http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/4/22/o2.htm

Menegaskan kembali pernyataan seorang pengamat pendidikan, sesungguhnya 
pendidikan merupakan cerminan sebuah kondisi bangsa. Apalagi suatu bangsa 
berhasil mengelola pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan 
tinggi, maka bangsa tersebut sudah dapat dipastikan memiliki korelasi dengan 
keberhasilan baik ekonomi, politik, sosial budaya, hingga pertahanan keamanan.
---------------------------

Gonjang-ganjing Keuangan Pendidikan
Oleh I Gusti Ngurah Parthama 

RENCANA pemerintah melakukan pemangkasan Biaya Operasional Sekolah (BOS) 
menggambarkan masih belum ada niatan baik dari pemerintah pusat maupun daerah 
untuk ''mengamankan'' keuangan pendidikan. Sektor paling penting yang akan 
membekali dan mencerdaskan kader-kader penerus bangsa di masa depan.

-------------------------------

Pemotongan BOS akan secara langsung berimbas pada beban orangtua dan menambah 
daftar panjang carut-marut pendidikan Indonesia. Kebijakan yang awalnya membuka 
peluang bagi para peserta didik untuk menikmati bangku sekolah, kini justru 
menjadi objek penghematan pemerintah. Secara sederhana, kebijakan pemerintah 
justru memandang program BOS memiliki banyak kebocoran dan pemborosan sehingga 
harus diikutsertakan dalam program penghematan. Akibatnya, tindakan itu secara 
langsung akan dialami peserta didik mengingat kehadiran BOS dengan segala 
embel-embelnya, baik untuk operasional sekolah maupun buku, sudah membantu 
orangtua dari segi pembiayaan. 

Sangat disayangkan jika pada akhirnya program yang membantu para peserta didik 
harus mengalami penghematan. Padahal, sejak awal diluncurkan dana BOS para 
orangtua siswa merasa sedikit terbantu mengingat hingga saat ini pun orangtua 
masih harus merogoh kocek untuk pembiayaan sarana-sarana pendukung pendidikan 
lainnya. Apalagi dengan ditambahkannya model dana BOS buku yang meringankan 
beban orangtua dalam mempersiapkan buku-buku bagi putra-putrinya. Terutama 
menyaksikan semakin sulit dan tertekannya orangtua saat hendak menyekolahkan 
putra-putrinya mengingat pembiayaan yang terus membengkak. 

Jika melihat ke belakang, kehadiran program dana BOS merupakan kompensasi yang 
diberikan saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar di pasaran dan salah 
satunya menyasar ke bidang pendidikan. Belum lama berlangsung, kini justru 
program tersebut mengalami pemangkasan juga terkait dengan persoalan harga 
minyak dunia. Program pemerintah dengan penghematan tentunya tidak salah. 
Namun, penghematan di sektor pendidikan sama artinya dengan memaksa orangtua 
merogoh kocek lebih dalam. Kecaman yang selama ini menuding pendidikan mahal 
akan semakin menjadi kenyataan. Proyeksi bahwa pendidikan hanya bagi kalangan 
yang mampu dan golongan ekonomi menengah ke atas akan terbukti. Keberpihakan 
pemerintah pada kondisi rakyat menengah ke bawah yang sudah mendapat pukulan 
telak dari tekanan ekonomi justru menjauh. Padahal, sudah seharusnya pendidikan 
''diamankan'' dari tindakan-tindakan politis sesaat guna memberi kepastian 
dalam pelaksanaan di lapangan. Apalagi yang terkait dengan kebijakan-kebijakan 
jangka pendek yang justru menimbulkan kekusutan baru di sektor pendidikan.  

