============ ========= ========= ========= ========= = 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= = 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Demokrasi Era Kuantum
Oleh : Yasraf Amir Piliang
Iklim demokratisasi di atas tubuh bangsa akhir-akhir ini menampakkan watak 
anomali, ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan tindakan para elite politik yang 
kian kehilangan tujuan.
Alih-alih menjadi agen pembangun karakter, pengayaan makna dan sublimasi kultur 
demokrasi, para elite politik justru menjadi parasit demokrasi, yang memangsa 
nilai-nilai kultur demokrasi dari dalam, melalui perilaku ironik mereka di 
dalam ruang virtualitas media.
Mesin demokrasi yang mestinya dibangun oleh kekuatan pikiran, pengetahuan, dan 
intelektualitas, kini dikuasai oleh mesin-mesin citra, tontonan, dan teater 
politik di atas panggung ”masyarakat tontonan politik” (society of political 
spectacle) yang menyuguhkan aneka artifisialitas, banalitas, dan distorsi 
politik. Mesin komunikasi politik yang diharapkan dapat mendiseminasi ide, 
pengetahuan, dan gagasan cerdas politik kini menjadi ajang retorika, parodi, 
dan seduksi virtual politik.
Akibatnya, proses demokratisasi tak mampu membangun arsitektur masyarakat 
politik yang cerdas, etis, dan estetis karena pendidikan warga (civic 
education) kini telah diambil alih oleh ”penghiburan warga” (civic 
entertainment). Elite politik yang mestinya menjadi pelopor pencerahan dan 
pencerdasan warga justru terperangkap di dalam skema banalitas, artifisialitas, 
dan virtualitas media (elektronik), yang menyerahkan dirinya pada logika 
komersialitas, popularitas, dan selebriti media.
Narsisisme demokrasi
Pilar-pilar penyangga arsitektur demokrasi kini tampak kian keropos bukan 
karena kekuatan eksternal, tetapi oleh parasit internal elite politik. 
Simbiosis antara mesin politik dan mesin media yang semula diharapkan dapat 
memperkokoh konstruksi bangunan demokrasi, kini justru menjadi virus perusak 
nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri.
Dalam simbiosis itu, para elite justru disibukkan oleh hasrat publisitas, 
popularitas, dan selebriti sehingga melupakan tanggung jawab politik.
Demokratisasi di atas tubuh bangsa ini diuntungkan oleh ”pers bebas” energentik 
produk reformasi yang memungkinkan ”pasar bebas” ide dan gagasan politik. 
Sebagaimana dikatakan Robert M Entman di dalam Democracy Without Citizens 
(1989), kebebasan media mestinya mendorong demokrasi dengan menstimulasi 
kepentingan politik warga melalui suplai informasi cerdas dan kritis untuk 
menjaga akuntabilitas pemerintah.
Akan tetapi, selera rendah politik (political kitsch) yang terbangun dalam 
simbiosis elite politik dan media justru menggiring wacana politik pada watak 
banalitas politik hampa pengetahuan, pencerdasan, dan pencerahan.
Pengetahuan, kompetensi, dan perilaku elite-elite politik nyatanya kian 
memburuk. Tindak politik yang sama sekali terlepas dari virtue — yang mestinya 
memberikan efek ”kebaikan” (goodness), ”kemuliaan”, ”keluhuran”, honour, 
”pencerahan”, dan ”keotentikan (authenticity) — kini justru menunjukkan watak 
banalitas, kedangkalan, manipulasi, dan penipuan massa (mass deception).
Ruang publik politik tanpa virtue dirayakan oleh para oportunis, narsis, dan 
selebriti politik, sebagai tempat mendongkrak fame.
Demokrasi kini menjadi ”demokrasi narsisistik” (narcissistic democracy), yang 
di dalamnya para elite politik (wakil rakyat) disibukkan mengatur penampilan 
dan citra diri di depan kamera televisi ketimbang mengasah pisau nalar 
memikirkan rakyat.
Sebagaimana dikatakan Christopher Lach di dalam The Culture of Narcissism 
(1979), para narsis politik membangun kemuliaan diri melalui selebriti, 
polularitas, dan karisma diri untuk memperoleh sanjungan atau pujaan pemirsa, 
bukan dari kekuatan pikiran, pengetahuan, dan kompetensi.
Alih-alih menjadi ”subyek politik” yang punya kuasa dan otoritas mengubah 
struktur wacana demokrasi (discourse of democracy), dengan memperkaya nilai dan 
maknanya, para elite politik justru menjadi ”obyek wacana”, yaitu individu yang 
tunduk pada hukum, logika, dan strategi wacana media (televisi) sendiri. Subyek 
politik larut dalam skema hasrat, fantasi, dan mitos-mitos yang dibangun media, 
tunduk pada logika citra, fetisisme, dan tontonannya, yang menawarkan dunia 
gemerlap selebriti.
Irasionalitas demokrasi
Arsitektur demokrasi yang dibangun di atas hegemoni media menciptakan distorsi 
tujuan masyarakat demokratis itu sendiri karena baik pengetahuan, gagasan, 
strategi, maupun tindakan politik dikonstruksi di dalam skema logika media. 
Masyarakat demokratis yang mempunyai rasionalitas sendiri untuk mencapai tujuan 
dan ideal-ideal kolektif, kini diinfiltrasi oleh ”rasionalitas” media, yang 
menggiringnya pada tujuan-tujuan yang bias dan distortif.
