kali ini (pada DPR periode sekarang) saja. Para periode DPR sebelumnya, Badan Kehormatan (BK) DPR, yang seyogianya memiliki tanggung jawab mengawasi kinerja DPR, juga tidak mampu bekerja maksimal. Melihat fakta persoalan tersebut, akhirnya muncullah sejumlah wacana untuk mengatasi masalah malasnya anggota DPR mengikuti persidangan. Salah satunya melalui pemberlakuan absensi dengan menggunakan sistem elektronik (fingerprint). Masalahnya, apakah sistem tersebut benar-benar efektif untuk mendorong agar wakil rakyat rajin mengikuti persidangan? Ini masih perlu pembuktian. Dapatkah sistem tersebut mampu meminimalisasi anggota DPR yang suka bolos? Berikut ini petikan hasil wawancara wartawan Suara Karya Tri Handayani dengan Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay terkait masalah kinerja anggota DPR, di Jakarta, baru-baru ini. Menurut Anda, apakah sistem fingerprint bisa meningkatkan kinerja DPR? Sebenarnya tidak ada masalah kalau menggunakan sistem itu. Tapi, jika tidak diumumkan, siapa yang akan tahu, siapa saja nama-nama anggota yang bolos? Hanya internal DPR saja yang tahu. Berbeda jika hasilnya nanti diumumkan. Penerapan sistem itu memang cukup baik, tetapi akan tidak terlalu berguna bagi masyarakat, jika tidak diumumkan hasil akumulasinya. Yang penting, data absensi itu dibuka ke publik. Itu sebetulnya yang dapat membuat mereka malu. Jika yang tahu hanya orang-orang dari sekretariat, buat apa? Sebab, yang tahu itu internal atau teman-teman DPR lainnya. Jadi, seberapa efektif langkah itu mampu membuat jera anggota DPR yang suka membolos di persidangan? Harus diberikan satu upaya yang dapat membuat mereka kapok agar lebih rajin. Minimal yang perlu dilakukan adalah mengumumkan nama-nama itu. Dan, ini bukan pekerjaan yang sulit. Saat kita di sekolah pun dapat diketahui di dalam rapor itu ada keterangan berapa kali tidak masuk, izin maupun sakit. Nah, itu di DPR juga ada absensinya. Itu dapat diumumkan, dipasang, misalnya di website. Dengan demikian, dengan cara ini, masyarakat bisa secara langsung melihat siapa saja anggota DPR yang memang rajin atau malas. Dan, dengan cara ini pun, mereka akan merasa perlu lebih berhati-hati karena nantinya akan terlihat betul apakah mereka menjalankan tugasnya, menghadiri rapat atau tidak. Ada yang beranggapan, anggota DPR tidak hanya sekadar hadir di persidangan. Mereka juga dituntut kekritisannya selama persidangan. Memang. Tapi, untuk tahap awal, tidak perlu diperdebatkan dahulu apakah yang hadir itu jarang bicara. Yang sederhana saja dulu, bagaimana kehadirannya dapat diperbaiki. Jika mereka mau izin tidak ikut sidang, juga harus jelas alasannya. Itu nantinya juga dapat tertulis di absensi. Minimal langkah itu merupakan upaya pertama untuk meningkatkan kinerja DPR. Apakah perlu ada sanksi lainnya? Tentu saja. Kalau ini dinilai tidak cukup, dapat diberlakukan sanksi-sanksi tertentu, misalnya pemotongan gaji. Yang kita semua inginkan adalah kinerja mereka berjalan baik, termasuk produk-produk yang mereka hasilkan juga baik. Salah satu faktor yang menghambat kinerja DPR, misalnya, tidak mencapai kuorum saat sidang. Itu pada akhirnya dapat mengakibatkan keputusan yang akan diambil tertunda. Ini jelas akan mengganggu kinerja mereka. Dengan begitu, puncaknya dapat dilihat dari berapa jumlah legislasi yang bisa mereka hasilkan. Bisa jadi sangat minim. Jadi, mengumumkan nama-nama anggota DPR yang malas adalah langkah yang baik? Saya sangat setuju, harus ada cara yang berdampak dan membuat mereka jera. Yakni, dengan diumumkan secara terbuka dari absen tersebut. Itu biasa, orang diumumkan absensinya. Ini tidak sulit, sangat mudah. Cukup di website. Otomatis masyarakat akan tahu. Tapi, kendalanya tidak semua masyarakat membuka website. Tentu, tapi itu tetap akan berdampak. Misalnya, satu orang melihat website, lalu dia bisa bercerita ke banyak orang. Ada efek penyebarannya. Katakanlah, kita juga melakukan pengumuman di media secara khusus, tapi berapa banyak masyarakat yang baca koran. Sedangkan yang punya perhatian terhadap masalah ini, saya kira orang-orang yang punya banyak akses terhadap internet. Jangan sampai nanti karena harus membuat release, malah menambah beban lagi. Saya khawatir, jika seperti itu, maka hanya sebentar saja berjalannya. Kita ambil yang sederhana terkait daftar absen di tabulasia. Dari semua sidang, di tabulasi per minggu atau per bulan. Kalau di website sifatnya gratis, semua orang bisa melihat, termasuk media. Perkiraan saya itu efekti karena siapa yang mau ketahuan bahwa dia sering bolos sidang. Dengan diumumkan data absensi itu, maka anggota DPR yang bersangkutan tidak bisa lagi menyembunyikan identitasnya karena masyarakat bisa membuka data itu. Peran BK DPR? Kalau bergantung pada peran BK, kenyataan saat ini apa yang sudah dilakukan BK? Tidak ada. Misalnya, untuk laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) saja tidak beres kerjanya. Masih banyak anggota yang tidak lapor. Jadi, kalau kita serahkan pengawasan ini kepada BK, sulit rasanya bisa meningkatkan kinerja DPR.*