Cerminan Bangsa

Menegaskan kembali pernyataan seorang pengamat pendidikan, sesungguhnya 
pendidikan merupakan cerminan sebuah kondisi bangsa. Apalagi suatu bangsa 
berhasil mengelola pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan 
tinggi, maka bangsa tersebut sudah dapat dipastikan memiliki korelasi dengan 
keberhasilan baik ekonomi, politik, sosial budaya, hingga pertahanan keamanan. 
Kondisi pendidikan yang memadai akan memberikan peluang seseorang melanjutkan 
ke bidang pekerjaan yang diminati dan melakukan aplikasi pengetahuan maupun 
teknologi yang diperoleh selama di bangku pendidikan. Mewujudkan kondisi 
seperti yang telah dicapai sejumlah negara maju dan negara berkembang di dunia 
itu yang selama ini justru diabaikan pemerintah Indonesia. 

Pendidikan di Indonesia justru tidak bisa lepas dari kondisi politis. Kebijakan 
kurikulum yang terus berganti seiring dengan pergantian pemerintahan. Kondisi 
politis yang paling nyata tentunya ketiadaan minat pemerintah untuk memenuhi 
peraturan perundang-undangan yang mengisyaratkan dana pendidikan mencapai 20 
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pada akhirnya, kondisi 
politis pula yang menyebabkan pendidikan terbelenggu dengan keterbatasan dana 
yang menyeret akibat beruntun mulai dari kondisi sekolah yang tidak lagi 
memadai alias rusak atau roboh, minimnya sarana dan prasarana penunjang 
pendidikan, perpustakaan yang terabaikan, hingga pada pengabaian kesejahteraan 
para pendidik. Rentetan persoalan tersebut yang pada akhirnya menurunkan 
kualitas proses pembelajaran di Indonesia. 

Minimnya perhatian pada pendidikan terutama terkait persoalan finansial 
disikapi dengan solusi mencari penyandang dana dari pihak ketiga. Di sinilah 
beban yang akhirnya dipikul oleh para orangtua. Jika di perguruan tinggi masih 
dimungkinkan dengan mengadakan penelitian bersama pihak industri sebagai model 
pemasukan, maka apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan di tingkat 
dasar dan menengah. Tentu saja orangtua menjadi sasaran ''tembak'' paling 
empuk. Sehingga bermunculanlah pungutan-pungutan seperti sumbangan sukarela, 
sumbangan wajib, dan lain-lain yang diembel-embeli ''sumbangan''. Meski 
penggunaan dana ditujukan untuk operasional sekolah, pengeluaran dana berlebih 
tentu menjadi solusi yang memberatkan bagi orangtua di tengah kondisi ekonomi 
yang serba sulit. Tidak mengherankan apabila sejumlah kalangan pendidikan 
mengkhawatirkan kondisi peserta didik yang putus sekolah, tidak hanya di Bali 
tetapi di Indonesia umumnya, akan semakin meningkat apabila model-model 
pemangkasan seperti ini tetap terjadi.

Pada akhirnya seluruh kebijakan memang dikembalikan kepada pemerintah pusat 
sebagai pengelola negara. Selain juga setiap kebijakan pasti memiliki dua sisi 
di mana keduanya pasti selalu berlawanan. Namun akan lebih bijak jika 
kebijakan-kebijakan yang terkait pada pendidikan lebih mendapat prioritas dan 
''keamanan'' dari jangkauan kebijakan politis. Karena, hanya pendidikan yang 
dapat menyelamatkan negara ini dari kekacauan. Apabila pendidikan tetap menjadi 
komoditas politis dengan kebijakan jangka pendek yang membingungkan, maka tidak 
akan sulit untuk menebak kondisi negara di masa depan. Indonesia akan semakin 
sulit berkembang di bidang pengetahuan dan teknologi serta pendidikan tidak 
akan melangkah ke arah lebih baik alias diam di tempat. 

Penulis, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana

--------------------------

* Mewujudkan kondisi seperti yang telah dicapai sejumlah negara maju dan negara 
berkembang di dunia itu yang selama ini justru diabaikan pemerintah Indonesia. 

* Kondisi politis pula yang menyebabkan pendidikan terbelenggu dengan 
keterbatasan dana yang menyeret akibat beruntun.

* Pada akhirnya seluruh kebijakan memang dikembalikan kepada pemerintah pusat 
sebagai pengelola negara

Reply via email to