(Cerpenku di Harian Medan Bisnis)."TEPI MAKAM PAHLAWAN"
Share Today at 10:48

Berikut Cerpen saya dimuat di harian Medan Bisnis, Rubrik B'gaul,Minggu 22 
November 2009 .



                                                       TEPI MAKAM PAHLAWAN 



Subuh menjelang, kokok ayam bersahut-sahutan. Hawa dingin menusuk
relung, menggigit tulang para penghuni, dilanda gelisah. Menggerutu.
Betapa hari tak maui membiarkan pulasnya tidur, tarikan selimut
rapat-rapat diikuti paduan suara ngorok bernada sumbang. Komposisi
alamiah tanpa dirijen-partitur, merentak, mengutuk hidup betapa
cepatnya pagi menyapa. 



Tapi Hasan tak terganggu igauan para tetangga menikmati tidur ditemani
nyamuk nakal penghisap darah, menari-nari selepas kenyang berbagi hidup
sepanjang malam. Seisi penghuni Kampung Sei Lepan, sudut sebuah kota,
dibawah Jembatan Kalimati, tak terganggu bersanding suara riuh sungai
kotor, meluap sehabis hujan deras sepanjang sore hingga malam. 



Selepas lafal doa terakhir Hasan bangkit, melipat sarung dengan rapi,
meletakkannya ke dalam lemari penuh hati-hati. Tak lupa sajadah
bergambar Ka’bah -warnanya pudar- disimpan dibawah rak baju tak
seberapa. Peci hitam yang dipakainya digantung di dinding sebelah baju
sekolahnya. Sarung dan peci itu, pemberian almarhum ayahnya menjelang
lebaran tiga tahun lampau dari seorang dermawan yang mengadakan sunatan
massal gratis dikampungnya. Perlahan dia keluar dari kamar, berjalan
menuju dapur yang menyatu dengan kamar mandi. Ditengoknya, ibunya sibuk
menyiapkan kue-kue, kerupuk ke atas nampan. Hasan jongkok, ikut
membungkus kue-kue dan kerupuk hasil masakan ibunya tadi malam. 

Ditemani terangnya lampu teplok , Hasan dan Ibunya, Ratih bergegas
menyelesaikan bungkusan kue-kue, kerupuk yang berjejer rapi. Takut hari
meninggi, mengusir rezeki ditengah kerasnya hidup yang harus
ditaklukkan. Bersaing dengan waktu terus berjalan. Tak peduli seorang
perempuan beranak satu berjuang mensiasati hidup selepas ditinggal mati
suaminya. Hidup adalah perjuangan. Hasan lincah membungkus kue-kue,
mengikatnya erat. Sudah terbiasa dikerjakan sejak bapaknya tak ada. Kue
dan kerupuk harus dijual pagi ini jikalau tak mau kehilangan rejeki tuk
bertahan hidup.



      “Sudah sholat kau Nak?,” kata Ratih lembut, menyapa anaknya.



      “Sudah Mak, kudoakan juga supaya jualan kita laku,” jawabnya lugas, 
percaya diri memandang balik  ibunya. 



Ratih tersenyum getir, sudah empat hari ini dagangannya tak laku,
setengahnya-pun tak habis. Dia elus kepala anaknya penuh ketulusan.
Berusaha tegar walau hatinya sedih, perih mengingat dia harus
membesarkan anaknya sendirian. Berjuang ditengah ganasnya ujian
kehidupan yang mendera. Godaan para lelaki yang ingin mempersunting
agar mengakhiri status janda yang disandangnya. Dia selalu menolak
halus tawaran itu. Belum siap melupakan Amir, suaminya yang mati
mengenaskan ketika menyelamatkan seorang anak dikampungnya. Terbawa
banjir sungai yang meluap, menerjang kampung dua tahun silam. Anak yang
ditolongnya selamat sedangkan Amir tak mampu bertahan menuju tepian,
kelelahan, kalah terbawa arus. Tenggelam diantara tumpukan sampah,
bongkahan kayu diiringi jeritan menyaksikan wajah suaminya terakhir
kali sebelum hilang ditelan air bah sungai yang meluap. Esok hari baru
ditemukan, mengambang di pintu air, tiga kilometer dari kampung.
Mengingat peristiwa itu, kadang Ratih menitikkan airmata. Tengah malam,
dia tak henti berdoa, bersujud memohon kekuatan Maha Kuasa membesarkan
pangeran hatinya, Hasan. Satu-satunya buah cinta bersama almarhum
suaminya. Ya, dia harus kuat. Sapaan Hasan menyadarkan lamunannya. 



Kue dan kerupuk sudah beres dimasukkan. Sekarang tinggal berangkat ke
tempat Ratih biasa berjualan di samping Taman Makam Pahlawan. Hasan
sudah berpakaian sekolah. Dari tempat jualan, dia langsung berangkat ke
sekolah. Pintu rumah dikunci kemudian bergegas berjalan menembus pagi,
mengalahkan dingin tak terperi. Ratih mengangkat nampan diatas
kepalanya, dipegang supaya tak jatuh. Hasan ikut membawa kantong berisi
kue dan kerupuk melintasi gang, selokan. Beberapa tikus masih
berkeliaran dalam got tak mau kalah.



