rEFLEKSI: Apakah untuk moral dibutuhkan hak ataukah kewajiban?  Bagaimana 
komentar Anda?

PIKIRAN RAKYAT
Selasa, 04 Desember 2007

Hak Moral, Indikasi Asal, dan Hak Kebudayaan

Oleh Miranda Risang Ayu 



Belum lama berselang, saya mengunjungi penggiat sekaligus pewaris batik 
pekalongan. Begitu saya mengatakan maksud saya untuk meneliti kemungkinan 
penguatan perlindungan atas batik mereka selain dengan Hak Cipta, kontan 
keluhan berhamburan.

Puluhan tahun silam, sejumlah pebatik pekalongan diundang ke Malaysia untuk 
memeragakan kebolehannya membatik. Dengan hati bersih dan kebanggaan naif untuk 
turut mengharumkan nama bangsa, mereka memenuhi undangan itu. Akan tetapi, 
orang Malaysia itu murid yang bukan hanya pintar, tapi juga cerdik. Begitu 
memahami seluk-beluk pembuatan dan pengayaan corak khas batik pekalongan, 
mereka membuat pola-pola desain tersendiri dengan motif floral dan warna yang 
mirip sekali dengan batik pekalongan. Hasil "kreasi" itulah yang kemudian 
didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual mereka.

Pemerintah Kota Pekalongan bereaksi dengan mendata berbagai corak batik khas 
Pekalongan lalu mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual 
di Tangerang. Kini, puluhan corak batik asal Pekalongan telah "diamankan" 
melalui perlindungan Hak Cipta.

Tentu saja, pendaftaran itu tidak serta-merta menghapus hak para pendaftar di 
Malaysia. Masalahnya, mereka sudah lebih awal mendaftarkan "kreasi" batiknya, 
yang kini mulai dikenal luas di mancanegara sebagai batik malaysia. Tampaknya, 
mereka juga dapat membuktikan bahwa corak batik karya mereka memiliki 
orisinalitas tertentu yang beda dengan batik pekalongan.

Dalam Hak Cipta, kreasi independen dua seniman yang mirip memang bisa sama-sama 
mendapat perlindungan, selama dapat dibuktikan bahwa kreasi itu tidak 
dihasilkan dari niat buruk mencontek. Apalagi kalau "contekan" itu berasal dari 
karya seni tradisional yang memang masih sulit dilindungi secara menyeluruh 
oleh sistem Hak Kekayaan Intelektual yang kini umum berlaku, yang umumnya 
diturunkan dari Perjanjian Internasional TRIPS 1994 (Agreement on Trade-Related 
Aspects of Intellectual Property Rights 1994).

Milik bersama

Mengapa bisa begitu? Argumen hukum yang paling mudah disodorkan adalah, karena 
kebanyakan karya tradisional sudah jadi milik umum. Agar dapat dilindungi, 
harus jelas lebih dulu siapa penciptanya. Padahal sulit menemukan individu 
pencipta karya seni tradisional. Kalaupun bisa, sering kali penciptanya sudah 
meninggal lebih dari 50 tahun lalu. Padahal, perlindungan Hak Cipta rata-rata 
hanya berlaku sepanjang hidup pencipta ditambah 50 tahun. Lebih dari jangka 
waktu itu, karya itu harus dianggap sudah menjadi milik umum.

Kalaupun hukum Hak Cipta nasional sekarang telah melakukan terobosan dengan 
memungkinkan pemerintah mengambil alih pengelolaan hak untuk kepentingan 
pencipta yang tidak diketahui identitasnya, jangka waktu perlindungannya juga 
rawan perdebatan.

Alhasil, batik pekalongan, angklung sunda, "Rasa Sayange", dan reog ponorogo, 
jika tampil murni sebagai karya tradisional tanpa "sentuhan baru" dari individu 
yang masih hidup, juga adalah kekayaan tradisional yang sudah jadi milik 
bersama. Inilah yang membuat perlindungan Hak Cipta yang kini berlaku bisa saja 
bicara, tetapi tidak banyak.

Hak moral

Hak Cipta juga meliputi Hak Moral. Hak Moral tercantum dalam Konvensi Bern 
dengan Malaysia dan Indonesia terikat di dalamnya. Hak Moral bukan hak ekonomi, 
tetapi ada untuk melindungi integritas ciptaan serta hak pencipta untuk tetap 
dicantumkan namanya, sekalipun ia sudah tidak lagi memiliki hak untuk menerima 
keuntungan ekonomi dari ciptaannya.

