--- On Sun, 1/4/09, BISAI <a.al...@kpnplanet.nl> wrote:

From: BISAI <a.al...@kpnplanet.nl>
Subject: DIALOG BUDAYA DI RUMAH PAK MINTARDJO 3 januari 2009
Date: Sunday, January 4, 2009, 7:25 AM

 Asahan Aidit:
 
                      
KESAN-KESAN SUBYEKTIF DARI PERTEMUAN
                     
 DIALOG BUDAYA DI RUMAH PAK MINTARDJO
 
 
Pertemuan dialog budaya telah diadakan pada hari 
sabtu tgl. 3 Januari 2009 di rumah Pak Mintardjo dari pukul 14.00 hingga pukul 
18. Saya perkirakan ada sekitar 25 orang yang hadir, saya tidak menghitung 
persis karenanya bila salah harap dibetulkan tapi memang rumah Pak Min menjadi 
penuh sesak. Yang hadir antara lain adalah dari teman-teman PPI Leiden, 
selebihnya teman-teman yang saya kenal lainnya yang antara lain tokoh-tokoh 
cukup penting dari Organisasi Persaudaraan. Yang tidak tampak, mungkin dari 
para 
pelopor anti Neoliberal (ah, itu sih kemauan!).
 
     Terus terang, sebelum saya 
membacakan makalah (maaf kalau istilah ini terlalu berlebihan)  saya , 
terus terang saya merasa cukup berdebar. Di sekeliling saya cukup banyak 
orang-orang muda intelektuil yang kritis dan cerdas sedangkan isi makalah 
saya yang suduh saya bagi-bagiakan fotokopinya pada setiap orang, cukup bisa 
menimbulkan atau merangsang perdebatan walaupun di luar keinginan saya. 
Mekipun saya sendiri pernah  juga menjadi mahasiswa dan pernah muda seperti 
mereka-mereka itu, tapi generasi muda saya adalah dari generasi muda yang 
"yesmen"yang tidak mudah untuk mengatakan No, Men!. Tapi ketika saya mulai 
membacakan makalah saya yang 7 halaman itu, saya menerima suasana yang begitu 
tenang, hampir-hampir tidak kedengaran suara apapun hingga waktu kira kira 
45 menit yang saya gunakan, berahir dangan tanpa intervensi suara-suara benda 
maupun manusia. Alhamdulillah, tugas membaca saya bisa saya selesaikan dengan 
aman tentram. Kegugupan saya hilang sirna dan kepercayaan pada diri sendiri 
otomatis pulih. Terima kasih para hadirin yang tertib dan 
berbudaya.
 
     Bung Amiq Ahyad sebagai 
moderator pertemuan itu melakukan tugasnya begitu baiknya, netral dan 
memperhatikan setiap yang ingin bertanya dan tidak seorangpun yang terlampaui. 
Sayapun berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Kalau tidak 
salah pada pertanyaan kedua, sang penanya menyatakan rasa 
bingungnya karena menurut dia, saya menyalahkan para TKI/TKW korban pelecehan 
dan perkosaan para majikan kejam. Tapi belum sampat saya menjelaskan dan 
menjawab pertanyaan penanya yang merasa bingung itu, seorang dari anggota PPI 
putri yang masih teramat muda telah menjelaskan bahwa sama sekali tidak ada 
kesan bahwa pembuat makalah berpihak pada majikan dan menyalah-nyalahkan buruh 
TKI yang  menjadi korban kekejian para majikan. Tentu sesudah penjelasan 
yang mantap dan kritis  dari hadirin muda yang cerdas itu, sayapun masih 
menjawab dan menjelaskan lebih banyak agar teman yang merasa bingung itu 
sedikit terobati kebingungannya.Ternyata teman itu belum membaca makalah yang 
juga jauh sebelumnya sudah saya sebarkan melalui internet di berbagai 
mailing-list dan juga rupanya dia tidak cukup teliti mendengarkan apa yang 
telah 
saya bacakan. Tapi bertanya dan memberikan pendapat adalah hak setiap orang 
yang 
harus dihormati dan memang itu maksud pertemuan dialog budaya yang 
diadakan  sekarang ini.. Tapi terus terang, kalau pertanyaan atau pendapat 
teman yang merasa bingung itu tidak dijelaskan secara baik dan tenang, 
bisa-bisa 
makalah saya runtuh dan hancur  di tengah  jalan bila kena tuduh 
berpihak pada majikan kejam dan menyalahkan para buruh yang ditindas. Namun 
sangat jauh dari itu, diskusi berjalan sangat lancar dan tidak terasa jam  
sudah menunjukkan hampir pukul lima sore dan saya hanya punya waktu 
untuk menjawab dua pertanyaan terahir: 5 menit. Dan saya patuhi. Pertemuan 
resmi 
diahiri tepat pada jam 17.00 dan kemudian kami makan bersama. Selesai 
makan, seorang teman datang menyalami saya sambil berkata: "saya puas dengan 
makalah bung". Tentu itu sebuah kesan dari salah seorang hadirin.
 
     Kesan-kesan 
lain:

  Dialog langsung dengan orang-orang muda dan 
  mahasiswa atau juga yang  post graduate, adalah dialog yang sangat 
  berkesan bagi saya. Saya tidak merasa mewakili golongan tua meskipun usia 
saya 
  sudah tujuh puluh, saya merasa cumalah sebagai manusia biasa berhadapan 
  dengan manusia lainnya untuk berdialog bersama mengenai masaalah-masaalah 
  praktis yang menyinggung soal budaya . Kebetulan yang 
  paling banyak disoroti dari makalah saya itu, adalah mengenai masaalah budaya 
  TKI. Dari respon maupun pertanyaan-pertanyaan dari yang hadir, terasa 
masaalah 
  budaya praktis dari budaya migran khususnya banyak menyita perhatian dan itu 
  saya rasa sangat positif karena pembicaraan tidak mengambang ke hal-hal yang 
  abstrak, intelektualisme, pameran kecerdasan, tapi semua berpijak di bumi, 
  semua mengenai manusia dan kemanusiaan dan bukan cakrawala  dengan 
  dalil-dalilnya. Sungguh menggembirakan untuk diri saya sendiri bahwa para 
  mahasiswa PPI yang di musim ujian di bulan Januari ini, di sela-sela 
kesibukan 
  mereka yang tegang, masih menyempatkan waktunya untuk datang ke rumah Pak 
  Min untuk saling bertemu dan berdialog. Dan mereka  sangat antusias. 
  Kalau yang ini saya tidak subyektif karena sangat saya rasakan. Menjelang 
  perpisahan, secara partikulir dan juga spontan kami berfoto bersama. 
  Secara bergiliran, saling foto, saya dikelilingi orang-orang muda yang tulus 
  dan spontan itu, membuat kenang-kenangan kecil dengan berpotret 
  bersama (tolonglah saya dikirimi liwat komputer, foto-foto yang kalian 
  buat itu dengan alamat a.al...@kpnplanet.nl . Saya akan sangat 
  bahagia menerima kiriman foto-foto kita itu. Bung Amiq mendadak menanyai 
  saya:  "Bagaimana bang Asan, apa merasa muda kembali?". Saya otomamatis 
  menjawab: "Saya merasa 70 tahun lebih muda".
   
  Asahan Aidit,
  Hoofddorp 4 Janari 
2009.
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 




      

Reply via email to