IMHO, kelihatannya ada beberapa 'kesalahan kecil' penulisan dalam artikel di
bawah..
mis: $ 5 triliun yang seharusnya $ 5 miliar (juga Rp 50 trilyun yang Rp 50
triliun);
pembayaran pokok dan bunga hutang lebih kecil dari subsidi energi _yang
seharusnya_
lebih besar dsb.. Namun tidak mengubah/mengurangi bobot artikel tersebut..

Pantas saja kaum pengusung dan pendukung neolib selalu mengkampanyekan
penghapusan subsidi bagi rakyat kecil; karena alokasi terbesar APBN (lebih
dari 30%)
sudah dialokasikan untuk membayar hutang kepada para kreditor. Dan yang
menikmati
'hasilnya' adalah mereka yang mendapatkan sebutan 'good boy/girl'.. :-(

Sementara rakyat (RI) dibiarkan hidup/mati berjuang sendirian menghadapi
tekanan/
kenaikan harga" barang dan jasa.. termasuk pendidikan dan kesehatan..

CMIIW..

-- 
Wassalam,

Irwan.K
"Better team works could lead us to better results"
http://irwank.blogspot.com

 Kamis, 18 Februari 2010 ]
> Cengkeraman Kreditor Asing
>  Oleh: Herdi Sahrasad
>
> *PROF*Jeffery Winters (*Indonesia's Foreign Debt*, Northwestern
> University, 2003) mencatat, beban utang Indonesia sudah melampaui
> negara-negara tetangga di Asia, seperti Korsel, Thailand, dan Filipina.
> Total pembayaran utang pemerintah (domestik dan asing) untuk 2000, 2001, dan
> 2002 saja mencapai USD 8,8 miliar, USD 12,9 miliar, dan USD 15,6 miliar.
> Dari angka itu, pembayaran cicilan utang luar negeri mencapai USD 3,7
> miliar, USD 5,4 miliar, dan USD 7,6 miliar.
>
> Para pakar ekonomi memperkirakan, setiap hari Indonesia harus
> mengalokasikan sekitar USD 2,5 juta untuk membayar bunga utang di lembaga
> keuangan internasional. Pada 2001-2005 rasio tersebut naik 22 persen. Perlu
> diingat, sejak 2003 banyak masa jeda (*grace period*) bayar utang luar
> negeri yang dijadwal ulang melalui Paris Club 1 (September 1998) dan Paris
> Club 2 (April 2000) yang habis. Pada 2006 total utang Indonesia USD 134,85
> miliar (asing dan domestik) atau lebih dari 40 persen dari GDP. Selain itu,
> defisit anggaran nasional lebih dari USD 3 miliar dan pemerintah
> meninggalkan sedikit ruang untuk terlibat dalam pembangunan.
>
> Sampai 2006, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah
> memakan porsi 31 persen hasil pajak. Jumlah tersebut seharusnya digunakan
> untuk pembangunan prorakyat miskin dan infrastruktur serta investasi sosial
> lain.
>
> Empat tahun terakhir, tak ada perubahan berarti dalam penyelesaian beban
> utang yang memberatkan rakyat tersebut. Karena itu, pada 2010, pemerintah
> diharapkan punya skema baru pembiayaan defisit APBN. Sebab, skema utang
> sudah berlangsung puluhan tahun sehingga pembayaran cicilan lebih besar
> daripada utang baru.
>
> *Menambah Utang*
>
> Dua pekan pertama 2010, pemerintah sudah menambah utang Rp 27,5 triliun
> melalui penerbitan surat utang atau obligasi negara. Nilai tersebut berasal
> dari penerbitan surat utang negara (SUN) Rp 7,5 triliun dan penerbitan
> obligasi global USD 2 miliar atau sekitar Rp 20 triliun dengan asumsi nilai
> tukar pada APBN 2010 sebesar Rp 10 ribu per USD.
>
> Memang, tahun ini pemerintah gencar menyerap dana lewat penerbitan surat
> utang, baik konvensional maupun syariah di awal tahun (*front loading
> strategy*). Strategi itu dilakukan agar defisit anggaran lebih cepat
> diamankan.
>
> Hingga November 2009, utang pemerintah pusat tercatat sebesar USD 170,73
> miliar atau setara Rp 1.618,54 triliun. Jumlah itu bertambah sekitar Rp 16
> triliun dalam sebulan karena pada Oktober 2009 sebesar USD 167,86 miliar
> atau Rp 1.602,86 triliun. Dari sisi risiko, jumlah utang pemerintah sebesar
> itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Artinya, pemerintah tidak mungkin tidak
> mampu membayar. Namun jelas, yang membayar adalah rakyat. Padahal, menurut
> World Bank, lebih dari 100 juta orang hidup dalam kemiskinan (Ahmad Munjin,