Ahli perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Hak Kebudayaan berdarah Aborigin 
Australia, Terri Janke menyatakan, Hak Moral sesungguhnya juga bisa dipakai, 
tidak hanya untuk melindungi integritas seorang pencipta dengan karyanya, 
tetapi juga integritas puluhan kelompok masyarakat pemangku tradisi Aborigin 
Australia dengan kekayaan tradisional mereka (Terri Janke dalam Sam Garkawe 
et.al, 2001).

Jadi minimal, jika ada reproduksi atau pemakaian baru dari karya-karya tradisi 
mereka, izin harus tetap dimintakan dan nama kelompoknya juga harus tetap 
disertakan. Karena karakter Hak Cipta merupakan hak individu, yang terjadi 
kemudian biasanya, seorang seniman Aborigin yang telah memiliki otoritas dari 
kaumnya, membuat karya berdasarkan tradisi mereka. Lalu, ketika karya itu 
diumumkan, ia mencantumkan namanya sekaligus nama daerah atau kelompok 
masyarakat Aborigin yang memberinya otoritas, sebagai satu kesatuan pemilik.

Hak atas Indikasi Asal

Selain itu, ada juga potensi perlindungan lain yang ditawarkan hukum, yakni 
perlindungan terhadap tanda, nama atau indikasi asal suatu barang, yang disebut 
perlindungan Indikasi Asal. Perlindungan ini terdapat dalam Perjanjian Paris 
untuk Perlindungan Hak Kekayaan Industrial 1883 (The Paris Convention for 
Protection of Industrial Property of 1883). Perjanjian internasional tersebut 
melindungi hak-hak kekayaan intelektual selain Hak Cipta. Sama dengan Konvensi 
Bern, perjanjian itu juga mengikat Malaysia dan Indonesia. Perjanjian Paris 
melarang setiap barang beredar dengan menggunakan Indikasi Asal yang salah atau 
menyesatkan.

Dalam hukum nasional Indonesia, Indikasi Asal sebetulnya juga telah diatur. 
Sayangnya, pengaturannya hanya merupakan bagian kecil dari UU No. 15 Tahun 2001 
tentang Merek. Itu membuat penafsiran umum yang sempit di kalangan pakar hukum 
nasional, jika ada pembicaraan soal Indikasi Asal, pasti yang dibicarakan 
"hanyalah" sejenis merek dagang seperti Nike, Channel atau Prada.

Umumnya, lagu, tari-tarian, atau karya-karya artistik lain, memang bukan objek 
langsung dari Hak Merek, tetapi Hak Cipta. Jadi, belum apa-apa, sudah timbul 
persepsi bahwa penghubungan perlindungan Indikasi Asal dengan karya-karya 
tradisional yang berwujud karya-karya seni itu sudah "salah" dari awal.

Padahal, perlindungan Indikasi Asal tidak sesempit itu. Jika Indikasi Asal 
diartikan sebagai bagian dari Indikasi Geografis dalam arti luas, hanya saja 
belum didaftar, sejarah dan akar budaya setempat, termasuk tradisi 
pembuatannya, justru adalah salah satu syarat utama perlindungan, di samping 
faktor alamiah lainnya.

Perlindungan ini juga tidak mensyaratkan orisinalitas sekualitas Hak Cipta atau 
tingkat invensi setinggi paten. Yang "hanya" perlu dibuktikan adalah, suatu 
nama yang disandang oleh barang atau karya material terkait punya karakter yang 
unik, yang berasal dari pengaruh faktor alam dan sejarah budaya setempat. Jadi, 
perlindungan atas Indikasi Geografis, termasuk Indikasi Asal, betul-betul 
menjunjung karakter lokal. 

Singkatnya, perlindungan Indikasi Geografis dan Indikasi Asal, sesuai namanya, 
memang hendak melindungi dan menghormati "tempat asal" karya yang sebenarnya.

Menariknya, kepemilikan Indikasi Asal yang kini umum ditemukan dan diakui 
banyak negara, justru adalah kepemilikan kolektif dan bukan individual. Selain 
itu, sekali dilindungi, waktu perlindungannya akan berlangsung terus-menerus, 
selama kualitasnya terjaga. Yang perlu dilakukan hanyalah memastikan bahwa 
karya terkait sudah bisa disebut barang. Artinya, sudah ada dalam bentuk 
material, misalnya kaset.