Rasionalitas politik menyangkut pilihan tindakan dan keputusan politik untuk 
mencapai tujuan dan ideal-ideal politik tertentu. ”Tindak rasional”, menurut 
Jurgen Habermas di dalam The Theory of Communicative Action (1984) adalah 
tindak yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama masyarakat politik 
(purposive action). Untuk itu, diperlukan ruang publik ideal, tempat 
berlangsungnya tindak komunikasi politik tanpa tekanan, represi, dan kekerasan.
Komunikasi politik pada abad informasi kini memang tak lagi diganggu oleh aneka 
represi dan kekerasan rezim otoriter — melalui komunikasi satu arah dan satu 
dimensi — tetapi rawan terhadap manipulasi, distorsi, dan simulasi imagologis 
karena sifat artifisialitasnya.
Logika artifisialitas dan virtualitas media itu justru yang dapat meruntuhkan 
bangun rasionalitas politik karena aktor-aktor politik yang terjebak dalam 
gemerlap selebriti media tak mampu menghasilkan produk keputusan politik yang 
rasional. Inilah yang terjadi dengan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank 
Century.
Pembelokan dari substansialitas politik ke arah artifisialitas politik — tanpa 
disertai oleh kecerdasan, intelektualitas, dan virtue politik — akan 
membahayakan sustainabilitas wacana politik bangsa ke depan karena ada distorsi 
pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi politik yang dikembangkan, yang kini 
semata diarahkan untuk menggapai popularitas dan selebriti sebagai jalan 
memperoleh kekuasaan (power). Tak ada ruang bagi pendidikan dan pencerdasan 
masyarakat politik.
Ironisnya, dalam abad virtual ini, para elite politik tak mampu membangun 
tindak komunikasi politik efektif dengan warga sehingga tak dapat memproduksi 
pengetahuan yang diperlukan bagi pencerdasan warga. Komunikasi politik kini 
memang tidak diganggu oleh tekanan, represi, dan kekerasan simbolik — 
sebagaimana dalam rezim totaliter — tetapi terdistorsi oleh skema seduksi, 
retorika, dan simulasi citra banal dan artifisial yang menyumbat saluran 
pengetahuan substansial dan kebenaran politik (political truth).
Politik abad kuantum
Elite-elite politik abad informasi kini menemukan ruang ”kebebasan” baru yang 
tak diperoleh sebelumnya. Akan tetapi, sukses mendapatkan kembali ruang 
kebebasan itu tak berarti sukses membangun arsitektur demokrasi itu sendiri. 
Kebebasan yang diperoleh oleh para elite politik ataupun warga — tanpa disertai 
pengetahuan, intelektualitas, dan virtue — hanya menciptakan ”immoralitas 
politik” (political immorality), yang mendekonstruksi nilai-nilai moral 
politik. Imoralitas elite politik diikuti imoralitas warga
Peralihan dari geopolitik ke arah politik jejaring (neto-politics), sebagaimana 
dikatakan Alexander Bard dan Jan Soderquist di dalam Netocracy: The New Power 
Elite and Life After Capitalism (2002) telah mengubah watak demokrasi ke arah 
”transparansi ekstrem” (extreme transparency).
Di dalam ”demokrasi ekstrem” ini dimungkinkan ”penelanjangan” apa pun, 
misalnya, ”penelanjangan” aneka lembaga (kepresidenan, kepolisian, DPR, Bank 
Century) oleh ”warga virtual’ sehingga tak ada lagi yang dapat dirahasiakan dan 
disembunyikan. Inilah demokrasi abad kuantum.
Di dalam politik abad kuantum yang dirayakan adalah para ”pencari perhatian” 
(attentionalist), yaitu elite-elite yang berupaya mencari sanjungan publik 
melalui seduksi media. Kondisi ini membahayakan masa depan demokrasi itu 
sendiri, yang digiring ke arah kondisi ”desubstansialiasi demokrasi’ 
(democratic desubstantiality). Ruang politik tidak dibangun oleh imajinasi dan 
ideal-ideal politik yang substansial bagi pencerahan masyarakat politik, tetapi 
oleh ”imajinasi-imajinasi populer” (popular imagination) yang menghadirkan 
tontonan banalitas dan kitsch politik.
Demokrasi di atas tubuh bangsa yang telanjur berwatak ”liberal” — karena lebih 
mengutamakan ”kebebasan” (freedom) ketimbang ”keadilan” (justice) — dengan para 
elite politik berwatak selebriti, telah mengancam kultur demokrasi warisan para 
founding father. Semangat individualistik, pragmatik, dan selfishness yang 
menjadi watak ”demokrasi narsisistik” memangsa nilai-nilai virtue yang berakar 
pada kultur politik bangsa, seraya menghancurkan nilai-nilai kebersamaan, 
kolektivitas, dan persatuan melalui politik pengabaian rakyat.
Yasraf Amir Piliang Direktur YAP Institute; Pemikir Forum Studi Kebudayaan 
(FSK) FSRD-ITB, [Kompas, 15/2/10]. 
---------- 
Apapun praktik demokrasi elite politik baik oleh partai pemerintah, partai 
politik maupun masyarakat akan bekembang seiring dengan peningkatan kualitas 
pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Pemahaman, pencerahan, 
kecerdasan, karakter, moralitas dan semangat membangun terus dipacu. Semuanya 
bekerja akan bermuara dan berorientasi kepada kemajuan serta untuk 
kepentingan kesejahteraan rakyat. Namun apabila tidak, maka jangan berharap 
banyak dapat menjadi pilihan rakyat pada pemilu berikutnya tahun 2014.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke