http://www2.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=15968

Euforia Demokrasi

Oleh H. NANDANG S. ZENJU



SEPULUH tahun reformasi, eksistensi demokrasi belum banyak memberi arti. 
Demokrasi sementara ini hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik dan 
pemerintahan. Tak dapat disangka euforia demokrasi telah merasuk hampir semua 
orang sehingga merasa punya peluang untuk menjadi politisi "yang dijamin dalam 
UUD 1945" tetapi barrier entry-nya terlalu berat ditembus ketika Orde Baru. 
Wajar jika di era ini kemudian bermunculan politisi baru. Sayang, kemunculannya 
tidak diimbangi dengan performasi yang dijanjikan reformasi. Dalam 
perjalanannya, mereka sedikit berperilaku tidak lebih baik daripada politisi 
pada masa terdahulu.

Demokrasi dari persepsi politisi adalah cara membangun relasi kekuasaan yang 
melibatkan beberapa aktor politik. Sedangkan demokrasi intelektual adalah cara 
membangun kesadaran kolektif melalui gerakan moral (moral force). Artinya, bila 
demokrasi yang tidak dimaknai secara murni bisa jadi memicu potensi konflik.

Bisa dimaklumi bila sebagian masyarakat menjadi antipati, yakni dengan 
rendahnya partisipasi mereka dalam proses politik, termasuk dalam pemilihan 
kepala daerah (rata-rata sekitar 70%). Bagi negara-negara maju, rendahnya 
partisipasi adalah fenomena biasa. Namun, bagi negara-negara berkembang, 
fenomena ini merupakan anomali. Biasanya, partisipasi masyarakat sangat tinggi 
walaupun lebih bersifat tidak secara sukarela (voluntary) tetapi lebih 
merupakan mobilisasi (mobilized).

Pada sisi lain, reformasi juga membangkitkan desentralisasi dan demokrasi lokal 
mulai dari struktur politik hierarkis, sentralistik, feodalistik, dan otoriter. 
Locus politik telah bergeser dari pusat ke daerah, dari sentralisasi ke 
desentralisasi, dari bureaucratic government ke party government, dan dari 
executive heavy ke legislative heavy. Meski demikian, demokrasi lokal saat ini 
masih sebatas euforia, bukan sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi lokal 
yang kokoh, beradab, dan terpercaya.

Bila diamati, euforia demokrasi dalam proses politik, baik pilpres maupun 
pilkada, masih pada tataran eksplosi demokrasi atau eksplosi aspirasi, dan 
ekspresi atas nama demokrasi. Eksplosi sering lepas kontrol sehingga berujung 
anarki. Akhirnya, euforia dan eksplosi demokrasi tidak berjalan sejajar dengan 
peningkatan pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, baik demokrasi prosedural 
maupun demokrasi substantif.

Demokrasi cenderung disalahpahami sebagian masyarakat yakni demonstrasi massa 
dalam bentuk unjuk rasa dan lainnya, sehingga muncul istilah "demo- crazy". 
Kebebasan cenderung juga disalahartikan sebagai "kebebasan tanpa aturan" 
(lawlessness freedom) dan tanpa kepatuhan hukum. Hasilnya, anarkisme bukan 
hanya mencederai, tetapi bahkan jelas bertentangan dengan demokrasi.

Tentunya sebuah ilustrasi ironi dalam berdemokrasi, kebebasan yang dibawanya 
pada gilirannya tersandung berbagai gejala anarki. Demokrasi dengan kebebasan 
menimbulkan eksplosi aspirasi dan ekspektasi. Artinya, eksplosi aspirasi dan 
ekspektasi tak selalu datang lebih cepat, terlebih cara-cara instan, ketika 
kemerosotan dekadensi di berbagai level.

Dalam konteks ini, demokrasi jelas tidak berjalan baik tanpa adanya kepatuhan 
dan respek hukum dalam ketertiban publik. Selain itu, pemberdayaan demokrasi 
tak hanya dengan adanya multiparpol, pemilu yang reguler, pers yang bebas dan 
independen, dan civil society yang kuat. Pemberdayaan dan pendalaman demokrasi 
juga tak bisa taken for granted; sebaliknya, harus disemaikan melalui 
pendidikan kewargaan (civic education) atau pendidikan demokrasi atau 
pendidikan kewarganegaraan (citizenship education). Bila itu dapat dilakukan, 
maka demokrasi dapat diperkuat sebagai integrasi bangsa dan negara.

Konteks demokrasi di ranah lokal misalnya, lebih banyak diwarnai sejumlah 
euforia rapuh, antara lain; pertama, euforia demokrasi elektoral. Masyarakat 
Indonesia tengah dilanda demam pesta demokrasi elektoral. Sehingga kesan yang 
muncul demokrasi hanya terfokus pada pemilihan, pesta politik yang kompetisi, 
sensasi, mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki, perdukunan, dan 
seterusnya.

Kedua, euforia semangat kedaerahan (nativisme). Fakta yang berkembang setiap 
daerah masih menggelorakan isu "putera daerah" ketika dihadapkan pada pemilihan 
pilkada. Adanya sebagian masyarakat lokal yang masih lantang menentang 
kehadiran calon-calon yang bukan putera daerah untuk menduduki jabatan pilkada. 
Meski istilah putera daerah tidak mempunyai autentisitas yang kuat, karena 
istilah itu cenderung hanya sebagai paspor politik untuk menjustifikasi 
kedudukan seseorang, tanpa melihat visi dan kualifikasinya.

Ketiga, euforia parlemen lokal. Dalam UU No. 22/1999, DPRD sangat powerful 
dibandingkan dengan kepala daerah, sehingga menjadi modal politik untuk 
memainkan check and balance dengan baik di hadapan kepala daerah dengan tujuan 
pemerintahan daerah bisa berjalan secara bertanggung jawab, transparan dan 
responsif. Tetapi, DPRD yang kuat justru menimbulkan banyak persoalan baru: 
DPRD menjadi oligarki dengan berkapasitas rendah, tidak bertanggung jawab, dan 
kurang peka pada aspirasi rakyat.

Keempat, euforia kepialangan politik. Adanya otonomi daerah telah memberi 
kesempatan terbuka bagi lahirnya aktor-aktor dan petualang politik baru. 
Kelima, euforia protes sosial atau pembangkangan sipil. Ketika rezim orde baru 
jatuh 1998, protes sosial mengalami perluasan dengan mengusung senjata 
reformasi politik yang tiada lain merupakan kekuatan alternatif bagi civil 
society guna melawan penguasa. Namun perlu diingat, bahwa protes sosial yang 
terjadi di Indonesia lebih bersifat sesaat atau partisipasi ad hoc yang hanya 
sangat efektif untuk menjatuhkan penguasa otoriter bermasalah, dan tak efektif 
untuk membangun demokrasi lokal.

Lima konteks tadi merupakan sebuah ilustrasi buram tentang demokrasi lokal, di 
saat euforia dalam proses politik yang berlangsung dalam situasi darurat jangka 
pendek. Euforia jangka pendek tidak bakal membuahkan demokrasi lokal yang kokoh 
dan berkelanjutan, selain hanya membuahkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. 
Euforia akan come and go berbarengan dengan pesta politik. Euforia akan berubah 
menjadi kekecewaan bila pesta sudah usai, tetapi dia akan datang lagi kalau 
pesta itu digelar kembali.*** 

Penulis, Dekan Fisip Universitas Wijaya Putra Surabaya dan kandidat Doktor 
Unair Surabaya

Reply via email to