> *Utang: Gali Lubang Tutup Lubang*, 2010).
>
> Untuk itu, satu hal yang pasti adalah risiko jangka panjang. Sebagian APBN
> yang merupakan anggaran publik akan habis untuk pembayaran utang pokok dan
> bunga.
>
> Sejauh ini, setiap tahun Indonesia mendapatkan utang USD 3 miliar-USD 5
> miliar atau Rp 30 triliun-Rp 50 triliun. Pada saat yang sama, pembayaran
> cicilan bunga dan utang pokok mencapai Rp 100 triliun dalam APBN 2009 dan Rp
> 101 triliun pada 2010. Karena itu, defisit antara utang yang didapat dan
> pembayaran bunga serta pokok utang sekitar USD 5 triliun atau Rp 50 miliar.
>
> Penulis yakin bahwa pemerintah sudah mengetahui peta utang semacam itu.
> Tapi, sampai saat ini nyaris tidak ada upaya untuk mengeliminasi utang.
> Sedikit-sedikit, yang terkait dengan pendanaan selalu diselesaikan dengan
> skema utang melalui penjualan obligasi maupun utang luar negeri, baik
> multilateral maupun lembaga donor.
>
> Pertanyaannya, sampai kapan pola utang semacam itu dianut pemerintah?
> Selama ini, pemerintah selalu berargumen, berutang merupakan hal wajar.
> Padahal, kalau dilihat dalam struktur APBN, pertanian hanya mendapatkan
> alokasi yang lebih rendah daripada pembayaran utang per tahun.
>
> Begitu juga pos untuk kesehatan, hanya dapat jatah 2-3 persen dari APBN.
> Semua itu sangat menyedihkan.
>
> *Dicekam Kreditor Asing*
>
> Tahun ini sebagian besar penerimaan negara dari pajak, sumber daya alam,
> serta penarikan utang baru masih dinikmati kreditor asing dan individu dalam
> bentuk pembayaran cicilan bunga dan pokok utang. Perbankan juga masih
> menikmati porsi besar dalam bentuk pembayaran bunga obligasi rekapitulasi
> perbankan.
>
> Adapun penumpukan utang baru menimbulkan biaya sangat besar yang ditanggung
> rakyat dalam bentuk pemotongan subsidi dan anggaran sosial. Sepanjang
> 2005-2009, akumulasi pembayaran cicilan bunga dan pokok utang dalam APBN
> 2009 mencapai Rp 702,209 triliun. Angka tersebut masih berada di bawah total
> belanja subsidi energi 2005-2009, yakni Rp 641,4 triliun. Sementara itu,
> alokasi subsidi nonenergi hanya Rp172,2 triliun.
>
> Fakta tersebut menunjukkan potret ketidakadilan dalam kebijakan anggaran
> yang prokreditor selama ini. Lebih dari 65,0 persen dari total pembayaran
> bunga utang diperuntukkan pembayaran bunga utang dalam negeri, yang
> seluruhnya berasal dari pembayaran bunga surat berharga negara (SBN)
> domestik. Sementara itu, sisanya, yakni 35 persen, merupakan realisasi
> pembayaran bunga utang luar negeri yang terdiri atas bunga SBN internasional
> dan bunga pinjaman luar negeri (Dani Setiawan, *Laporan Koalisi Antiutang*,
> 2010).
>
> Meningkatnya beban pembayaran utang mengakibatkan berkurangnya anggaran
> sosial bagi rakyat. Belanja subsidi BBM dan listrik secara konsisten menurun
> selama lima tahun terakhir. Begitu pula alokasi untuk meningkatkan kualitas
> hidup rakyat dan pemberantasan kemiskinan, yakni tidak naik secara
> signifikan. Hal tersebut mengakibatkan memburuknya kualitas pembangunan
> manusia sebagaimana terlihat dari indeks pembangunan manusia yang masih
> rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga (UNDP, 2009).
> Indonesia menempati posisi ke-111 di antara 182 negara, tertinggal jauh dari
> negara tetangga, seperti Singapura (ke-23), Malaysia (ke-66) dan Thailand
> (ke-87).
>
> Agaknya, sampai era kepemimpinan SBY-Boediono pada 2010, Indonesia masih
> dijerat dan disandera utang serta dicekam kreditor asing tanpa solusi
> penghapusan utang najis, tanpa solusi yang berpihak kepada kepentingan
> rakyat banyak. Akhirnya, rakyatlah yang menanggung beban berat seluruh
> utang.
>
> * *). Herdi Sahrasad, * *associate director The Media Institute serta
> Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, juga
> research associate LP3ES Jakarta*
>
> http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
>
> --

Reply via email to