                                                                   ****

Sepulang sekolah, Hasan langsung ke tempat jualan menemani ibunya
menunggu para pembeli. Bocah berperawakan kurus ini duduk di kelas tiga
sebuah sekolah dasar. Dia siswa yang berprestasi, kerap mendapat juara
kelas. Bahkan membawa harum sekolahnya pada perlombaan baca puisi di
kantor Gubernur minggu lalu. Hasan mengalahkan sekolah yang kerap
menjadi langganan juara. Menurut gurunya, minggu depan dia akan
berangkat ke Jakarta mewakili provinsi di pentas nasional. Bukan main
bangganya Hasan terlebih ibunya, Ratih mendengar kabar itu melalui
sepucuk surat dari dinas kemarin. 

Hari menjelang sore, kue-kue jualannya hampir habis. Sejenak dia melongok 
mencari anaknya.



        “Hasan dimana kau Nak?,” teriak Ratih memanggil anaknya. Sejak tadi tak 
kelihatan.



        “San..Hasan..Hasan..!,” teriaknya berulang kali. Nada cemas terlihat 
dari panggilannya.  Khawatir.



Wajahnya celingukan mencari Hasan. Sudah sejam sejak anaknya sampai,
tak kelihatan. Dia sibuk melayani pembeli. Lumayan banyak pembeli hari
ini. Terlupakan anaknya. 



        “Coba kau tengok di dalam taman Ratih!, mana tau dia ke sana,” kata Wak 
Soleh, pemilik warung rokok sebelah.



Ratih bergegas menuju pagar tembok taman, sambil melihat cemas arah
yang dimaksud Wak Soleh. Ternyata benar. Hasan berada disana, diantara
jejeran makam, berdiri tegak mematung sambil memperhatikan nisan-nisan
bercat putih. Terawat rapi.



Dia perhatikan anaknya, bingung apa yang dilakukan Hasan di dalam
Taman. Bergegas menyusul anaknya ke dalam, setelah menitipkan nampan
berisi beberapa bungkus kue tersisa kepada Wak Soleh. Ratih masuk dari
pintu utama, dia buka engsel pintunya yang tak digembok. Masuk.
Perlahan, takut mengagetkan anaknya.



Hasan berdiri memandangi makam-makam itu, dia baca nama-nama yang
tertulis dalam nisan. Berjalan lagi mengitari kompleks makam yang luas.
Berhenti pada sebuah makam tak bernama, tak ada tulisan sama sekali.
Hanya nisan berwarna putih pucat, pudar. Dia bergumam seperti ada
sesuatu yang dibisikinya. Jongkok di depan makam tersebut. Perlahan dia
elus nisan makam tak bernama itu, pelan, berulang, matanya tak lepas
mengikuti elusan tangannya. Berikutnya dia pegang topi dibawah nisan,
terbuat dari semen mirip topi tentara yang sering dia lihat kalau
berbaris. Warnanya agak pucat, hitam bahkan topi di makam sebelahnya
sudah berlumut.



Hasan tersadar, ibunya sudah berada di samping, berdiri tak jauh. Tadi
melangkah tak kedengaran, hati-hati bagai langkah pencuri. Takut
kepergok.



      “Mak, apa semua yang dikubur disini, pahlawan?,” Tanya Hasan membuka 
percakapan.



      “Iya Nak, semua yang dikubur disini pahlawan,” sahut Ratih.



      “Semua?”.



     “Ya, semua!,” jawab Ratih tegas tak yakin.



Hasan termenung, berdiri, memandang ibunya. Matanya berkaca-kaca.
Bibirnya bergetar seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi tak bisa.
Mulutnya terkunci rapat. Hening kembali. Dia beranikan menatap ibunya
yang mengelus rambutnya, lembut, penuh kasih.



      “Mak, bisakah Bapak dikubur disini?, bisakah Mak?”.



Ratih terkejut tak menyangka anaknya bertanya demikian. Dia peluk
anaknya, tanpa sadar butir air mata mengalir. Hasan membenamkan dirinya
dalam pelukan sang ibu. Menangis.



     “Bisakah Mak?”. Suara Hasan berserak, menahan segukan tangis dalam pelukan 
sayang ibunya yang ikut menangis pula.



     “Bukankah Bapak juga seorang pahlawan?”.


 “Kata Mak dan orang sekampung, Bapak mati karena menyelamatkan
orang di sungai. Mereka bilang Bapak Pahlawan”. Kali ini tangis Hasan
lebih kencang. Deraian air mata ibu dan anak saling bertaut dihadapan
makam terbentang bisu.



     “Bisakah Bapak Hasan dikubur disini, Mak?,”.



Ratih hanya menangis, memeluk anaknya erat bagai takut kehilangan, tak
memberi jawaban. Dia cium kepala anaknya dengan air matanya.





                                                                                
                                Medan, Nopember 2009 

                                                                                
               Hasudungan Rudy Yanto Sitohang 






Sumber: 
http://www.facebook.com//note.php?note_id=183961563066&comments=#/notes/hasudungan-rudy-yanto-sitohang/cerpenku-di-harian-medan-bisnistepi-makam-pahlawan/193097695705
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

Kirim email ke