Selain itu, karya itu pun masih terbukti tetap dirawat, dikembangkan, dan 
menjadi ekspresi identitas kelompok masyarakat yang tinggal di daerah itu 
sebagai suatu kesatuan wilayah (cluster). Karena Indikasi Asal cakupannya 
paling luas, maka kesatuan wilayah itu bisa saja mencakup satu kota atau desa, 
beberapa desa yang bersebelahan dalam suatu provinsi, sebuah pulau dalam suatu 
negara, dan bahkan wilayah suatu negara. Contoh mudah, di dalam dompet atau tas 
Strandbag, salah satu merek terkenal Australia, biasanya juga terdapat 
keterangan Made in China, Imported by Strandbag, Australia. Keterangan Made in 
China itulah Indikasi Asal.

Kasus keju Feta

Kasus keju tradisional Feta mungkin adalah kasus paling menarik sekaligus 
kontroversial tentang "perebutan" tempat asal satu produk kekayaan tradisi. 
Feta adalah keju putih dari kambing atau domba yang selama ratusan tahun 
dihasilkan produsen lokal di Yunani. Keju ini kemudian terkenal ke mancanegara 
dengan nama tradisionalnya, Feta. Dalam bahasa Yunani, Feta berarti irisan. 
Nama tradisional itu secara tidak langsung mengaitkan produk dengan asal 
daerahnya, yakni Yunani. Karena terkenalnya, keju itu kemudian diproduksi juga 
di Perancis, Denmark, dan Jerman. 

Awalnya, nama Feta telah dianggap menjadi milik umum, setidaknya di daratan 
Eropa. Tetapi kemudian, kasus bergulir terus dan penelitian ilmiah, termasuk 
survei konsumen terbaru, yang diadakan untuk menentukan apakah nama itu sudah 
betul-betul menjadi milik umum di wilayah Eropa (generik) pada pertengahan 
tahun 2005, tampil dengan hasil mengagetkan. 

Ternyata, ciri khas keju tradisional Feta, baik dari segi tradisi pembuatan 
maupun asosiasi di benak sebagian besar konsumen, menunjukkan bahwa Feta masih 
berakar kuat di Yunani. Maka, dengan besar hati, produsen keju Feta di 
Perancis, Denmark, dan Jerman harus menghentikan produksi mereka. Paling tidak, 
mengganti sebagian unsur produksi mereka, termasuk pemakaian nama Feta yang 
terkenal itu, dalam jangka waktu lima tahun sekaligus mengembalikan kontrol 
atas produk itu kepada produsen lokal di Yunani. 

Hak Kebudayaan

Kekayaan tradisional juga merupakan Hak Kebudayaan. Menurut Kovenan 
Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi 
Indonesia, Hak Kebudayaan adalah Hak Asasi. Hak Kekayaan Intelektual bisa 
dikatakan sebagai bagian dari Hak Kebudayaan karena kesamaan objek. Apalagi, 
jika objek itu juga sudah jelas terkait dengan Hak Atas Identitas, yakni 
sebagai salah satu faktor penentu identitas kultural. Menariknya, penegakan Hak 
Kebudayaan sebagai hak kolektif menuntut peran aktif pemerintah. 

Pemerintah wajib mengambil langkah konkret, tanpa menunda, melindungi, mengisi, 
dan menegakkan Hak Kebudayaan itu. Jika tidak, identitas suatu kelompok budaya, 
yang merupakan sumber kekuatan mental kolektif, akan runtuh juga. Dalam konteks 
Hak Kebudayaan, Indonesia sebetulnya sudah meratifikasi kovenan tersebut, 
sedangkan Malaysia belum.

Singkatnya, Hak Moral, Hak Indikasi Awal, dan Hak Kebudayaan dapat dipakai 
untuk tetap mempertahankan kekayaan budaya Indonesia. Untuk menghormatinya, 
pemerintah Indonesia harus lebih tegas dan seluruh masyarakat Indonesia pun 
harus lebih banyak belajar. 

Masyarakat negara tetangga pun, terutama Malaysia, harus turut serta belajar. 
Proses pembelajaran ini tidak mudah, tetapi merupakan kemestian. Jika tidak, 
integritas bangsa dan harmoni hubungan antarsesama bangsa serumpun akan menjadi 
taruhannya.***

Penulis, esais, dosen Fakultas Hukum Unpad Bandung, dan kandidat Doktor di Law 
Faculty, University of Technology Sydney, New South Wales, Australia

Kirim email ke